Rio Dewanto Harap Asosiasi Film Bisa Sejahterakan Para Pelaku Film
Memperingati Hari Film Nasional yang jatuh setiap 30 Maret, aktor Rio Dewanto menyoroti kesejahteran para pelaku film di Tanah Air. Rio pun berharap para asosiasi film yang ada di Indonesia bisa memberikan jalan keluar tentang masalah tersebut.
Rio Dewanto mengaku orang yang kurang suka bergabung dalam sebuah asosiasi. Namun suami Atiqah Hasiholan ini melihat, di Indonesia cukup banyaka asosiasi film, namun sayangnya berjalan sendiri-sendiri."Gue bukan tipe orang berorganisasi ya, tapi gue meliat kayak asosiasinya tuh kok terlalu banyak ya. Apakah itu sehat atau enggak, tapi apakah tidak lebih baik kalau asosiasi itu menjadi satu," kata Aktor Rio Dewanto, seperti dikutip dari Antara.
Rio Dewanto mengatakan, asosiasi-asosiasi film di Indonesia seperti Rumah Aktor Indonesia (RAI), Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi), dan Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI) seolah-olah membuat perfilman di Indonesia memiliki tujuan yang berbeda-beda.
"Nah, kalau jadi satu kan akan lebih kuat untuk menyuarakan apa yang menjadi keluhan maksudnya apa yang pengen kita perjuangkan gitu," ujar Rio Dewanto.
Rio Dewanto menyatakan, kehadiran asosiasi film dengan tujuan yang lebih jelas akan memperbaiki kesejahteraan para pelaku film dan bukan hanya aktor, termasuk para pendukung film dan mereka yang akan masuk dunia seni peran.
Pendapat serupa juga disampaikan salah satu penata musik dalam industri film yaitu Charlie Meliala. Charlie menyatakan asosiasi dalam bidang perfilman Tanah Air sudah banyak tapi sistem regulasinya tidak terlihat.
"Kalau Hollywood itu kan sudah jadi industri ya, jadi asosiasinya jelas. Terus campur tangan asosiasi ke regulasinya juga jelas dengan begitu kan sistem kerjanya akan benar," kata Charlie.
Penata musik dalam film Kartini itu mengatakan masalah terbesar dalam perfilman Indonesia adalah distribusi.
"Kalau di Indonesia outlet distribusi film itu mereka nggak cuma distribusi, tapi juga importir film. Kalau di negara lain, itu enggak boleh," ujar Charlie.
Charlie menambahkan persoalan distribusi film sudah dikeluhkan sejak era 1970-an karena outlet distribusi film akan mendapatkan keuntungan lebih. Keuntungan itu diperoleh karena film asing yang masuk ke Indonesia lebih banyak.
Padahal, celah bagi film Indonesia untuk tayang di negeri sendiri, lanjut Charlie, lebih sulit menyusul kehadiran film-film impor itu.
"Ketika mereka memutar film Indonesia, mereka kena potongan tuh. Tapi kalau untuk film barat, mereka bisa dapet seratus persen karena yang impor dan distributornya mereka sendiri," kata Charlie.