Sponsored
Home
/
Sport

Saat Taktik Lampard Berujung Nestapa Chelsea di Old Trafford

Saat Taktik Lampard Berujung Nestapa Chelsea di Old Trafford
Preview
Kolumnis: 12 August 2019
Bagikan :

Pertandingan pekan pertama EPL yang mempertemukan dua klub big six musim lalu, Manchester United vs Chelsea, Ahad (11/8/2019) malam, berakhir dengan skor telak 4-0. Tampil di hadapan pendukungnya yang memadati tribun Stadion Old Trafford, MU menang lewat brace Marcus Rashford, satu gol Anthony Martial, dan satu lainnya dari kaki pemain debutan, Daniel James.

"Ketika Anda memulai musim dengan cara seperti ini, klub, suporter, semua orang pasti pulang dengan senang," kata pelatih Setan Merah, Ole Gunnar Solskjaer setelah pertandingan.

Ole pantas merasa lega. Di pertandingan itu, para pemainnya berhasil membuktikan potensi masing-masing. Marcus Rashford membuktikan ketajamannya sama sekali tidak menurun meski ditinggal tandemnya, Romelu Lukaku. Para rekrutan baru seperti Harry Maguire, Aaron Wan-Bissaka, sampai Daniel James juga berhasil menjawab ekspektasi publik dengan cakap.

Maguire misalnya, menurut hitung-hirungan Whoscoredeks bek Leicester itu mencatatkan 4 intersep dan dua blok pada laga malam tadi. Angka intersep dan blok ini merupakan yang paling tinggi ketimbang pemain MU dan Chelsea lain. Wan-Bissaka juga mendulang rapor bertahan dengan tekel terbanyak (enam kali), serta lima clearance. Sedangkan nama terakhir, Daniel James, mengirim kado untuk mendiang ayahnya yang wafat beberapa bulan lalu lewat gol indah dari sisi kiri kotak penalti lawan.


Namun, skor 4-0 itu sesungguhnya bukan cuma menjabarkan permainan MU. Skor ini juga menjadi representasi kalau Chelsea masih punya banyak kelemahan. 

Seperti yang disampaikan JJ Bull dalam analisisnya di The Telegraph akhir pekan lalu, Lampard sebenarnya membawa sebuah 'pendekatan menarik' ke Chelsea. Dengan skema 4-2-3-1 (kadang 4-4-2 berlian) yang dia matangkan sejak masih melatih Derby County, Lampard menawarkan kebaruan atas gaya bermain Chelsea di bawah asuhan Maurizio Sarri.

Di era Lampard, meminjam kalimat Bull, "Chelsea memberi keleluasaan bagi gelandang mereka untuk menusuk ke depan kotak penalti."  Situasi ini memungkinkan The Blues bisa menyerang lebih cepat, ketimbang pada era Sarri yang "cenderung membatasi penetrasi sebagian gelandangnya," terutama Jorginho.

Namun, ada beberapa 'kesalahan' yang justru bikin pendekatan Lampard kacau balau ketika melakoni laga melawan MU. Lampard sendiri mengakui hal itu.

"Kami tidak ingin kalah dengan skor seperti ini, dan ini rasanya menyakitkan. Tapi ini bukan skor 4-0 seperti pada umumnya. Empat kesalahan untuk empat gol," ujar eks pelatih Derby County itu.

Lantas, apa saja kesalahan-kesalahan yang dimaksud Lampard?

Terlalu Banyak Ruang di Lini Tengah

Untuk mengetahui kesalahan pertama (dan terbesar) yang dilakukan Chelsea pada pertandingan tadi malam, ada baiknya kita mendengar komentar mantan pelatih Chelsea dan MU, Jose Mourinho setelah pertandingan.

Hadir sebagai pandit di SkySports, pria kelahiran Setubal itu berkata, "Kita kerap mendapati Rafa Benitez, atau pelatih-pelatih lain di samping lapangan memberi instruksi dengan isyarat memadatkan kedua tangannya. Itu artinya tim harus bermain dengan padat, dan ada momen ketika kita melihat dalam pertandingan tadi, Chelsea memiliki jarak yang terlalu jauh antara enam pemain [di depan] dan empat yang lain [bek]."


