Sisi Paling Gelap Sepakbola Kroasia
Demam Piala Dunia mengubah Kroasia sejenak. Ada perasaan bangga dan bahagia menyelimuti masyarakat Kroasia secara umum walau mereka gagal menjadi juara. Keberhasilan masuk ke partai final Piala Dunia 2018 sejenak mampu melupakan warga Kroasia terhadap kondisi negara yang sebenarnya karut-marut.
Kroasia adalah negara dilanda krisis ekonomi serius selama enam tahun terakhir. Di Uni Eropa, ekonomi mereka hanya ada satu strip di atas Yunani yang menjadi negeri dengan krisis terparah di Eropa. Ada banyak kemiskinan di Kroasia saat ini. Dalam waktu dua tahun terakhir, tingkat pengangguran memang berkurang dari 16,1 persen ke 12,7 persen, namun pengurangan itu disebabkan tingkat migrasi penduduk yang memilih pergi ke Irlandia atau Jerman untuk mendapatkan kehidupan lebih baik. Karena itulah saat negara mereka berbicara banyak di ajang Piala Dunia, empat juta penduduk bersorak merayakannya. "Saya bisa mengerti mengapa orang bergembira. Ini adalah bentuk pelarian dari kehidupan sehari-hari yang pahit," kata Juraj Vrdoljak, seorang wartawan Telesport Kroasia kepada Bleacherreport. Hulu dari kesemerawutan ekonomi adalah budaya korupsi yang laten menggerogoti negara ini. Survei Ernst & Young pada 2017 menyebut Kroasia sebagai negara terkorup di Eropa Tenggara. Birokrasi mereka amat njlimet, penegakan hukum sangat lemah, ditambah oligarki politik membuat negara yang baru berumur 26 tahun itu sulit menata kehidupan ekonomi. Dan sialnya budaya korupsi ini juga merembet pada urusan sepakbola. Subjek kekacauan mengarah pada federasi sepakbola Kroasia itu sendiri (HNSa). Tak ada yang patut dibanggakan dari HNSa, mereka tak punya rencana memperbaiki infrastuktur. Laporan BBC menyebut, Kroasia hanya memiliki lima stadion yang memenuhi standar internasional UEFA.Perlawanan Suporter terhadap Federasi Kroasia dan Suker
Salah satu tindakan cerdik yang dilakukan suporter adalah memaksa otoritas lebih tinggi seperti UEFA atau FIFA mendenda mereka. Caranya dengan berbuat rasis dan onar di stadion, termasuk dalam konteks rasisme. Salah satu kasus saat mereka menghina Mario Balotelli dengan sebutan monyet pada Piala Eropa 2012. Sampai-sampai Presiden UEFA, Michael marah besar.
"Saya tidak senang dengan Kroasia," katanya kepada The Guardian. "Mereka adalah tim yang bagus tapi itu tidak bisa diterima ketika kamu punya seratus atau lebih orang bajingan yang bergabung dalam kerumunan." Tindakan ini cukup janggal. Kendati sejarahnya kaya dengan ide-ide fasis dan sauvinis, saat ini Kroasia relatif terbuka dan sedang tidak menjadi sarang bagi kelompok ekstrim kanan. Tidak ada demonstrasi massa sayap kanan yang lazim ditemui di beberapa negara Eropa lain, seperti Inggris, Italia atau Jerman, misalnya. Salah satu faktor kenapa nyanyian rasis itu bisa terjadi karena fans ingin UEFA menghukum federasi mereka.Simak hal yang dilakukan pendukung Krosia pada kualifikasi Piala Eropa 2016 lalu. Saat itu seorang fans menggambar lambang swastika Nazi di atas rumput Stadion Poljud ketika melawan Italia. Desain swastika itu muncul di rumput jika dilihat dari kursi penonton. Insiden ini tentu saja mencoreng Kroasia selaku tuan rumah. Tindakan nyeleneh fans Kroasia terjadi pada Piala Eropa 2015. Kala itu Kroasia berhasil menang dari Ceko di laga terakhir fase grup. Kemenangan ini membuat mereka lolos babak delapan besar. Namun laga ini sempat terhenti selama beberapa menit, sebab fans Kroasia melempar puluhan cerawat ke tengah lapang. Jurnalis Italia, Gabriele Marcotti, menyebut fans berharap akibat insiden ini Kroasia didiskualifikasi dari Euro 2016."Ada sebagian penggemar yang ingin Kroasia tersingkir," katanya kepada ESPN. “Mereka ingin FA Kroasia semakin dipermalukan. Mereka (fans) memiliki masalah besar dengan Zdravko Mamic dan Davor Suker,” katanya lagi. Dua orang ini jadi musuh bersama para fans Krosia. Siapa tidak