Home
/
Film

Review: ‘Call Me by Your Name’, Kisah Cinta Sesama Jenis untuk Penonton Open-Minded

Review: ‘Call Me by Your Name’, Kisah Cinta Sesama Jenis untuk Penonton <i>Open-Minded</i>

-

Hani Nur Fajrina05 February 2018
Bagikan :

Saya tidak pernah mengklaim kalau saya ini pembela LGBT sehidup semati dan sebagainya. Saya hanya penikmat film berbagai genre, khususnya jika ide cerita itu sangat cerdas serta pembawaan karakter yang membekas bahkan setelah filmnya telah usai.

Chemistry dan pendalaman karakter dari film ‘Call Me by Your Name’ akan betul-betul kamu rasakan jika kamu menontonnya tanpa rasa judgmental atau pikiran tertutup.

‘Call Me by Your Name’ bukan film blockbuster ala Hollywood yang pemasaran dan bujetnya besar-besaran. Film festival ini bahkan berlatar di Italia dengan sutradara yang berdarah Italia pula, yakni Luca Guadagnino.

Berlatar tahun 1983 di sebuah kota kecil di Italia, film ini mempertemukan karakter utama bernama Elio (Timothée Chalamet) yang berusia 17 tahun dengan Oliver (Armie Hammer) yang usianya lebih tua. Oliver yang berkebangsaan Amerika ini sengaja datang ke Italia karena ia akan membantu pekerjaan akademik ayah Elio selama beberapa pekan. Oliver sendiri sedang menjalani pendidikan S3.

Dari plot yang sederhana tapi ngena itu, Guadagnino mengarahkan penonton langsung kepada karakter dan kondisi emotional dari Elio dan Oliver. Elio, anak remaja yang suka bermain musik dan melakukan hal-hal sesuka hati, pada saat itu digambarkan memiliki hubungan spesial dengan seorang perempuan sebayanya, Marzia. Sedangkan Oliver berkarakter tegas, ramah, dan cool.

Preview

Seiring berjalannya cerita, Elio dan Oliver menghabiskan waktu bersama di sela-sela kesibukan magang Oliver. Dari mulai makan bersama, main voli, berenang, main sepeda keliling kota, hingga berdansa. Awalnya, semua terasa normal-normal aja. Namun, sesekali saya merasa ada getaran tidak biasa dari sikap Elio yang seakan ingin tahu apa yang dilakukan oleh Oliver, sesederhana mengecek celananya yang digantung di kamar mandi atau memperhatikan interaksi Oliver saat ia sedang berdansa dengan perempuan lain.

Saya pun langsung mendapat kesan bahwa Elio ini memang murni laki-laki remaja yang masih labil dan penasaran dengan banyak hal. Di saat saya merasa ia sudah mulai tertarik dengan Oliver, Elio malah terlihat berusaha mendekatkan diri dengan Marzia. Pun begitu dengan Oliver yang terlihat acuh tak acuh dengan Elio.

Kemudian saat film sudah berjalan agak lama, saya langsung jatuh cinta dengan pembawaan Chalamet yang sangat into character Elio. Dengan badan yang kurus dan perawakannya yang belia, Chalamet menyihir saya dengan gesture tubuh yang… ah, susah dijelaskan. Pokoknya, gesture Chalamet di karakter Elio, sangat pas dan terlihat sisi feminine-nya tanpa kesan berlebihan.

Rasa kagum saya juga dibarengi dengan akting dari Hammer memerankan Oliver. Hammer begitu lihai saat menunjukkan character development Oliver dari yang sok cuek menjadi lembut kepada Elio.

Chalamet dan Hammer memiliki chemistry yang luar biasa dan serba otentik, sampai-sampai membuat saya lupa bahwa itu adalah kisah percintaan singkat antara dua manusia sesama jenis. Maksudnya, begitu melihat keduanya menunjukkan afeksi dan gesture sebagaimana manusia normal yang sedang kasmaran, saya tidak melihatnya sebagai “hiii pasangan gay” atau “kok lo bisa sih kayak gitu”.

‘Call Me by Your Name’ memperlihatkan kisah cinta manusia pada umumnya saja, serba indah, tidak dapat diduga, dan diselipi kesedihan yang tidak dapat dielakkan.

Keduanya pun menjalani hubungan yang pada saat itu, dirahasiakan. Harus curi-curi waktu agar bisa menghabiskan waktu berdua, hingga harus bersikap normal di depan orang lain, khususnya keluarga Elio. 

Preview

Gilanya lagi, Guadagnino seakan ingin membuat para penonton tenggelam di pemikiran betapa realistisnya kisah percintaan macam begini. Bisa dibilang cinlok alias cinta lokasi kali, ya? Perasaan suka terhadap orang lain karena intensitas bertemu dan bercengkerama yang sering sangat mungkin terjadi kepada siapapun.

Istimewanya, ‘Call Me by Your Name’ yang diangkat dari novel dengan judul yang sama ini mengesampingkan persoalan tentang gender dan usia. Karakter Elio dan Oliver sangat melebur dengan alur dan lini cerita, tanpa dibumbui dengan konflik lebay. Film ini juga jauh dari kesan provokatif atau apalah itu.

Saya yakin, kemampuan akting Chalamet dan Hammer di mata industri perfilman langsung meroket berkat film menyentuh ini. Tidak heran pula, Chalamet menerima berbagai macam nominasi penghargaan bergengsi, termasuk Best Performance by an Actor in a Leading Role dari Academy Awards.

'Call Me by Your Name' hadir seperti karya film memukau lainnya. Hadir bukan untuk dihujat, namun diapresiasi.

populerRelated Article