Sponsored
Home
/
Technology

Strategi Kuda Troya Alibaba untuk Asia Tenggara

Strategi Kuda Troya Alibaba untuk Asia Tenggara
Preview
Sheji Ho23 January 2017
Bagikan :

Sudah hampir setahun berlalu sejak Alibaba mengakuisisi Lazada, platform e-commerce ternama di Asia Tenggara. Sejak munculnya berita ini, para pengamat dan kritikus berdebat apakah kerja sama ini bakal berdampak baik bagi kedua belah pihak; bagaimana hal ini akan mempengaruhi para rival seperti MatahariMall, Tokopedia, dan Orami; serta bagaimana wilayah ini nantinya akan dibanjiri oleh produk murah asal Cina.

Di sisi lain, para pendiri startup dan modal ventura (VC) justru berbahagia, karena akuisisi ini berhasil menaruh wilayah Asia Tenggara di peta persaingan global. Harapannya, akuisisi ini bisa merangsang lebih banyak lagi pendanaan dan exit perusahaan di masa di depan.

Sayangnya, tak banyak orang yang melihat hal ini lebih dalam. Akuisisi Lazada oleh Alibaba sebenarnya lebih dari sekadar menumbuhkan gross merchandise value (GMV) ritel mereka. Ini membuktikan bahwa Jack Ma selalu beberapa langkah di depan dalam permainan ini. Mereka yang merayakan berita ini, khususnya yang berada di sektor ritel, mungkin akan berakhir mengigit lidah mereka sendiri.

Peter Thiel, PayPal, dan pentingnya distribusi

Dalam bukunya Zero to One, Peter Thiel menceritakan bagaimana ia membesarkan bisnisnya, PayPal. Thiel mendirikan PayPal pada tahun 1998 dan membangunnya menjadi salah satu platform pembayaran terbesar di dunia. Pengguna aktif bulanannya mencapai 145 juta orang dan memproses hingga sembilan juta transaksi per hari. PayPal menjadi perusahaan publik pada tahun 2002, dan kemudian diakuisisi oleh eBay dengan harga US$1,4 miliar (sekitar Rp18,7 triliun).

Setelah tumbuh lebih besar dari eBay, PayPal kemudian memisahkan diri dari eBay pada tahun 2015 dan melakukan IPO keduanya, menjadikan perusahaan ini bernilai US$46.6 miliar (sekitar Rp624 triliun) dan membuatnya melampaui nilai pasar eBay yang hanya US$34 miliar (sekitar Rp455 triliun).

Jika bukan karena keberuntungan mereka bertemu dengan eBay, Thiel melanjutkan, PayPal bisa nyaris gagal. Akhirnya, eBay menjadi saluran distribusi terbesar dan mesin pertumbuhan mereka, yang kemudian mengakuisisi PayPal.

PayPal fokus untuk menargetkan Power Seller yang dimiliki eBay — yang bertanggung jawab akan banyaknya pesanan melalui eBay. Kemudian memperkuatnya dengan pendaftaran pengguna dan undangan ke teman. Hal inilah yang menjadikan PayPal sebagai sebuah platform pembayaran yang mainstream.

Tidak heran jika Thiel merupakan seorang yang selalu mengutamakan distribusi, di samping membangun produk yang hebat.

“Distribusi yang buruk —bukan produk yang buruk— adalah penyebab kegagalan nomor satu. Jika kamu bisa membuat satu saja saluran distribusi untuk bekerja dengan baik, kamu bisa memiliki bisnis yang hebat. Jika kamu mencoba beberapa saluran distribusi tanpa benar-benar menguasai salah satunya, kamu akan gagal,” tulis Thiel.

eBay mempercepat pertumbuhan PayPal berkat jangkauan dan kecepatan transaksinya — pemakaian yang tinggi menjadikan perusahaan pembayaran terus berkembang. Distribusi inilah yang dibutuhkan Alibaba dari Lazada. Namun untuk apa? Tentu saja bukan untuk produk murah asal Cina.

Di dalam perut sang raksasa

Dalam waktu yang kurang lebih bersamaan dengan akuisisi PayPal, eBay saat itu juga tengah berusaha mendapatkan pangsa pasar di Cina melalui investasi (yang berujung pada akuisisi) ke perusahaan EachNet di tahun 2002. Pada saat itu, Eachnet adalah marketplace C2C terbesar di Cina.

Merespons hal ini, Alibaba meluncurkan Taobao pada Mei 2003 yang kemudian mengalahkan EachNet menjadi marketplace terbesar di Cina. Dalam waktu tiga sampai empat tahun, pangsa pasar C2C eBay terjun dari 72 persen ke delapan persen ke delapan persen. Akhirnya, mereka kemudian mundur dari kompetisi ini. Sementara itu, saham Taobao terus menanjak hingga mencapai lebih dari delapan puluh persen pada tahun 2007.

Tak lama setelah peluncuran Taobao, Alibaba memperkenalkan Alipay pada tahun 2004. Alipay merupakan sebuah platform pembayaran online pihak ketiga yang memfasilitasi transaksi di Taobao. Saat ini, Alipay adalah platform pembayaran pihak ketiga terbesar di Cina dengan pangsa pasar sebesar tujuh puluh persen. Platform ini memiliki  lebih dari empat ratus juta pengguna dan memproses lebih dari delapan puluh juta transaksi per harinya (sebagai perbandingan PayPal hanya memproses sembilan juta transaksi).

Jika PayPal fokus kepada pembayaran online peer-to-peer (P2P) yang berbasis email dan terhubung dengan kartu kredit, Alipay justru terhubung dengan rekening bank yang digabungkan dengan fitur-fitur lain sesuai dengan pasar di Cina, seperti layanan rekening bersama (escrow).

paypal | foto
Preview

Sumber: Engadget

Menurut Jack Ma, meskipun budaya Cina menghargai nilai kepercayaan dan integritas, sayangnya tidak ada sistem yang menjaga nilai-nilai ini. Fitur escrow dari Alipay ini menjadi solusi yang tepat untuk menjembatani kurangnya kepercayaan dan menggeser perilaku konsumen e-commerce di Cina, dari kebiasaan cash-on-delivery (COD) ke pembayaran mobile yang kini mendominasi 68 persen dari transaksi saat ini.

Dengan jangkauan dan distribusi Taobao yang begitu masif — 423 juta pembeli aktif tahunan dan lebih dari sembilan puluh persen total GMV di Cina — Alipay mampu memperkuat posisinya sebagai metode pembayaran pihak ketiga terdepan.

Dengan memanfaatkan empat ratus juta penggunanya dan menjangkau platform e-commerce milik Alibaba, Alipay telah tumbuh lebih dari sekadar platform pembayaran berbasis internet. Kini ia menjadi sebuah raksasa finansial dan perbankan yang mengancam para pemain lama di sektor ini.

Pada tahun 2011, Alipay berpisah dari Alibaba untuk menjadi Ant Financial Services Group, yang melayani pembayaran online, peminjaman mikro, hingga skor kredit dan perbankan. Dari putaran pendanaan terakhirnya yang bernilai US$4,5 miliar (sekitar Rp60 triliun) di awal tahun 2016, perusahaan ini sekarang dihargai sebesar $60 miliar (sekitar Rp801 triliun), menjadikannya sebagai perusahaan teknologi nonpublik paling berharga setelah Uber.

Dengan “perlengkapan perang” ini, Ant Financial berharap adanya ekspansi ke pasar baru dan sambil mencoba menjejakkan kakinya ke Asia Tenggara. Perusahaan ini sebenarnya telah mendirikan entitasnya di Singapura pada tahun 2010, namun tidak memiliki saluran distribusi yang layak. Keberuntungan Ant Financial tampaknya muncul pada awal tahun 2016.

Mengincar kesempatan pembayaran di Asia Tenggara

dompet uang elektronik
Preview

Sumber: Alacriti

Dilihat dari berbagai hal, e-commerce di Asia Tenggara sama dengan e-commerce di Cina delapan tahun yang lalu. Pada tahun 2008, cash-on-delivery (COD) masih menjadi metode pembayaran yang dominan di Cina. Metode ini menguasai hingga lebih dari tujuh puluh persen total pembayaran. Saat ini, Asia Tenggara sangat bergantung dengan metode COD ketika berbelanja online.

Untuk menghilangkan ketergantungan konsumen yang tinggi terhadap COD, banyak startup yang memiliki dana besar atau yang dibuat oleh konglomerat telah berusaha untuk menyelesaikan masalah pembayaran ini, termasuk Omise (Thailand), Doku (Indonesia), LINE Pay (Thailand), dan True Money (Thailand).