mengenal Davor Suker? Dia adalah bintang Kroasia di Piala Eropa 1996 dan Piala Dunia 1998. Berstatus sebagai legenda, Suker melenggang jadi ketua federasi HNSa sejak 2012 lalu. Meski rekam jejaknya sebagai pemain cukup harum, namun Suker dianggap bagian dari generasi lama yang korup. Ia dipandang hanyalah boneka Zdravko Mamic.Zdravko Mamic ini mengontrol sepakbola, liga dan perputaran uang di dalamnya selama lebih dari satu dekade. Dan Mamic tak pernah tak muncul secara terang-terangan di tampuk kekuasaan. Kedekatan Suker dengan Mamic membuat namanya tercemar."Orang Kroasia lebih menghormati Robert Prosinecki dan Zvonimir Boban ketimbang Suker," kata Gordan Duhacek, seorang jurnalis di situs berita Kroasia, Index kepada Bleacherreport. Selain Suker, tokoh senior HNSa yang punya relasi dengan Mamic adalah Damir Vrbanovic yang kini menjabat sebagai Direktur Eksekutif HNSa. Vrbanovic adalah tangan kanan Mamic di klub sepak bola Dinamo Zagreb, kata Duhacek lagi.Tumpang Tindih Sepakbola dan Politik
Masalah lain adalah sepakbola tidak hanya sekadar olahraga sebab selalu memiliki implikasi sosial dan politik yang luas, terutama apa terjadi di tim nasional. Mamic adalah teman dekat Grabar-Kitarovic, Presiden Kroasia yang jadi perbincangan di dunia maya karena penampilannya selama menonton Kroasia di Piala Dunia 2018.
Mamic diketahui jadi donatur kampanye Grabar-Kitarovic. Ia jadi tamu kehormatan pada upacara pelantikan presiden. Ia pun disebut selalu menyelenggarakan pesta makan malam dan ulang tahun untuk Grabar-Kitarovic. "Saya tidak pernah mencoba menyembunyikan bahwa saya memiliki hubungan baik dengan dia," kata sang presiden kepada Nova TV pada November 2017 lalu. Grabar-Kitarovic pun seringkali membawa Vrbanovic - tangan kanan Mamic yang juga dihukum 3 tahun penjara karena kasus sama - ke ruang ganti Kroasia usai beberapa pertandingan di Piala Dunia kali ini. Tentu saja tindakan ini mendapatkan cemoohan dari para fans. Kekecewaan terhadap federasi yang tak bertolak belakang dengan prestasi timnas memunculkan sebuah paradoks tersendiri di hati para fans. "Meskipun terdengar aneh, Kroasia berada di jalur untuk menjadi juara tanpa dicintai di negaranya sendiri," kata Vrdoljak. "Saya punya teman yang sering awayday. Dia benar-benar bersemangat untuk mendukung mereka. Suatu ketika dia menelepon dan berkata, 'Saya tidak lagi marah lagi. Saya sangat sedih karena saya tidak merasakan apa-apa. Saya tidak bisa menerima pencapaian ini.' Saat dia mengatakan merasa hampa saat Kroasia berada di final, ini adalah kondisi yang tidak normal."Sementara Dario Brentin, seorang akademisi di Universitas Graz yang punya keahlian dalam studi olahraga dan politik Balkan, menyebut kondisi ini membelah fans jadi dua sisi. "Sebelum Piala Dunia rasa skeptis terhadap Kroasia muncul. Ada ketidakpedulian yang cukup luas. Perasaan ini akan terkikis saat tim mendapatkan kemenangan. Inilah yang membedakan fans biasa dengan fans sebenarnya," katanya kepada Bleacherreport. "Orang-orang yang sekarang berkumpul di alun-alun di Zagreb adalah bukan penggemar sepakbola dalam arti sebagai fans kritis. Mereka orang Kroasia biasa yang ingin mendukung tim nasional. Namun ada juga fans yang telah berjuang selama bertahun-tahun agar HNSa menjadi lebih demokratis dan pengelolaan sepakbola Kroasia jadi lebih baik," lanjut Brentin. Kata Brentin, posisi eksistensi fans tipe kedua inilah yang kini sedang terancam. "Tentu saja mereka akan jadi frustrasi sekarang. Mereka tahu perjuangan mereka akan menjadi lebih sulit," katanya. "Kita semua tahu bahwa masalah tidak akan hilang karena ada kesuksesan, sekalipun kita menjuarai Piala Dunia." Baca juga artikel terkait TIMNAS KROASIA atau tulisan menarik lainnya Aqwam Fiazmi HanifanBiar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.
Editors' Picks
Most Popular
Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini