TNI Urus Ruang Siber Indonesia: 4 Hal Ini Bakal Jadi Polemik

Uzone.id — Revisi RUU TNI sudah diloloskan oleh DPR RI pada hari Kamis, (20/03) lalu. Di tengah pro dan kontra yang diutarakan masyarakat (termasuk perluasan tugas dan kewenangan TNI), ada beberapa poin yang nantinya akan berdampak pada ruang siber masyarakat Indonesia.
Hal tersebut tertulis dalam Pasal 7 (2) huruf b nomor 15 dan 16 terkait tugas baru TNI. Yup, dalam RUU ini, terdapat dua tugas tambahan yang nantinya bisa dilakukan oleh anggota TNI.Tugas baru operasi militer selain perang tersebut berbunyi “membantu dalam upaya menanggulangi Ancaman pertahanan siber; dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan Warga Negara serta kepentingan nasional di luar negeri.”
Melansir dari SAFEnet, Jumat, (21/03), anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), TB Hasanuddin, mengonfirmasi bahwa salah satu poin yang telah disepakati adalah perluasan operasi militer selain perang (OMSP) dengan mencakup pertahanan siber.
Terkait dukungan TNI dalam membantu pemerintah dalam menghadapi ancaman siber ini pun dijelaskan oleh pemerintah.
“Perang Siber tidak hanya menyerang infrastruktur secara fisik, namun juga dimensi virtual dan kognitif. Musuh/Lawan melakukan manipulasi sosial, polusi informasi, memperkuat narasi dengan ekspresi berlebihan untuk menyerang kerawanan kognitif," jelasnya dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) versi pemerintah terakhir.
Ia menambahkan, "Konflik yang mengeksploitasi keunggulan informasi ini menjadi suatu senjata yang sangat berbahaya dengan cara mempengaruhi keyakinan, sikap, dan perilaku masyarakat yang mengakibatkan konflik sosial, politik, dan ekonomi yang pada akhirnya mengancam keamanan negara."
SAFEnet selaku organisasi perjuangan hak-hak digital di Indonesia pun menentang adanya poin penugasan tersebut. Ada beberapa poin yang diprotes oleh SAFEnet terkait hal ini.
Pertama, keterlibatan TNI dalam ruang siber ini sangat kental dengan nuansa militerisasi ruang siber (militarization of cyberspace).
Hal tersebut diklaim sangat berbahaya bagi penghormatan terhadap hak-hak digital masyarakat Indonesia nantinya. ‘Tugas’ tersebut nantinya akan memberi lampu hijau untuk menangani ancaman siber melalui langkah-langkah berorientasi militer. Which is sangat rentan disalahgunakan.
Kedua, SAFEnet juga menilai bahwa narasi ancaman ‘perang siber’ nantinya bisa dijadikan sebagai ‘kambing hitam’ dan menjadi justifikasi untuk membungkam wacana kritis di media sosial sehingga bisa meningkatkan kendali negara pada informasi yang beredar.
“Dengan cara pengawasan massal yang merupakan pelanggaran hak atas privasi, penyensoran konten/situs web yang merupakan pelanggaran hak atas informasi, dan pengetatan regulasi terkait ekspresi daring yang merupakan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi,” tambahnya.
Ketiga, urgensi dalam pengesahan Revisi RUU ini yang dinilai terlalu cepat. Menurut SAFEnet, ada yang lebih penting dan mendesak.
“Hemat kami, pengaturan tentang tanggung jawab korporasi digital yang kerap memfasilitasi manipulasi opini publik, serta percepatan pembahasan peraturan turunan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) agar segera berlaku efektif, justru jauh lebih penting dan mendesak untuk dibahas pemerintah bersama DPR RI,” kata mereka.
Keempat, peraturan ini diklaim akan lebih memberikan dampak nyata dan manfaat bagi masyarakat alih-alih memperluas kewenangan militer ke ranah digital masyarakat Indonesia.
Perluasan tugas dan jabatan sipil untuk para anggota militer ini juga memberi polemik lain, menurut SAFEnet. Salah satunya adalah posisi strategis di lembaga siber seperti BSSN dan Kemenkomdigi yang nantinya berimbas pada kebijakan militer yang diterapkan di lembaga ini.
“Hal ini dapat berimplikasi pada lahirnya kebijakan-kebijakan militeristik terkait ruang siber, yang acap kali berlawanan dengan nilai-nilai HAM,” tambahnya.
