Wae Rebo, Kau Terlalu, Saya Pamit Dulu!
Jatuh hati pada Wae Rebo, kala hidup bagai ditunda sejenak, sekaligus hidup dihidupi sepenuh-penuhnya.
Perjalanan ini dimulai dari sebuah perbincangan. Di mana saya mulai suntuk dengan riuhnya ibukota. Banyak pertanyaan yang singgah, "Kenapa tidak ke Flores?" yang saya tahu Flores terkenal dengan sailing trip di Pulau Komodo dan juga Danau Kelimutu. Namun, lebih dari itu saya mulai mencari tahu tentang Flores dan apakah ada sesuatu yang lebih dari kedua hal tersebut. Jatuhlah hati saya pada sebuah desa adat Wae Rebo di Manggarai. Manggarai, sebuah kota yang hidup, namun tak sesak di pusatnya.Perjalanan kali itu dimulai dari Labuan Bajo, saya pergi bersama kedua orang tua saya dan kedua saudara perempuan saya. Oleh karena itu kami menyewa mobil beserta sopir untuk membawa kami sampai pada Desa Dintor, desa sebelum mendaki menuju Wae Rebo.
Memang terkesan mahal untuk menyewa mobil selama dua hari untuk menuju Dintor, namun apa boleh buat, saya membawa kedua orang tua saya dan kedua saudara perempuan saya. Sehingga, tak heran perjalanan saya menuju Dintor terkesan mulus, tidak seperti solo traveller atau backpacker-ian yang harus menaiki motor atau menaiki kendaraan umum dengan waktu yang tidak pasti dan sepanjang jalan akan bermain tebak-tebakkan arah.
Kalau ingin menaiki kendaran umum, setidaknya ada kendaraan umum dari Ruteng sampai Dintor. Kalau ingin menyewa motor, seharinya dikenakan biaya sewa Rp150.000,-. Sedangkan biaya saya dan keluarga untuk menyewa mobil innova untuk dua hari sekitar Rp2000.000,00 pulang-pergi sudah beserta biaya sopir. Â
Saya berdendang sepanjang jalan, gembira meluap karena hari itu cuaca cerah. Sebuah penanda baik bahwa perjalanan saya menuju Dintor akan sangat menyenangkan. Perjalanan kami tempuh selama 7 jam dari Labuan Bajo - Desa Dintor, dari pukul 14.00 sampai 21,00. Sopir kami, kami sapa dengan "Om Jhonny", nampaknya sebutan "om" seperti sebutan "mas/bang" untuk orang Jakarta.
Beliau orang asli Labuan Bajo. Om Jhonny merekomendasikan kami untuk berhenti di Ruteng, di sana terdapat sebuah sawah jaring laba-laba (spider web rice field). Siapa sangka, ternyata Ruteng pun memiliki tempat wisata yang luar biasa!
Ketika sedang perjalanan menuju titik tertinggi untuk melihat spider rice field, kita akan disuguhkan oleh kebun edelweiss.  Untuk mencapai titik tersebut, kita hanya membutuhkan perjalanan -+ 10 menit. Sangat mudah untuk mencapai titik tersebut.
Sayangnya, saat itu baru saja panen sehingga warna sawah sudah tidak hijau lagi. Lanjut perjalanan, hari mulai gelap saat itu. Kami melintasi jalan berkelok-kelok naik dan turun dengan kondisi banyak jalanan yang berlubang. "Untung Om Jhonny menguasai medan ya..." tak jarang kalimat tersebut terucap dari Ayah saya sepanjang perjalanan. Ibu saya pun sesuai dengan pengakuannya tidak bisa tidur karena tegang melihat jalanan yang sangat ekstrim.
Kalau sudah sampai di Ruteng, sebenarnya sudah tidak terlalu sulit untuk mencari arah ke Dintor. Sudah terdapat beberapa petunjuk jalan "ke Wae Rebo", meskipun kita pun harus jeli melihatnya. Namun, apabila sudah memasuki perkampungan, akan sangat sulit menemukan arah, sangat jarang berpapasan dengan kendaraan lain, rumah-rumah yang dilalui juga sunyi. Agak sulit kalau mau minta bantuan di tengah jalan. Sangat menyenangkan roadtrip menuju Wae Rebo.