Meski telah disokong dengan strategi PR dan liputan media, solusi asal dalam negeri ini belum bisa menarik perhatian konsumen dari COD. Ibaratnya, kita membuat mobil yang dapat melaju dengan lebih cepat, padahal yang dibutuhkan adalah jalan raya yang lebih banyak.

Tantangan di sisi produk

  • Platform seperti Omise dan 2C2P pada dasarnya hanyalah layanan pembayaran dan tidak menawarkan solusi yang lebih baik bagi sektor C2C dan P2P yang besar—menurut prediksi Google dan Temasek, jumlahnya bisa mencapai “beberapa miliar dolar”. Layanan pembayaran ini utamanya masih memproses kartu kredit. Dengan penetrasi kartu kredit di pasar Asia Tenggara yang masih kecil, hal ini tidak terlalu mengatasi masalah utama yang ada. Selain itu, solusi ini juga tidak menyelesaikan masalah kepercayaan yang sering menghalangi transaksi C2C dan P2P — terutama escrow.
  • 2C2P dan Omise juga berisiko ditinggalkan pengguna karena tidak adanya ikatan apapun dengan pengguna akhir. Artinya, jika ada alternatif yang lebih murah dan lebih baik, tidak ada yang bisa menghentikan para merchant untuk beralih ke produk tersebut. Taobao mengharuskan pengguna untuk mendaftar ke Alipay, sehingga lebih mudah meyakinkan pengguna non-Taobao untuk turut menggunakan Alipay.
  • Rabbit LINE Pay, sebelumnya LINE Pay, tidak pernah menangkap pangsa pasar yang signifikan meski berasosiasi dengan LINE. Platform perpesanan ini memiliki 33 juta pengguna di Thailand. Layanan ini juga terbatas karena hanya melayani kartu kredit. Lagi-lagi tidak memecahkan masalah fundamental yakni kurangnya penetrasi kartu kredit di wilayah ini.

Tantangan distribusi

?     Meskipun ada usaha yang baik untuk menyediakan opsi pembayaran bagi pengguna, startup fintech seperti Digio dan Deep Pocket hanya membangun dompet mobile sebelum memecahkan masalah utamanya.
?     Sangat sulit bagi dompet mobile untuk digunakan secara luas saat pengetahuan masyarakat tentang teknologi ini masih rendah, dan pengguna tak memiliki insentif yang kuat (biasanya dalam bentuk finansial) untuk mengadopsinya. Akuisisi pengguna kemudian menjadi hal yang mahal bila tak disokong oleh saluran distribusi yang mumpuni.

Tantangan (kurangnya) praktik penggunaan

true money thailand | screenshot
Preview

?     Salah satu dompet mobile terdepan di Thailand, True Money besutan Ascend, terhubung dengan bank-bank besar di Thailand, memiliki akses distribusi ke perusahaan-perusahaan di portfolio konglomerat, serta mempunyai lebih dari sembilan belas juta pelanggan mobile.

?     Namun demikian, True Money dilaporkan hanya memiliki seratus ribu pengguna aktif bulanan dari enam juta pengguna yang terdaftar sejak 2014. Praktik penggunaan True Money saat ini hanya terbatas pada isi ulang pulsa telepon seluler, top-up online game, serta pembayaran tagihan dan pembayaran di konter, terutama di jaringan toko 7-Eleven.

Penggunaan dompet mobile ini lebih jelas ditemukan pada situs e-commerce. Karena itu True Money juga digunakan sebagai metode pembayaran di perusahaan e-commerce milik Ascend seperti WeMall dan WeLoveShopping. Namun demikian, dengan total gabungan trafik mereka yang hanya mencapai  26 persen dari total traffic Lazada, Ascend tampaknya masih harus berjuang lebih gigih untuk mengikuti jejak Thiel.

Akuisisi Lazada: strategi kuda troya?

Langkah Alibaba ke Asia Tenggara bukan semata-semata demi menumbuhkan GMV mereka. Dalam jangka panjang, hal ini bukan semata-mata tentang mengalahkan rival Lazada atau berburu pasar baru di luar Cina. Semua ini demi mendapat akses ke basis pelanggan besar di pasar yang kekurangan infrastruktur e-commerce— mirip dengan kondisi Cina di masa lampau. Permainan akhir Jack Ma adalah untuk mengenalkan dan memonetisasi produk dan layanannya yang lain. Alipay jadi amunisinya yang pertama.

kuda troya alibaba | ilustrasi
Preview

Sumber: ecommerceiq

Mengadopsi Alipay akan berperan besar dalam pertumbuhan e-commerce di skala regional, dan Lazada pada khususnya. Penggunaan platform pembayaran ini bisa menjembatani krisis kepercayaan antara pembeli dan penjual. Ujung-ujungnya, hal ini akan meningkatkan transaksi secara keseluruhan, seperti yang terjadi di Cina—yang kini telah menjadi pasar e-commerce terbesar di dunia dalam hal penetrasi dan GMV.

