Suzzanna, Sate 200 Tusuknya Mana?
"Saya mau pulang kampung. Mau nengok istri saya yang sedang sakit," bujuk Rojali, si tukang kebun.
"Bukannya, istri Bang Rojali sudah meninggal?" tanya Suzanna dingin dengan bibir hampir-hampir tidak terbuka."Ma... Maksud saya mau ziarah ke makam istri saya, Bu."
"Saya juga mau pulang kampung, Bu. Mau ziarah ke makam ibu saya," sambung Mia, asisten rumah tangga Suzzanna.
"Lho, bukannya ibu kamu masih hidup?"
"Eh...," Mia gelagapan,"...maksud saya mau nengok ibu saya yang sakit, Bu."
"Saya... saya juga mau pamit pulang, Bu," Tohir yang akan mengingatkan Anda kepada Bokir, menimbrung, "....saya mau menengok yang lagi ziarah."
Penonton tertawa bukan main. Tak habis-habis. Trio Opie Kumis yang memerankan Rojali, Asri Welas sebagai Mia, dan Ence Bagus pemain si Tohir memang betul-betul mengulek humor.
Ceritanya, trio pekerja domestik ini hendak kabur dari rumah Suzanna ketika sadar majikannya itu sudah berubah menjadi Sundel Bolong. Dialog mereka dengan Suzanna yang diperankan Luna Maya terasa beraroma rule of three yang biasa dipakai oleh para Komika. Ditambah khatam-nya akting ketiganya, tak ada ampun seisi bioskop berguncang oleh gemuruh tawa.
Iya, Anda tidak akan merasakan teror apa pun selama menonton "Suzzanna: Bernapas dalam Kubur" (SBdK). Tetapi, ini juga bukan jenis film horor slapstick yang lucunya bermodal orang jatuh terpeleset atau saling lempar kue tar.
Saya belum pernah menonton film horor di bioskop tapi memutuskan untuk menyaksikan SBdK karena ingin tahu saja. Siapa pun yang bertumbuh pada tahun 80-an hampir bisa dipastikan akrab dengan semua film horor Suzzanna yang asli. Horor yang tidak benar-benar menakutkan.
"Bang, Satenya 200 tusuk."
Begitu legendarisnya adegan Sundel Bolong menghabiskan 200 tusuk sate Madura tanpa jeda.
Ketika almarhum Olga Syahputra mengulang-ulang adegan itu di atas panggung, penonton tak berhenti tertawa. "Suketiii..." tiru Olga sambil menyampirkan selendang ke rambutnya.
"Bagi saya horor itu humor. Tidak perlu terlalu serius," kira-kira begitu kata Suzzanna saat diwawancara media pada peluncuran serial TV "Hantu Ambulans" sekitar sepuluh tahun lalu.
Film horor Suzzanna memang tidak pernah benar-benar berubah satu genre dengan Warkop DKI namun selalu mengundang tawa yang sama. Tawa penonton film-film Suzzanna tidak bermula dari dialog skenario yang kocak namun pada akting para pelakonnya. Itu jenius bagi saya. Membikin kangen. Seperti ketika film-film orisinalnya selalu tayang pada masa liburan di TV swasta pada tahun 90-an.
"Kalau Bu Suzzanna adalah Sundel Bolong, berarti kita tinggal serumah dengan setan dong, " kata Tohir yang gelisah dengan gosip seputar majikannya.
Penonton terpingkal-pingkal menyaksikan caranya bicara. Dia tidak melucu tapi tetap saja lucu. Kalimatnya tidak butuh dipikirkan macam materi stand up tapi justru itu yang bikin kangen.
Tidak terlalu mengejutkan sewaktu saya melihat sebagian besar penonton yang datang adalah rombongan ibu-ibu yang sengaja menonton bareng lengkap dengan seragam kaus, celana panjang, sampai kerudung mereka.
Saya kira, ini benar-benar momentum reuni. Sedari datang, sepanjang film, sampai ke luar bioskop yang mereka lakukan adalah jejeritan dan berfoto bersama.
Para prianya beberapa orang saja. Mereka yang menemani pasangan-pasangan masing-masing. Sedangkan ibu-ibu yang tidak ditemani suami atau pacar, tidak pula janjian dengan kawan-kawan satu komunitas, pilih mengajak anak mereka. Beberapa anak itu benar-benar masih usia TK. Beberapa masih memakai seragam sekolah mereka.
Saya geleng-geleng kepala. Film ini jenaka buat orang dewasa tapi horor sungguhan buat anak-anak. Banyak darah, Sundel Bolong berseliweran, dan tawa kombinasi antara Mak Lampir dan hantu gundul di serial Si Manis Jembatan Ancol hampir di sepanjang film.
Suzzanna memang kata sakti untuk film ini. Oleh karenanya sang produser menempelkan namanya alih-alih sekadar judul semata dan mempercayakan magnet film kepada Luna Maya.
Tapi saya percaya satu juta orang dalam empat hari menggeruduk bioskop memang untuk "melihat" Suzzanna. Oleh karenanya, keterlibatan make up artist dari Rusia yang menyulap Luna Maya semirip mungkin dengan Suzzanna menjadi bagian promosi yang amat penting.
Meski sejak awal saya tidak mengharapkan detail film yang bisa dibahas dalam SBdK, agak mengejutkan ketika saya tidak menemukan hal spektakuler dalam penggarapan adegan-adegan dramatisnya.
Sundel Bolong versi Suzzanna asli masih lebih "sakti" karena bisa terbang. Sedangkan versi Luna Maya hanya mengambang setinggi kursi. Itu pun kelihatan sekali menggantung di tali. Paling hebat hanya kaca jendela yang ujuk-ujuk pecah oleh teriakan Suzzanna yang tak kuat mendengar suaminya membaca Yasin. Pecahnya juga manual. Tidak luar biasa.
