Selain Punya Fortuner, Ini Sejumlah Penyebab Sopir Arogan di Jalan
Foto: Toyota
Uzone.id - Kalau di lagu Noah yang judulnya Separuh Aku, lirik awalnya begini; “Dan terjadi lagi, kisah lama yang terulang kembali,”. Ya, seperti kejadian arogannya sopir Toyota Fortuner yang menghancurkan dan menabrak sebuah Honda Brio di Jakarta yang viral.
Terjadi lagi dan lagi dan lagi, entah sudah berapa kali, Fortuner jadi bintang utama arogansi dan kekerasan di jalan. Bahkan saking kesalnya, netizen sampai menggaungkan agar Toyota tidak lagi memproduksi dan menjual SUV ladder frame tersebut di Indonesia.Tapi sebenarnya apa sih yang membuat sopir jadi arogan di jalan? Apa karena dia sedang mengendarai Fortuner, jadi seolah tersihir untuk punya standar mengemudi agresif?
BACA JUGA: Wuling dan Uzone.id Edukasi New Energy Vehicle ke Komunitas
Praktisi Road Safety & Founder Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC), Jusri Pulubuhu, sempat memberikan pernyataan terkait arogansi dan kekerasan di jalan, atau disebut Road Rage.
Dikutip Uzone.id, menurutnya perilaku road rage termasuk penghinaan kasar dan verbal, berteriak, ancaman fisik atau perilaku mengemudi berbahaya yang ditargetkan kepada pengemudi lain, pejalan kaki atau pengguna jalan lainnya dalam upaya untuk mengintimidasi atau melepaskan kekesalan atau ketidak sukaannya.
Menurut npenjelasan Jusri, pemicu sopir agresif di antaranya berhubungan dengan kekuasaan seperti pejabat, organisasi masyarakat, instansi hukum, rombongan seperti iring-iringan jenazah, motor fans club, dan sebagainya.
“Tak hanya itu dimensi kendaraan yang lebih besar, mahal dan mewah juga berpotensi jadi pemicu road rage,” ujarnya.
Baca juga: Skutik Honda Cuma Rp13 Jutaan Resmi Diluncurkan!
Faktor di jalan juga turut memengaruhi, seperti kecakapan mengemudi, dimana biasanya para pelaku Road Rage tidak mau mengalah di jalan dan tidak mau mematuhi aturan hukum.
"Kesadaran aturan hukum dan tata tertib berlalu lintas di jalan yang lemah. Kesadaran berbagi (empati) yang lemah. Dan penegakan hukum paska kejadian yang kurang tegas," kata Jusri.
"Kasus-kasus seperti ini banyak mengakibatkan tindak anarkis atau fisik, perusakan namun berakhir dengan tidak berlanjutnya menjadi kasus hukum sama dengan damai dengan pertimbangan restorative justice," tutup Jusri.