Sejarah Aman Datuk Madjoindo, si Anak Minang Pengarang Si Doel
Abdul Hamid (Doel) tak hanya alim dan pandai mengaji, namun juga jago berkelahi. Setiap hari, Doel dan teman-teman pergi mengaji di rumah Engkong Salim, guru mengaji sekaligus kakek Doel. Tak jarang pula Doel terlibat perkelahian dengan musuh bebuyutannya, Sapi’i.
Suatu hari di bulan Ramadan, Doel meminta kepada Nyak dan Babenya untuk membelikannya seragam sekolah. Doel iri kepada Karto, anak dari keluarga Jawa sebelah rumah yang pergi ke sekolah setiap hari. Meskipun ditentang Engkong Salim yang tegas menolak tradisi pendidikan Belanda, Babe berjanji akan menyanggupi permintaan Doel setelah lebaran.
Kisah tersebut menjadi babak pembuka buku cerita anak-anak Si Doel Anak Betawi. Di balik kisahnya yang kental akan budaya dan kebiasaan orang Betawi, cerita Si Doel ternyata datang dari buah pikiran seorang anak nagari, Aman Datuk Madjoindo.
Pada 1932, Aman menerbitkan cerita Si Doel Anak Betawi untuk pertama kalinya di bawah naungan Balai Pustaka. Tak dinyana, kisah petualangan Doel menuntut pendidikan sembari menghadapi jago-jago di kampungnya menjadi cukup populer. Si Doel sudah mengalami cetak ulang sebanyak lima kali pada 1951 dan sempat beralih judul menjadi Si Doel Anak Jakarta.
Sudah pantas rasanya jika menyebut Si Doel sebagai karya fenomenal. Selepas kesuksesan novel dan adaptasi layar perak garapan Sjumandjaya pada 1972, kisah Doel berlanjut ke layar kaca melalui Si Doel Anak Sekolahan yang tayang sepanjang 1990-an. Hingga kini, kisah kesederhanaan Doel tetap dinanti melalui film layar lebar teranyar Si Doel The Movie yang sudah mencapai jilid ke-2.
Pindah ke Jakarta Demi Buku
Berdasarkan riwayat hidup Aman Datuk Madjoindo yang dihimpun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Aman lahir di Supayang, Solok, Sumatera Barat pada 1896. Keluarganya bersahaja tetapi mendukung agar Aman menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Disebutkan pula bahwa Aman tamat dari Inlandsche School (Sekolah Bumiputera) pada usia 12 tahun. Semasa sekolah, Aman sudah menunjukan gelagat kutu buku dan sangat menyukai membaca sastra melayu klasik.
Setahun setelah lulus dari Kweekschool (Sekolah Guru) pada 1911, Aman sudah mulai mengajar. Pekerjaan ini dilakoninya selama hampir tujuh tahun. Pertama, Aman menjadi pengajar di Solok. Dua tahun kemudian ia pindah ke Padang untuk mengajar di sekolah pribumi kelas dua. Pada titik inilah Aman menjadi lebih dekat dengan anak-anak.
Kendati menyukai dunia anak, mengajar ternyata tidak mampu memuaskan Aman. Walhasil, ia memutuskan untuk mencari kerja di bidang perbukaan. Dalam benaknya, Aman berkeinginan menjadi seorang penerjemah agar anak-anak tetap dapat membaca buku-buku asing dalam bahasa Melayu.
Aman kemudian membawa tekadnya ini merantau sampai ke Batavia pada 1919. Di sanalah ia berkesempatan mengikuti kursus bahasa Belanda sore di Meester Cornelis (Jatinegara).
Kecintaannya yang terlalu besar terhadap buku lantas mengarahkan Aman untuk bekerja di toko buku di sekitar Jatinegara. Sambil bekerja, ia melanjutkan kursus bahasa Belanda sampai lulus ujian pegawai rendah.
Sayang, Aman tidak betah lama-lama menunggui seonggok buku. Ketimbang bekerja menjual buku orang lain, Aman ingin sekali menulis bukunya sendiri. Harapannya akhirnya terpenuhi pada 1920. Waktu itu ia diajak bergabung ke Balai Pustaka yang berlokasi di Gondangdia Lama. Aman bekerja sebagai korektor di bagian Maleische Redactuur (Redaksi Bahasa Melayu) mendampingi Nur Sutan Iskandar.
Balai Pustaka dan Buku Anak-Anak
Bagai pulang kampung, di Balai Pustaka Aman dapat berkumpul bersama kawan-kawan asal Sumatera Barat. Selain Sutan Iskandar, Aman juga berkawan dengan Tulis Sutan Sati, Sutan Muhammad Zein, dan Sutan Pamuntjak.
Maman S. Mahayana dalam Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (2007, hlm. 371) menyebut redaktur Balai Pustaka sebelum kemerdekaan memang lebih banyak dipercayakan kepada orang-orang Sumatera, khususnya orang Minangkabau. Mereka dianggap lebih cakap mengolah bahasa Melayu yang bukan Melayu Pasar.