Belum apa-apa kita sudah disuguhkan pemandangan yang luar biasa, sawah ada, sungai ada, gunung ada, dan yang mengejutkan, pantai pun juga ada! Tapi sayang, saya tak sempat mengambil gambar karena hari sudah malam. Kami melihat sebuah pulau yang tampak jelas di perjalanan, namanya Pulau Mules.
 "Akhirnya sampai juga!" kalimat pertama yang keluar dari mulut kami ketika sampai di Desa Dintor. Perjalanan yang panjang namun sangat menyenangkan. Kami sampai di sana sekitar pukul 21.00.
Kami bermalam di Waerebo Lodge yang dikelola oleh Pak Martin, beliau adalah putra asli kelahiran Wae Rebo yang mengenyam pendidikan pariwisata dan berbakti kembali untuk mengelola pariwisata Wae Rebo. Â Salah satunya adalah dengan membangun tempat penginapan ini, biaya untuk bermalam di sini kita perlu mengeluarkan Rp150.000,- per orang sudah termasuk 1x makan pagi.
WaeRebo Lodge sangat saya rekomendasikan untuk para pendatang yang hendak menginap dahulu sebelum melakukan trekking ke Wae Rebo. Â
Sesampai di sana, saya dan keluarga disambut hangat oleh Pak Altus dan Pak Martin, lalu mereka juga langsung membawakan sebakul nasi dan smeangkuk mie instan rebus. "Maaf hanya ada makanan seperti ini di sini" ujar Pak Martin sambil membawa makanan tersebut. Makanan kami pun habis dengan cepat, ternyata perut kami sudah meronta-ronta minta diisi. Â
Setelah selesai makan, Pak Martin menerangkan mengenai hal yang patut diperhatikan untuk mendaki Wae Rebo. Salah satunya beliau juga menerangkan megenai biaya. Saya diberitahu untuk menginap di Wae Rebo, dikenakan biaya Rp400.000,- per orang. Sedangkan untuk pemandu, kita harus membayar Rp150.000,- per hari.
"Memang harus dengan pemandu ya, Pak? Salah satu dari kami sudah biasa naik gunung kok" kata Ibu saya Lalu Pak Martin dan Pak Altus menjelaskan mengapa kami harus bersama pemandu apabila hendak naik ke atas, selain agar tidak tersesat, sebelum memasuki Wae Rebo ada beberapa peraturan adat yang harus dilakukan.
Contohnya ada prosesi atau upacara adat khusus para pendatang yang akan berlangsung dalam bahasa Manggarai yang sudah pasti kami akan kebingungan. Sebelumnya kami memang sudah mengetahui mengenai biaya tersebut, sehingga kami tidak kaget dan langsung menyetujui biayanya dengan Pak Martin. Ya, memang terasa agak mahal, namun sudah sejauh ini tidak mungkin pulang lagi, kan? Toh uangnya juga untuk penduduk setempat.
"Sudah pukul 11 malam, mari bergegas bersih-bersih lalu istirahat, karena besok kita akan berangkat pukul 5 pagi, istirahat yang banyak karena mendaki ke Wae Rebo tidak mudah dan memakan waktu 3-4 jam, lagipula listrik sebentar lagi akan dimatikan" ujar Pak Martin. Ternyata, di Desa Dintor pun listrik akan dinyalakan dari jam 18.00 sampai jam 22.00.
Kami menangguk ketika Pak Martin memberi tahu informasi tersebut, terlintas dipikiran saya, "kira-kira, kuat tidak ya sampai di atas sana.." Tepat pukul 5 pagi pun kami bergegas untuk berangkat. Sebelum berangkat, kami dibekalkan nasi bungkus oleh Pak Martin. Pak Altus juga sudah menunggu di ambang pintu, siap untuk memandu. Mari kita berangkat!
Sialnya... jembatan yang seharusnya bisa kita lalui dengan kendaraan beberapa hari lalu roboh karena hujan yang sangat deras. Sehingga kita harus berjalan kaki ekstra sekitar 1 setengah jam menuju pos 1 pendakian Wae Rebo.
 Akhirnya sampai lah kami di pos 1. Yang sebetulnya belum apa-apa sama sekali. Jalannya bebatuan dan bertanah, sehingga sangat licin untuk dilalui. Belum lagi, jalanannya yang terus menanjak. Pak Altus bersama Ibu saya berada di belakang rombongan. Kiri-kanan pohon, dan tak jarang saya menemukan jurang. Harus ekstra hati-hati! Di sisi jalan setapak tersebut juga sering dijumpai beberapa angka jarak yang masih harus ditempuh menuju Wae Rebo.
