Vonis Kasus Mafia Bola Banjarnegara Akankah Jadi Efek Jera?
-
Hari penting bagi sejarah penanganan kasus pengaturan skor dan suap sepakbola di Indonesia terjadi Kamis (11/7/2019) kemarin. Enam orang terdakwa yang terlibat dalam kasus pengaturan skor klub Liga 3, Persibara Banjarnegara akhirnya mendapatkan vonis dari Pengadilan Negeri Banjarnegara, Jawa Tengah.
Priyanto, alias mbah Pri menjadi terdakwa dengan vonis paling tinggi. Anggota Komite Wasit Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI Jawa Tengah itu divonis tiga tahun penjara ditambah denda Rp5 juta subsider sebulan penjara karena melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP dan Pasal 2 UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Pasal yang sama juga menjerat anak angkat mbah Pri, Anik Yuni Artika alias Tika. Namun, mantan asisten pribadi manajer Persibara, Lasmi Indaryani itu divonis dengan hukuman lebih rendah, yakni dua tahun enam bulan penjara dan denda Rp5 juta subsider sebulan kurungan.
“Hukumannya berbeda untuk setiap terdakwa, sesuai dari setiap perannya, begitu juga dengan berapa jumlah uang yang diterima,” jelas Juru Bicara Pengadilan Negeri Banjarnegara, Fitria Septriana.
Dalam persidangan yang sama Dwi Irianto alias mbah Putih, anggota Komite Disiplin (Komdis) PSSI divonis satu tahun empat bulan penjara. Hukuman sedikit lebih tinggi divoniskan Hakim Ketua Rudito Utomo kepada Johar Lin Eng, anggota Komite Eksekutif PSSI dan Ketua Asprov PSSI Jawa Tengah, yakni satu tahun sembilan bulan penjara. Baik Mbah Putih maupun Johar melanggar Pasal 378 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP serta Pasal 3 UU RI Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Sisa dua terdakwa lain, wasit Nurul Safarid dan mantan Direktur Penugasan Wasit PSSI Mansyur Lestaluhu alias Bang Mansyur masing-masing divonis penjara satu tahun. Keduanya sama-sama melanggar pasal yang didakwakan kepada Johar dan Mbah Putih.
Jaksa Penuntut Umum dalam seluruh perkara di atas mengatakan masih akan pikir-pikir terhadap vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim, sehingga persidangan akan berlanjut pekan depan. Namun, respons menarik justru disampaikan oleh mbah Pri.
Merasa Tidak Diperlakukan Adil
Kepada pewarta, Mbah Pri yang telah mengakui perbuatannya merasa diperlakukan tidak adil. Sebab menurut keterangannya, yang mengorganisir dan mengagendakan suap Persibara justru orang yang memperkarakannya, Lasmi Indaryani dan ‘orang-orang PSSI’.
“Yang perlu digarisbawahi adalah penyuapan. Uang, dana, dan sumber semuanya dari Lasmi,” imbuhnya seperti diberitakan Antara.
“Mengenai pasal penipuan, keuntungan buat saya apa? Menipu untuk menyuap Persibara Banjarnegara, sama sekali enggak ada keuntungan buat saya. Namun biar saja, saya tetap ikhlas, biar dia [Lasmi] yang mempertanggungjawabkan perbuatannya."
Sejak akhir Maret 2019 lalu Lasmi Indaryani, sosok yang berkali-kali diserang mbah Pri telah mengajukan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK lantas mengabulkan permohonan itu, sebagai jaminan agar Lasmi berani bersaksi ‘blak-blakan’ di persidangan.
“Sudah dua pekan lalu pemberian perlindungan, sebab yang bersangkutan akan bersaksi di persidangan,” tutur Ketua LPSK, Hasto Atmojo pada 12 April 2019.
Bisakah Bikin Jera?
Sejak era 1950an hingga awal 2000an, kebanyakan sosok yang diduga terlibat suap atau pengaturan skor sebatas mendapat sanksi larangan aktif dalam sepakbola. Terkait hukuman pidana, belum banyak contoh-contoh keberhasilan. Yang paling terlihat sebelum abad 21 barangkali kasus suap yang melibatkan klub Caprina Bali dan Cahaya Kita pada 1984. Kasus itu bikin Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp1,5 juta kepada Bendahara Caprina, Jimmy Sukisman alias Sun Kie penjara tujuh bulan dan denda Rp1 juta kepada Tengh Tjek Sing alias Tony dari Cahaya Kita.
Atas pertimbangan tersebut, patut untuk mengapresiasi vonis yang diberikan PN Banjarnegara kepada enam terdakwa kasus suap Persibara.
Walau demikian, oleh sebagian kalangan vonis tersebut dinilai terlalu rendah. Johar Lin Eng misal, yang akhirnya divonis 1 tahun 6 bulan, meski saat awal ditersangkakan berpotensi terancam pidana minimal lima tahun penjara.
Sebelum divonis, pria bernama asli Tjan Lin Eng itu juga dituntut Jaksa dengan hukuman lebih tinggi, yakni tiga tahun. Vonis yang lebih rendah dari tuntutan Jaksa juga didapat Mbah Putih, Bang Mansur, Nurul Safarid, dan Tika. Cuma Mbah Pri yang akhirnya divonis sesuai tuntutan JPU.
Pengamat sepakbola sekaligus jurnalis olahraga senior, Budiarto Shambazy menilai anggapan bahwa vonis itu terlalu rendah adalah hal wajar.
"Ya harapan saya memang hukuman harusnya lebih, semua orang menginginkan lebih berat ya. Karena harapan untuk mengatasi mafia sepakbola, tekadnya itu semakin dihargai pemerintah. Oleh dunia juga bahkan. Untuk kompetisi yang bersih, timnas yang andal, sepakbola kita menjadi lebih maju gitu ya. Memang harusnya faktor itu diperhatikan oleh pengadilan, oleh majelis hakim," ungkapnya kepada Tirto, Jumat (12/7/2019).
Harapan Budiarto beralasan. Kasus mafia bola di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Sepakbola, menurutnya, saat ini punya keterkaitan yang erat dengan kepentingan publik.
"Ini bukan sekadar perkara hukum pidana, terus terpisah begitu saja dari masyarakat. Kondisi real masyarakat yang sekarang ini sedang gandrung menunggu prestasi sepakbola kita," sambungnya.
Anggapan tidak beda jauh juga disuarakan peneliti hukum olahraga sekaligus pengamat sepakbola, Eko Noer Kristiyanto. Kendati demikian, menurut Eko tetap ada sisi positif dari vonis tersebut karena bisa menyadarkan publik kalau perkara match-fixing bisa dibawa sampai meja hijau.
"Ringan berat itu kembali lagi persepsi. Tapi ada yang lebih penting. Bahwa ini menjadi preseden kalau match-fixing bisa dijangkau oleh hukum nasional, sampai ke meja hakim," jelasnya.
Sementara soal efek jera, baik Eko maupun Budiarto enggan menerka-nerka. "Kayak korupsi. Hukuman sudah berat tapi tetap saja koruptor ada," pungkas Eko.
Baca juga artikel terkait KASUS MAFIA SEPAK BOLA atau tulisan menarik lainnya Herdanang Ahmad Fauzan