Sejarah Jalur Kereta Api Semarang-Yogyakarta
Kenapa pemerintah kolonial Hindia Belanda rajin membangun jaringan rel kereta api?
Kebutuhan untuk angkutan hasil bumi seperti kopi, teh, gula dan lain dari daerah pedalaman ke pelabuhan yang terdapat di beberapa kota pesisir utara Jawa. Semakin cepat hasil bumi diangkut ke kapal dan dijual ke pasar ekspor maka makin bagus bua kantong pemerintah Belanda. Namun, banyak hasil bumi tidak bisa dengan cepat diangkut ke kapal dan dijual. Agus Mulyana dalam Sejarah Kereta Api di Priangan (2017:54) menyebut “lambannya pengangkutan dapat mengakibatkan banyak hasil bumi menumpuk di gudang-gudang di daerah pedalaman dan membusuk karena tidak terangkut.”
Kondisi demikian mendorong kebutuhan infrastruktur transportasi yang efisien, yang bisa dijawab oleh kereta api. Salah satu sentra hasil bumi adalah daerah kerajaan (Vorstenlanden), Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta.
Sehingga muncul jalur baru kereta, dari Semarang ada jalur kereta ke Surakarta, melewati Gundih, Grobogan dan ke arah Yogyakarta melewati Magelang dan Ambarawa. Lokasi Ambarawa dan Magelang lebih tinggi dibandingkan Yogyakarta dan Semarang. Jalur kereta apa ini dibangun oleh maskapai swasta, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).
Jalur dari Yogyakarta-Magelang, dirampungkan pada 1898. Dari Magelang jalur ini diteruskan sampai ke Secang pada 1903. Jalur Secang-Ambarawa selesai dibangun pada 1905. Selanjutnya dibangun jalur dari Ambarawa ke Bedono, yang kondisi jalannya menukik, tak heran jika relnya bergerigi dan keretanya pun khusus.
Jalur kereta Semarang melewati Kedung Jati ke Ambarawa sudah ada sejak 1873. Setelah 1905, jalur Semarang-Yogyakarta bisa dilewati kereta. Panjang total jalur ini mencapai sekitar 121 Km. Sebelum ada jalur itu, pengangkutan hasil bumi mengandalkan gerobak yang ditarik sapi. Adanya rel dan kereta api mempercepat pengangkutan hasil bumi.
“Dari Yogyakarta ke Semarang diperlukan waktu delapan jam dengan kereta api, sedangkan dengan gerobak tidak kurang dari tiga hari," tulis Suhartono W Pranoto dalam Apanage dan bekel (1991:132).
Selain jalur kereta Semarang-Yogyakarta yang melewati Magelang, ada jalur Semarang-Yogyakarta via Surakarta, tapi rutenya lebih panjang sampai 200 Km.
Bukan Hanya Hasil Bumi
Yogyakarta adalah daerah bekas perlawanan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830), menyimpan kekhawatiran pemerintah kolonial dari sisa-sisa pengikut Diponegoro di sana. Pemerintah kolonial mencoba mengatasi kekhawatiran ini. Setelah Perang Jawa usai, di bagian barat Yogyakarta terdapat beberapa pangkalan militer Belanda di Purworejo dan Gombong. Di utara Yogyakarta ada pangkalan militer Belanda lagi di Magelang, Ambarawa dan Salatiga. Di Ambarawa terdapat Benteng Millem I, yang dibangun antara 1834 hingga 1845.
Setelah Perang Jawa, seorang insinyur militer Belanda, Kolonel J.H.R. van Der Wijk yang pertama kali mengusulkan kepada pemerintah kolonial, agar dibangun jalur kereta api di Pulau Jawa. Sebagai jalur prioritas antara lain, Surabaya-Surakarta-Yogyakarta-Bandung-Batavia. Usul itu diterima dan jalur itu pun jadi. Jalur itu melewati juga Purworejo dan Gombong, di mana terdapat pangkalan Tentara Kerajaan di Hindia Belanda alias KNIL.