Ada cerita lucu dibalik pos 2 ini, namanya juga mendaki gunung, kadang terpisah dengan rombongan karena ada yang ingin beristirahat dahulu, namun ada juga yang ingin cepat-cepat sampai. Saya adalah salah satu yang ingin cepat sampai, sehingga saya dan adik saya berada di depan rombongan, terpisah jauh dari rombongan lainnya termasuk Pak Altus. Ketika itu, di awal perjalanan kami membuat perjanjian untuk makan nasi bungkus yang dibekalkan oleh Pak Martin di Pos 2.
"Kalau nanti terpisah di jalanan, tidak apa-apa asal ikuti terus jalan setapaknya, gak ada jalan lain kok, tapi kita semua berhenti di pos 2 ya, kita sarapan nasi bungkus" ujar Pak Altus. Sehingga, pada waktu itu kami sangat semangat untuk menuju pos 2, ya... karena motivasi kami, kami lapar, kami ingin makan.
Awalnya saya dan adik saya tidak tahu kalau tempat tersebut adalah pos 2, tidak ada penanda apa-apa kalau tempat itu adalah pos 2! Kami terus berjalan sampai sangat jauh dan bertanya-tanya di mana pos 2, kapan kami akan makan. Setelah kami sadari, tulisan angka di pinggir jalan setapak tersebut sudah mendekati Wae Rebo, itu artinya, kami kelewatan pos 2. Dan, itu berarti, kami melewatkan sarapan kami.
Akhirnya, kami menemui sebuah jembatan dan akhirnya menemukan orang-orang kampung Wae Rebo yang lalu-lalang membawa berbagai peralatan berkebun. "Akhirnya ketemu orang!!!".... itulah kalimat pertama saya kepada Adik saya ketika bertemu dengan penduduk setempat. Ada arti yang lebih baik dari itu, itu berarti, kami sudah mendekati Wae Rebo! Rasa gembira dan semangat sekaligus tidak percaya kalau saya sudah mau sampai di Wae Rebo, saya mulai membayangkan negeri di atas awan tersebut.
Mulai banyak penduduk setempat yang sedang bekerja di kebun, banyak anak kecil bermain sana-sini, banyak anjing di sekitaran, dan bahkan bertemu turis yang mengarah pulang kembali ke Desa Dintor. Kami saling bertegur sapa, "Dari mana Mba? Hati-hati ya, selamat bersenang-senang di Wae Rebo!" Sapaan tersebut menambah semangat saya dan rasanya saya ingin berlari untuk segera sampai ke desa tersebut.
Akhirnya sampai juga pada Pos 3. Pos terakhir dalam perjalanan menuju Wae Rebo. Di sana terdapat sebuah saung yang terdapat alat pemukul yang bersuara, "Pukul saja itu pentungnya! Biar orang Wae Rebo tau kalau ada pendatang yang hendak memasuki desa Wae Rebo!" Ternyata alat penghasil suara tersebut merupakan penanda kepada masyarakat Wae Rebo bahwa ada orang luar yang hendak memasuki desa tersebut.
Setelah melewati pos 3 dan juga melewati sebuah perkampungan, akhirnya kami sampai di Wae Rebo. Ketika pertama kali sampai, kami tidak diperbolehkan melakukan aktivitas apa pun termasuk mengambil foto, sebelum mengikuti upacara adat yang dibawakan oleh Kepala Suku setempat. Sembari menunggu rombongan saya yang lainnya tiba, saya dan adik saya bertegur sapa dengan anak-anak kecil dan penduduk setempat.
Mereka sangat ramah. Kami tiba sekitar pukul 09.00, sehingga total perjalanan kami sekitar kurang lebih 4jam. Setelah keluarga saya dan Pak Altus tiba di Wae Rebo, kami langsung mengikuti upacara adat yang dipimpin oleh Pak Alex, selaku ketua adat Wae Rebo saat itu. Setelah melakukan prosesi tersebut, barulah kami diperbolehkan untuk melakukan segala aktivitas termasuk mengambil gambar.
Di Wae Rebo hanya boleh terdapat 7 Mbaru Niang (rumah adat). Salah satu dari Mbaru Niang tersebut dipakai untuk tempat menginap sekaligus tempat beristirahat para turis. Â Pak Marcell, selaku putra asli Wae Rebo yang juga masih bersaudara dengan pak Martin mengelola Wae Rebo langsung pada tempatnya. Ternyata memang ada pembagian kerja di antara keluarga tersebut. Pak Martin membuka hidangan dengan kopi asli Wae Rebo, selanjutnya Mama-Mama setempat membawakan kami sebakul nasi putih dengan sambal dan teri asin.