Dengan total pemain berdialog 11 orang, minus special effect spektakuler, dan adegan berdarah-darah yang hanya mengulang versi lama, tetapi tetap berlimpah penonton senusantara, terbayang keuntungan bisnis yang ditambang dari film perdana yang sudah hampir pasti bakal mewaralaba ini.
Dari 11 pemain itu, hanya Pak Dukun yang aktingnya seperti pembawaan aktor sinetron kejar tayang. Sedangkan 10 pemain lainnya, bagi saya, bagus. Bahkan, Clift Sangra yang hanya kebagian adegan menelepon.
Herjunot Ali sudah pasti mengangkat film ini ke level berbeda bahkan meski tak didukung skenario yang kuat dan logika cerita yang termakan akal. Saya sempat trenyuh melihat adegan Satria yang diperankan Herjunot memeluk Suzzanna yang membujur di liang kubur dan tetap cantik setelah berminggu-minggu tertimbun tanah dengan perut berlubang oleh tusukan bambu runcing.
Herjunot ahli betul memeras air mata dan membuat penonton percaya bahwa dia sangat kehilangan. Saya terbawa oleh cara yang sama ketika Herjunot kehilangan ibunya yang meninggal di atas bendi pada film "Di Bawah Lindungan Kakbah" dan ditinggal mati kekasihnya di rumah sakit dalam "Tenggelamnya Kalal Van Der Wijck".
Sejak awal bersahut-sahutan sapaan "Sayang" dengan Suzzanna, kimia di antara keduanya memang terbangun dengan baik. Mulai bangun tidur, shalat subuh berjamaah, sampai berpamitan berangkat kerja.
Hal yang tidak terasa kental saat Berry Prima menjadi lawan main Suzzanna dalam versi lawas "Sundel Bolong", George Rudy pada "Nyi Blorong", Clift Sangra dalam "Perkawinan Nyi Blorong", atau ketika Fendy Pradhana menjadi suami Suzzanna pada film "Malam Satu Suro". Fendy memang lebih cocok menjadi Brama Kumbara lengkap dengan kumis tebalnya.
Logika cerita betul-betul bukan kekuatan film ini dan saya rasa penonton pun tidak peduli. Bagamaina trio Rojali, Mia, dan Tohir begitu lama terjebak hujan sepulang menonton layar tancap hingga cukup waktu bagi Umar, yang diperankan sangat baik oleh T Rifnu, memimpin komplotannya melakukan banyak hal.
Mulai dari membereskan kekacauan bekas perampokan, menggali liang lahat yang ideal lebar dan panjangnya, dan membawa pergi barang curian yang tidak jelas apa wujudnya.
Jonal, anggota komplotan Umar yang paling bernafsu melenyapkan Suzzanna tak sengaja membunuh Gino, rekannya sendiri dengan tusukan membabi buta dan tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu sama sekali. Sebab, Suzzanna menjelma di hadapannya dan dia menusuki Sundel Bolong itu, bukannya Gino yang berakting bak penjahat-penjahat dalam waralaba "Home Alone".
Pada film-film Hollywood yang malu-malu kucing mengangkat hal supranatural pasti akan melibatkan karakter psikolog dan polisi yang tetap akan menjarakan si Jonal karena menganggapnya berhalusinasi. Tapi dalam SBdK hal itu tidak berlaku. Jika dilakukan pun malah jadi terlalu serius.
Lha wong, di adegan duel terakhir di tengah hutan, si Jonal yang berusaha kabur dari Suzzanna menemukan toilet umum berdinding kayu dan bersembunyi di dalamnya. Toilet macam apa itu?
Ya, tidak apa-apa.
Hal yang susah dipahami penonton generasi sekarang mungkin rasa film horor 80-an yang memang tak memberi PR kepada penontonnya. Nikmati saja tidak perlu sibuk menganalisisnya.
Jadi bagi saya, SBdK tidak akan memberi Anda apa-apa selain nostalgia. Bahkan pesan moral pun absen. Padahal Sundel Bolong versi lawas masih sempat mengelus kepala anaknya di kuburan sambil berpamitan. "Jadilah anak yang berguna bagi agama, bangsa, dan negara," katanya lalu terbang melayang dengan gaun putih berkibaran.
Sedangkan SBdK ini secara mengejutkan memaksa Satria yang menjadi satu-satunya harapan moral penonton menjadi pembunuh di akhir cerita lalu mati menyusul Suzzanna. Tadinya, saya sempat merasakan kemiripan "perjuangan" Suzzanna seperti halnya Pai Su Chen siluman Ular Putih yang menolak berpisah dengan Han Wen meski berbeda alam. Budha pun dia lawan.
Namun, imajinasi itu rusak oleh ending SBdK yang "membunuh" Satria demi adegan mistis ayunan bergerak sendiri sedangkan sebenarnya Satria dan Suzzanna sedang be-rendezvous sedangkan keduanya telah menjadi makhluk halus.
Ya, tapi demi nostalgia memang detail itu menjadi nomor dua. Karena melihat layar tancap, telepon meja, dunia tanpa gawai seperti menyeret penonton ke masa-masa emasnya. Bagi saya, itu tak terlalu jauh dari ekspektasi menonton film ini. Mengingat genre horor sama sekali bukan kegemaran saya.
Apalagi, tak ada adegan sate 200 tusuk dalam film ini. Saya menduga Suzzanna menyimpannya untuk film selanjutnya. Film yang kemungkinan besar tidak akan saya tonton.