Tema Met Gala 2019 Serius atau Senang-Senang? Yang Jelas: Viral
Kurator Metropolitan Museum of Art (The Met) Andrew Bolton membikin beberapa selebritas Hollywood kesal dan bingung setelah mendengar tema Met Gala tahun ini: Camp.
Penyanyi Celine Dion menganggap Camp berhubungan dengan aktivitas kemping. Sejumlah selebritas lain, yang ingin tampil anggun dan cantik, merasa tak habis pikir mengapa Anna Wintour menyetujui tema yang bikin mereka tidak bisa tampil elegan, bahkan cenderung acak-acakan.
Maklum, Met Gala adalah panggung bagi para pecinta popularitas. Acara malam penggalangan dana untuk Met Costume Institute itu telah diselenggarakan sejak 1948 sebagai pembuka pameran dengan tema serupa. Pada 1990an, Anna Wintour sebagai pemimpin redaksi Vogue memimpin Met Gala. Ia bekerjasama dengan kurator The Met untuk merancang tema ekshibisi sekaligus konsep malam penggalangan dana.
Sejak dipimpin Wintour, Met Gala semakin dipandang sebagai acara fesyen. Di sinilah para pengarah gaya, desainer, dan pemilik label retail kelas atas berlomba mendandani para seleb atau model semenarik mungkin.
Acara ini pun kian punya kesan sebagai acara bergengsi. Orang-orang yang bisa masuk ke Met Gala ialah mereka yang mampu membayar $250.000-500.000. Biasanya, para pemborong tiket Met Gala ialah pihak lini retail ternama seperti LVMH yang memiliki Louis Vuitton, Dior, Givenchy, Fendi, serta Kering yang memiliki Gucci, Balenciaga, Alexander McQueen, dan Saint Laurent. Brand-brand ini mensponsori para selebritas yang hadir dalam acara tersebut.
Tahun ini, Gucci menjadi salah satu sponsor utama. Tim Kering menugaskan direktur kreatif Alessandro Michele sebagai host acara dan merancang busana khusus untuk seleb kesayangan Gucci seperti Jared Leto dan Harry Styles.
Para tamu yang datang ke Met Gala adalah tamu spesial yang menyaksikan ekshibisi di Met Costume Institute sebelum pameran dibuka untuk umum beberapa hari setelah malam penggalangan dana.
Pada 2018, The Met mendatangkan pengunjung terbanyak, sekitar 1,6 juta, dalam ekshibisi bertajuk "Heavenly Bodies: Fashion and The Catholic Imagination". Pameran yang menampilkan busana dan aksesori koleksi Vatikan serta sejumlah karya desainer adibusana tersebut diawali malam penggalangan dana yang dihadiri seleb berkostum serupa biarawan, biarawati, hingga orang kudus dalam iman Katolik.
Itu tahun lalu. Pada 6 Mei 2019 ini, Bolton mengisi ruang pamer dengan susunan boks warna-warni. Di dalamnya terletak manekin yang menampilkan busana dan karya desainer yang terkesan mencolok lantaran warna dan bentuknya.
Ada gaun gigantik bertuliskan "Less is More" karya desainer Viktor & Rolf. Ada pula gaun ungu terang yang terbuat dari bulu unta dengan hiasan kupu-kupu tiga dimensi karya Jeremy Scott. Bolton juga menampilkan karya desainer muda Manish Arora yang berbentuk replika wahana komedi putar. Busana berbentuk angsa yang sempat dikenakan penyanyi Bjork pun turut ditampilkan.
“Apakah ini berlebihan? Apakah terlalu banyak manik-manik/tumpukan/pita? Pertanyaan itu mengarah pada arti camp," kata Bolton, kepada Rosemary Fietelberg, jurnalis WWD.
Bagi Bolton, fesyen adalah camp karena membawa elemen artifisial dan punya aspek performatif. Pengetahuan Bolton tentang camp ia peroleh dari filsuf Susan Sontag yang berjudul Notes on 'Camp' (1964).
"Aku suka ketika ia menyatakan orang-orang yang mengelukan seni abad ke-19 adalah orang-orang yang memandang camp sebagai momok” tutur Bolton, masih kepada Fietelberg.
Apa yang dikatakan Sontag? “Esensi camp terletak pada hal yang tidak natural dan berlebihan,” tulisnya dalam esai bertajuk Notes on 'Camp', seperti dikutip Time.
Esai itu dibuat pada dekade 1960-an, ketika ia merasa dikelilingi berbagai hal terkait camp. Ada perempuan bergaya androgini, ada kaum transgender yang menyuarakan ide, juga produk-produk dekorasi interior yang dianggap tak lazim seperti lampu Tiffany, hingga gambar yang tertera pada kartu pos.
Di mata Bolton, gaya camp selalu ada di setiap era dan masing-masing orang bisa punya definisi tersendiri terhadap camp.
Kolumnis New Yorker, Rachel Syme, menyatakan penampilan Jared Leto dalam malam penggalangan dana bisa dikatakan sebagai camp. Hari itu Leto mengenakan terusan lengan panjang merah dengan aksen rantai berhias permata pada bagian dada. Tangannya menenteng patung liling berbentuk wajahnya sendiri.
“Aku melihat itu berlebihan. Leto terlihat berusaha mati-matian untuk terlihat mencolok dan hal itu sangatlah camp. Leto dan tim Gucci pasti sudah merencanakan dari jauh-jauh hari soal kostum plus patung lilin itu dan hal tersebut sudah membuktikan bahwa desainer berusaha keras untuk menyajikan gebrakan,” tulis Syme.
Sementara itu, dosen jurusan media penyiaran di University of the Sunshine Coast, Matthew Sini, beranggapan para selebritas yang hadir pada Met Gala tidak merepresentasikan camp.
“Contoh menariknya Celine Dion yang mengenakan busana karya Oscar de la Renta. Penampilannya terinspirasi dari sosok yang dianggap sebagai ikon camp, Judy Garland. Tetapi hal itu tak lantas membuat Dion terlihat camp. Dion sendiri adalah ikon camp kontemporer. Ia selalu membangun citra sebagai selebritas yang melantunkan lagu-lagu melankolis, sementara ia sendiri sebetulnya adalah pribadi yang periang,” tutur Sini.
“Para seleb itu seperti mengorbankan diri untuk kesenangan kita dan untuk umpan-klik yang membuat para sponsor menilai siapa yang paling populer malam itu. Met Gala nampak seperti acara yang kompetitif. Di sini, camp nampak seperti ekspresi ketenaran dan iklan. Ia kehilangan esensinya,” kata kritikus fesyen Vanessa Friedman.
Apa pun kritik yang disampaikan untuk acara ini, bagi Wintour, Met Gala adalah tempat untuk bersenang-senang. Ia merasa camp tak perlu dilihat sebagai tema serius. Lagipula, terlepas dari segala perdebatan itu, Met Gala sukses menjadi topik viral di internet selama berhari-hari.
Baca juga artikel terkait MET GALA atau tulisan menarik lainnya Joan Aurelia