Mulai banyaklah pertanyaan mengenai Wae Rebo yang selama ini saya simpan dan akhirnya bisa saya tanyakan langsung kepada Pak Marcell. Saat itu sungguh, rasanya saya masih tak percaya saya sedang duduk di Mbaru Niang, menikmati kopi dan berbincang langsung dengan putra daerah. Pak Martin mulai menjelaskan bagaimana asal-usul Wae Rebo, bagaimana penduduk asli Wae Rebo, bagaimana sampai tempat ini terkenal sampai ke luar negeri. Namun ada satu cerita yang sangat menyentuh hati ini, begini Pak Marcell bercerita,
Setelah perut ini kenyang, yang ada di benak saya hanyalah ingin segera berlari ke luar, bertemu dengan anak-anak Wae Rebo dan bermain bersama. Â
Dengan bahasa Manggarai, saya menerka-nerka bahwa anak-anak tersebut mengajak saya ke suatu tempat, akhirnya saya mengikuti mereka melewati jalan setapak dan dipenuhi pepohonan, saya kira saya akan dibawa ke tempat perkebunan kopi, ternyata pemikiran saya jauh di bawah itu, saya dibawa ke sebuah perpustakaan Wae Rebo!
Di sana terdapat buku-buku sumbangan dari seluruh pendatang dari anak-anak. Sayangnya saya tidak menyiapkan buku sama sekali untuk diberikan kepada mereka. Lebih indah lagi, dari Perpustakaan kita bisa melihat panorama Wae Rebo lengkap dengan tujuh Mbaru Niang, jika kau ke sana, kau akan percaya bahwa Wae Rebo benar-benar negeri di atas awan.
Lalu anak-anak itu pun mengajak kami bermain dan membaca buku di perpustakaan. Sayangnya, masih banyak dari mereka yang belum bisa membaca padahal sudah berumur 6tahun ke atas. Kata Pak Martin, anak-anak Wae Rebo bersekolah di Desa Denge, tempat pendakian pertama, tempat saya menginap di Wae Rebo Lodge, karena tidak mungkin anak-anak tersebut setiap hari pulang-pergi turun-mendaki gunung, mereka akan turun ke desa pada hari Minggu, dan kembali ke Wae Rebo pada hari Sabtu. Sungguh besar perjuangan anak-anak tersebut.
Setelah kami turun dari rumah baca, kami menyempatkan bermain, menggambar, bernyanti bersama dengan anak-anak itu. Tepat pukul 12.00 siang, Pak Altus dan Pak Martin memanggil kami untuk segera bergegas kembali ke desa Dintor karena kalau lebih dari jam tersebut, langit akan gelap dan kami akan kesulitan untuk melakukan perjalanan ke Dintor. Rasanya.... sangat sedih untuk meninggalkan Wae Rebo. Saya jatuh cinta pada Wae Rebo, kala hidup bagai ditunda sejenak, dan hidup benar-benar dihidupkan kembali.
Ya, apa boleh buat, sempat ada rasa penyesalan mengapa saya tidak merencanakan untuk menginap di Wae Rebo, sungguh penyesalan yang masih tersisa di benak saya. Berat langkah ini untuk meninggalkan tempat ini.
Sebelum pulang, kami diberkati kembali oleh Ketua Adat, Pak Alex namanya. Selayaknya kita telah melakukan prosesi upacara adat di awal kedatangan, yang berarti kita semua telah diterima sebagai anak Wae Rebo, dan ketika pulang pun, para leluhur pun akan senantiasa menemani kami katanya. Cerita Lain: Kutinggalkan hati di Tanah Flores Â
Â
Jalan pulang pun tak terasa berat, senyum pada wajah mengiringi kami untuk menikmati perjalanan pulang. Rasa lega terasa di dada karena telah menginjakkan kaki di tanah ini. Akhirnya kami pun sampai di Dintor sekitar pukul 17.30, kami segera membersihkan diri dan menikmati sore menuju malam dsini bersama Pak Altus, Pak Martin dan teman-teman lainnya. Cerita Lain: Menyapa Wajah Baru Gunung Kelud
Jakarta, 7 Januari 2017 Sesilia Dela Puspita  Â