Seperti kata Mou, terutama pada babak kedua, saat kehilangan bola usai menyerang, ada jarak yang kelewat jauh antara para penyerang dan gelandang Chelsea (Tammy Abraham, Ross Barkley, Mason Mount, Pedro, Matteo Kovacic, Jorginho) dengan empat bek Chelsea (Emerson Palmeri, Kourt Zoma, Andreas Christensen, dan Cesar Azpilicueta).

Pandit lain, Garry Neville pun membenarkan pandangan Mou.

"Jika Anda menyaksikan Liverpool dan Manchester City, meski garis pertahanan mereka tinggi, mereka tidak membiarkan ada celah di lini tengah. Dan coba bandingkan dengan Chelsea, lini tengah mereka sangat terbuka," papar bekas pemain MU itu.

Celah yang terlalu banyak diciptakan pemain Chelsea ini kemudian menghadirkan dua dampak signifikan terhadap proses terciptanya gol-gol Manchester United.

Pertama, ruang yang terlalu banyak memudahkan gelandang pengatur serangan MU—dalam hal ini adalah Paul Pogba—untuk berpikir dan menyirkulasikan bola sesuai kemauannya. Dan terbukti, dalam pertandingan ini Pogba menyumbang dua assist. Selain assist, menurut hitung-hitungan Whoscored, gelandang andalan Timnas Perancis ini bahkan mampu menciptakan empat umpan kunci sepanjang pertandingan.

Kedua, jarak antara gelandang dan lini pertahanan yang terlalu jauh juga bikin bek Chelsea tidak mendapat proteksi yang cukup.

Masalah ruang terlalu besar ini sempat direspons Lampard lewat perggantian Jorginho dengan N’Golo Kante pada menit 73. Namun, pergantian ini tak banyak berdampak. Pada akhirnya terbukti, celah yang muncul bukan hadir dari karena kesalahan individu, tapi akibat kurang kompaknya koordinasi antar-pemain.

Banyak Membuang Serangan

Selain perkara koordinasi antarlini yang kurang kompak, Chelsea juga gagal membuktikan efektivitas dalam hal menyerang.

Sepanjang pertandingan, The Blues sebenarnya punya banyak momentum dengan menciptakan total 18 tembakan--angka yang jauh mengungguli tim tuan rumah (11 tembakan)--. Namun, koordinasi antar-pemain depan kembali jadi batu sandungan yang bikin banyak peluang itu terbuang percuma.

Frank Lampard sudah mencoba beberapa rotasi dalam pertandingan ini. Mulai dari menukar posisi Ross Barkley dan Mason Mount (gelandang nomor 10 dan winger kirinya), sampai memasukkan Olivier Giroud sebagai pengganti striker Tammy Abraham.

Untuk pergantian kedua, kurangnya dukungan terhadap Giroud juga jadi penghambat. Winger kanan Chelsea, Pedro (yang menciptakan enam key-passes di laga ini) sebenarnya punya momentum untuk beberapa kali mengumpan kepada Giroud yang berdiri di kotak penalti tanpa pengawalan. Namun, Pedro cenderung lebih banyak membawa bola ke sisi kanan alih-alih mengirim umpan terobosan.

Masalah di Sisi Kanan Pertahanan

Salah satu pemain Chelsea yang paling mendapat hujan kritik dalam laga kontra MU adalah bek kanan Cesar Azpilicuetta. Penyebabnya cukup jelas, Azpi tercatat 22 kali bikin Chelsea kehilangan penguasaan bola. Angka ini merupakan yang terbanyak ketimbang pemain-pemain The Blues lain.

Banyak fans The Blues melabeli performa buruk ini akibat penuaan si pemain. Namun, masalah Azpi sebenarnya tidak sesederhana itu.

Bukan rahasia jika modal utama Azpi sebagai pesepakbola profesional adalah versatilitasnya. Dia bisa bermain sebagai bek kiri (di era Jose Mourinho), bek tengah (di era Antonio Conte), dan bek kanan (di era Sarri). Namun di antara tiga posisi itu banyak analis yang menilai kalau pos paling tepat untuk Azpi adalah bek tengah.

Penyebabnya sederhana. Menurut Parth Atale, penulis sepakbola di Feel Chelsea, Azpilicueta cakap bertahan dan punya agresifitas yang tidak bisa mengimbangi tandemnya di pos bek kiri. Musim lalu misalnya, menurut Whoscored, Azpi cuma menorehkan rata-rata 0,2 tembakan dan rata-rata 14 umpan di sepertiga area lawan. Angka ini berbanding jauh dengan Marcos Alonso (bek kiri) yang melepaskan rata-rata 1,5 tembakan serta 23 umpan di sepertiga area lawan.

Menjadi bek yang cenderung konservatif bukan sebuah hal yang salah, tapi karakter ini jelas tidak cocok dengan pendekatan Maurizio Sarri dan Frank Lampard yang mengandalkan pressing tinggi.

Ketidakbetahan Azpi menjalani peran sebagai bek kanan di skema Sarri bahkan sudah terindikasi sejak musim lalu. Beberapa kali hubungannya dengan Sarri menjadi tidak harmonis. Media-media Inggris beberapa kali memberitakan keretakan hubungan ini, misal usai final Carabao Cup melawan Manchester City atau pasca-derbi London kontra Arsenal di EPL.

Belum Bisa Mengatasi Pressing Tinggi

Masalah lain, sekaligus yang tidak kalah pelik di lini belakang Chelsea era Lampard, adalah urung mampunya mereka mengatasi pressing tinggi yang diterapkan lawan. Saat melawan MU di Old Trafford, kelemahan ini terlihat begitu jelas. Menurut analis sepakbola The Times, David Connolly, ketidakmampuan ini terjadi akibat dua hal.

Pertama, para pemain The Blues tidak terlihat nyaman ketika mengumpan di sekitar area kotak penalti sendiri. Kedua, para pemain bertahan Chelsea tidak punya kemampuan melepaskan umpan panjang dengan akurat. Dan atas dua ketidakmampuan ini, masih menurut Conolly, Chelsea melakukan kesalahan besar karena melepas David Luiz ke Arsenal pada bursa transfer.

Luiz memang bukan lagi pemain muda, tapi kemampuannya mengontrol bola di area sendiri serta jangkauan umpan panjangnya tidak main-main. Salah satu aksi monumentalnya, mengirim assist 60-yard kepada Pedro sambil melihat ke samping dalam salah satu pertandingan Chelsea musim lalu hingga kini masih mengundang decak kagum.

Modal inilah yang tidak dimiliki Chelsea ketika menghadapi MU. Dua bek mereka, Kurt Zouma dan Andreas Christensen memang punya potensi, tapi dalam mengirim umpan panjang, keduanya tidak punya--setidaknya--rasa percaya diri. 

Pelatih MU, Ole Gunnar Solskjaer merespons kelemahan itu dengan jeli. Solskjaer meminta para pemainnya mem-pressing habis-habisan sampai bikin tim tamu terpaksa berbuat sesuatu yang jadi kelemahan mereka: umpan panjang. Termasuk ketika bola sudah diumpankan ke kaki kiper Kepa Arrizabalaga, para pemain MU terus bergerak agar si kulit bundar dikirmkan dengan umpan lambung.

"Ketika bola kemudian sampai ke kaki Kepa, pressing bahkan terus dilanjutkan sampai terjadi sebuah umpan panjang dari si penjaga gawang, yang angka kesuksesannya jelas rendah karena faktor absennya David Luiz," tulis Connolly.

"Taktik ini terus dipertahankan Solskjaer pada babak kedua dengan energi dan intensitas konsisten," tandasnya.

Kelemahan mengantisipasi pressing ini, tentunya jadi PR yang paling harus lekas dibenahi Lampard. Terlebih pada pekan depan, Chelsea akan menghadapi Liverpool, tim yang menjadikan counter-pressing sebagai senjata andalannya.
Baca juga artikel terkait LIGA INGGRIS atau tulisan menarik lainnya Herdanang Ahmad Fauzan

populerRelated Article