Berita tentang pembelian dua puluh persen saham Ascend Money, induk perusahaan True Money, oleh Alibaba yang muncul hanya beberapa bulan setelah pembelian Lazada, menunjukkan master plan Jack Ma bagi Asia Tenggara mulai membuahkan hasil.

Semua ini lebih dari sekadar masalah Alipay dan memfasilitasi pembayaran di marketplace. Seperti yang telah disebutkan di atas, Ant Financial, induk perusahaan Alipay, mengoperasikan seluruh ekosistem finansial digital di Cina, yang terdiri dari dana bersama  terbesar di Cina bernama Yu’e Bao dengan aset sebesar US$108 miliar (sekitar Rp1,4 kuadriliun); Zhaocai Bao, sebuah platform peminjaman P2P dengan transaksi sebesar US$32 miliar (sekitar Rp425 triliun) di tahun pertamanya; Sesame Credit, sebuah sistem penilaian kredit (credit scoring) berdasarkan data e-commerce, dan sebagainya.

Dan sektor finansial hanyalah permulaan. Jack Ma, melalui surat bagi pemegang sahamnya di tahun 2015, mengisyaratkan banyak hal yang akan terjadi di masa mendatang:

“Strategi grup Alibaba adalah untuk membangun infrastruktur e-commerce masa depan. E-commerce hanyalah langkah pertama. […] Sekitar setengah dari tenaga kerja Alibaba Grup dan perusahaan afiliasinya, termasuk Ant Financial dan Cainiao, bekerja di area-area penting bagi ekosistem kita, seperti logistik, internet finance, big data, cloud computing, internet mobile, periklanan dan juga industri yang berkaitan dengan kesehatan dan hiburan (bisnis kesehatan dan hiburan digital  berbasis big data akan memerlukan waktu sepuluh tahun lagi untuk menjadi data-driven)

Karena itu, seharusnya para peritel seperti MatahariMall atau Central tak perlu khawatir akan kompetisi yang kian ketat; justru bank, penyedia jasa asuransi, rumah sakit, dan pihak lainnya harus menyiapkan mental mereka untuk menerima pecutan keras.

Sebagai gambaran apa yang mungkin terjadi di Asia Tenggara, kamu bisa melihat apa yang menimpa Uber baru-baru ini di Cina.

Belajar dari pengalaman Cina dan bagaimana strategi kuda troya Alibaba membunuh Uber di negara itu

“Uber tidak kalah di Cina pada tahun 2016. Sesungguhnya mereka telah kalah di 2014 saat baru memasuki pasar, dan baru menyadarinya dua tahun kemudian.” — Wang Di, Pengguna Quora

Alibaba, yang bekerja sama dengan kawan (sekaligus lawan) lama mereka Tencent, nyatanya mengadopsi strategi yang mirip di Cina untuk menyingkirkan Uber.

Melihat kegagalan Uber di Cina, banyak orang mengacu pada buku klasik berjudul Why Foreign Internet Company Fail in China. Mereka berpikir bahwa kurangnya lokalisasi (seperti kendala bahasa atau budaya), kurangnya koneksi, perlindungan pemerintah dan kurangnya penegakan hukum terkait IP menjadi alasan kegagalan ini. Semua hal ini memang mungkin terjadi di kasus-kasus tertentu. Tapi, sayangnya, tak ada satu pun dari alasan tersebut yang mampu menjelaskan mengapa Uber gagal di Cina.

Uber gagal karena mereka mengira bahwa persaingan mereka hanya dengan kompetitornya, Didi Chuxing, di industri transportasi. Mereka tak menyadari bahwa Alibaba dan Tencent berdiri sebagai pemegang saham mayoritas Didi. Alibaba dan Tencent nyatanya menggunakan aturan main yang sangat berbeda.

Bagi Alibaba (dan Tencent), Didi bukan hanya sekadar aplikasi penyedia jasa transportasi. Didi punya tujuan strategis dan tersembunyi, yakni menjadi saluran akusisi pengguna yang scalable bagi Alipay Wallet (versi mobile dari Alipay) serta WeChat Wallet milik Tencent, seperti dikutip dari Quora berikut ini:

“Sekitar tahun 2012, kesuksesan besar WeChat membantu banyak perusahaan IT di Cina untuk melirik pasar aplikasi mobile. Meski sempat mengalami sejumlah penangguhan, pemerintah setempat akhirnya mulai mendukung pengembangan pembayaran mobile. Semuanya telah siap untuk mendukung langkah Tencent dan Alibaba meluncurkan aplikasi pembayaran mobile. Ya, semuanya telah siap, kecuali kebiasaan pengguna di Cina.

Masyarakat di Cina ternyata belum terlalu familier dengan pembayaran mobile pada saat itu. Masyarakat di negeri tirai bambu sangat berhati-hati saat membayar dengan metode ini. Dan banyak dari mereka bukanlah penggemar gadget terbaru. Meski demikian, mereka semua menyukai diskon atau komisi.

Aplikasi pemanggilan taksi Didi dan Kuaidi menjadi menjadi layanan yang tepat untuk memperkenalkan pembayaran mobile kepada masyarakat setempat.

Pengguna di sana dapat menggunakan Didi untuk memanggil taksi dan membayar ¥30 (sekitar Rp58 ribu) secara tunai. Namun, jika pengguna membayar taksi dengan menggunakan Tencent Wallet (yang diarahkan dari Didi), pengguna cukup membayar ¥10 (sekitar Rp19 ribu). Apakah pengguna mau menghemat ¥20 (sekitar Rp39 ribu) hanya dengan beberapa kali tap di aplikasi? Ya, pasti mereka mau melakukannya!

Dan sekarang pengguna telah tersambung dengan WeChat Wallet, seperti yang diinginkan oleh Tencent.

Dengan adanya Didi sebagai saluran distribusi penting bagi Alipay Wallet, Alibaba berhasil mengakuisisi lebih banyak pengguna ke dalam ekosistem layanannya termasuk Taobao, Tmall, Ant Finance dan sebagainya. Ini memungkinkan mereka untuk memonetisasi berbagai produk yang berbeda—sementara Uber hanya mengelola sektor transportasi

Tencent dan Alibaba telah menyuntikkan sejumlah besar uang untuk menyubsidi layanannya. Untuk sebuah aplikasi pemanggil taksi, jumlah ini memang sangat besar. Namun, jumlah tersebut menjadi sangat wajar bika kamu ingin menandai wilayahmu di pasar terbesar dengan sistem pembayaran mobile terdepan di dunia.

Masa depan bagi Asia Tenggara

Dengan didaulatnya Asia Tenggara sebagai pasar e-commerce yang besar selanjutnya di dunia, kita akan melihat banyak pemain yang memberikan subsidi melalui diskon dan kupon demi pertumbuhan bisnis mereka. Tidak mengherankan bila hal ini menuai banyak kritik lantaran cara dinilai sebagai perlombaan semata.

Kritik ini tidak selamanya benar. Kasus Uber di Cina menunjukkan bahwa perusahaan bisa saja gagal bila tak melihat gambaran yang lebih besar, serta tidak mampu memonetisasi melalui beragam produk dan layanan yang berbeda. Kegagalan itu bisa saja terjadi hari ini atau di masa depan.

Dengan mempertimbangkan hal ini, seseorang bisa berargumen bahwa Alibaba mendapatkan penawaran yang baik dengan Lazada, terutama menyangkut kesempatan jangka panjang yang ada di Asia Tenggara. Saham Alibaba pun membuktikan hal ini. Harga saham Alibaba melonjak setelah berita akuisisinya diumumkan pada 12 April, dan meningkat 35 persen sejak saat itu (per 3 Oktober 2016).

Akuisisi Lazada secara umum dianggap sebagai kemenangan bagi pertumbuhan e-commerce di Asia Tenggara. Namun, berapa banyak di antara kita yang siap menghadapi fakta bahwa kemenangan yang kita dapatkan bisa jadi bukan dalam bentuk status unicorn—bisa jadi kemenangan itu dalam bentuk yang lain, bukan?

(Sheji Ho adalah Group Chief Marketing Officer di aCommerce Asia Tengara. Artikel ini pertama kali dipublikasikan di TechCrunch. Isi di dalamnya telah disesuaikan dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Septa Mellina)

The post Strategi Kuda Troya Alibaba untuk Asia Tenggara appeared first on Tech in Asia Indonesia.

populerRelated Article