Mahayana juga mencatat, jumlah pengarang Balai Pustaka yang karyanya terbit tahun 1920-1945 jumlahnya tidak lebih dari 35 orang. Lebih dari separuhnya hanya pernah menghasilkan satu buah buku.
Sampai pertengahan 1920-an, Aman sendiri belum berhasil menelurkan karya sastra sendiri. Ia lebih banyak menyadur dan menerjemahkan buku-buku Belanda ke dalam bahasa Melayu. Menurut Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, hasil terjemahan bebas pertama Aman di Balai Pustaka adalah buku anak-anak dari negeri Belanda berjudul De Club van Zessen Klaar.
Berawal dari kegiatannya bergelut dengan buku anak-anak, Aman tergerak untuk menulis cerita anak-anak. Pertama-tama ia mengincar posisi penulis cerpen untuk majalah mingguan Pandji Pustaka terbitan Balai Pustaka.
Sayangnya, rencana tersebut sementara dibatalkan. Aman terserang penyakit paru-paru dan harus dirawat di Sanatorium Cisarua, Bogor. Tak kunjung pulih, Aman memutuskan mengambil cuti dan pulang ke Solok pada 1927.
Di Solok, Aman malah tidak bisa tenang karena terus kepikiran rencananya menulis buku. Kendati demikian, kegelisahan Aman di kampung ternyata berbuah ide segar. Sekembalinya ke Batavia, Aman pun mulai meramu dan menulis cerita tentang kehidupan anak-anak desa di Sumatera Barat.
Atas dorongan Sutan Pamuntjak, Aman berhasil menulis kisah tentang seorang anak bernama Mustapa di tengah kehidupan damai dan sederhana di sebuah nagari, Sumatera Barat. Cerita yang kemudian dikenal dengan judul Tjita-tjita Mustapa itu agaknya banyak mengambil inspirasi dari kisah Tom Sawyer Anak Amerika yang diterjemahkan dan diterbitkan Balai Pustaka pada 1928.
Mencari Sosok Si Doel
Setelah pulih dari sakit, ide-ide segar lainnya bermunculan di kepala Aman. Menyambung sukses kisah Mustapa, Aman ingin sekali bisa menulis kisah tentang anak di kampung Betawi. Klarijn Loven menarik simpulan dari hasil wawancara dengan H. Bahrum, cucu Aman Datuk Madjoindo yang menyebutkan bahwa pada saat itulah tokoh Si Doel lahir dalam benak sang kakek.
Dalam Watching Si Doel: Television, Language and Identity in Contemporary Indonesia (2008, hlm. 17), Loven menunjukan bawah tokoh Si Doel sebenarnya adalah tokoh nyata. Doel merupakan nama kecil dari anak tetangga dekat Aman di sebuah pemukiman di Jatinegara pada pengujung 1920-an.
Keluarga Doel disebut-sebut sangat menjunjung tinggi adat dan budaya Betawi. Doel, menurut pengamatan Aman, adalah anak yang rajin, bersemangat, dan suka menenggelamkan diri ke dalam kegiatan keagamaan. Di saat bersamaan, Aman sangat terkesan dengan kepatuhan Doel kepada kedua orangtuanya.
Agar dapat menghasilkan naskah yang diharapkan, Aman membutuhkan waktu tiga tahun untuk mengamati perilaku dan kebiasaan Doel di tengah lingkungan keluarga dan pertemanan. Pada 1932, naskah Si Doel Anak Betawi pun akhirnya berhasil diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Melanie Budianta melalui artikel “Representasi Kaum Pinggiran dan Kapitalisme” menyebut Si Doel Anak Betawi sebagai terbitan pertama Balai Pustaka yang berani memakai bahasa sehari-hari. Dialog semacam ini khususnya ditunjukan oleh interaksi antar tokoh dengan menggunakan bahasa Melayu berlogat Betawi.
“Barangkali ada djuga paedahnya saja pakai logat Djakarta dalam buku ini, supaja diketahui oleh pembatjanja jang bukan orang Djakarta, atau jang diluar kota Djakarta, bagaimana logat Djakarta itu,” tutur Aman dalam pengantar bukunya seperti dikutip dari tulisan Budianta yang dimuat pada Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial (2008, hlm. 300)
Selain pemakaian bahasa sehari-hari berlogat Betawi, Budianta juga mencatat penggunaan dialog campuran dari berbagai bahasa seperti Jawa dan Sunda. Sementara itu, Aman tetap mempertahankan Melayu tinggi untuk menyampaikan narasi guna mendukung kebijakan Balai Pustaka terhadap penggunaan bahasa Melayu.
“Tentu sadja tidak seluruh buku ini memakai logat itu, hanja dalam pertjakapan-perjakapan sadja. Logat itu dipakai jang umum dan jang terdengar sehari-hari,” lanjut Aman.
Baca juga artikel terkait SI DOEL atau tulisan menarik lainnya Indira Ardanareswari