Daerah Magelang dan Ambarawa bisa diakses dengan kereta dari Yogyakarta. Kereta api pun membuat pergerakan pasukan memasuki Yogyakarta jadi lebih mudah. Hingga tak ada peluang menang jika penguasa atau bangsawan dari Yogyakarta beserta pengikutnya berperang melawan pemerintah kolonial.
Mati di Zaman Orde Baru
Jalur kereta antara Semarang-Ambarawa mati pada 1970 dan jalur Yogyakarta Magelang juga mati pada 1976. Di dekade pertama Orde Baru itu, mobil semakin merajai jalanan di Pulau Jawa. Mobil-mobil Toyota masuk lewat Astra setelah 1969. Toyota bukan satu-satunya pabrikan mobil yang masuk ke Indonesia. Astra juga bukan satu-satunya penyalur mobil di Indonesia. Perusahaan bus tentu makin banyak jumlahnya. Bis menjadi pesaing kereta api, dan akhirnya kereta ditinggalkan.
Namun, sebelum jalur kereta api Semarang-Yogyakarta mati, para taruna Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) punya kenangan dengan kereta api. Pernah ada kereta api Taruna Ekspres. Mayor Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, Gubernur Akabri, yang meresmikannya, bersamaan dengan stasiun bernama Lembah Tidar. Dengan kereta itu bisa mengangkut para taruna Akabri yang hendak berpesiar ke Yogyakarta.
Di zaman Taruna Ekspress diresmikan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih jadi taruna di sana. Begitu juga bekas kawan satu tingkat tapi lulusnya beda angkatannya yang bernama Prabowo Subianto Djojohadikusumo, dan satu lagi Ryamizard Ryacudu. Adanya kereta Taruna Ekpress, para taruna bisa ke Yogyakarta, bisa turun di Stasiun Lempuyangan atau Stasiun Tugu, mereka bisa membolos ke Jakarta.
Selain para taruna Akabri Magelang, penyanyi pop Kris Biantoro adalah saksi sejarah jalur kereta ini. Kala itu dia belum terkenal. Kris berasal dari Magelang menimba ilmu di SMA Kolese De Britto, dan kuliah di Universitas Atmajaya. Keduanya di Yogyakarta. Ia pernah bersepeda dari Yogyakarta ke Magelang, di masa-masa yang baginya disebut kesengsaraan.
“Saya selusuri jalur sepanjang rel Yogya-Magelang. Kalau kehausan saya berhenti di stasiun,” akunya dalam buku Manisnya Ditolak: Sebuah Autobiografi (2004:81).
Ia menceritakan sepedanya beradu kayuh dengan kereta yang masih beroperasi kala itu. Kris juga harus melepas dahaga dengan minum air di WC stasiun. “Dalam perjalanan di sepanjang rel kereta itu, saya masih sempat mejeng. Yang saya betot perhatiannya adalah cewek-cewek yang ada dalam gerbong-gerbong,” katanya, “momen yang saya pakai adalah momen ketika kereta dan sepeda saya saling menyusul.”
Selain Kris Biantoro yang punya kenangan. Jalur kereta itu juga punya kenangan dengan seorang guru muda bernama Matius Sukardi. Ia naik kereta itu dari arah Yogyakarta dan turun di Secang untuk menunaikan tugasnya di Temanggung.
Kini jalur yang dilewati itu sudah tak ada lagi. Stasiun-stasiun yang pernah disinggahi Kris singgah untuk minum air keran pun tak jelas bentuknya. Kondisi stasiun sudah ada yang jadi rumah-rumah penduduk seperti di Muntilan dan Sleman.
Kini, setelah beberapa dekade mati, jalur kereta Semarang-Yogyakarta hendak diaktifkan kembali oleh pemerintah yang rencananya dimulai pada 2019. Namun, nampaknya bukan pekerjaan mudah menyambungkan dua kota besar itu dengan kereta karena penduduk yang makin padat.
Baca juga artikel terkait KERETA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi