4 Teknologi Ini Bisa Meredam Polusi Udara, Apa Saja?
Uzone.id– Polusi udara selalu jadi ‘musuh’ masyarakat di belahan dunia manapun, tidak terkecuali di Jakarta yang menyandang status sebagai kota dengan kualitas terburuk dalam beberapa waktu terakhir.
Tidak mau tinggal diam, pemerintah khususnya BMKG (Badan Klimatologi, dan Geofisika) pun melakukan beberapa upaya untuk mengurangi polusi udara di daerah Jakarta dan sekitarnya, salah satunya dengan menghadirkan teknologi hujan buatan.
Tidak hanya dengan cara ini, ternyata ada beberapa teknologi lain yang bisa digunakan untuk mengakali polusi udara yang terjadi di hampir semua negara. Teknologi apa saja? Berikut beberapa diantaranya.
Smog Free Tower
Teknologi ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 2015 lalu di Rotterdam, dan pada 2016, teknologi menara anti asap ini dibawa ke beberapa kota di China untuk mengurangi polusi udara di kota-kota tersebut.
Teknologi Smog Free Tower memiliki bentuk seperti menara dengan tinggi 7 meter dan dirancang oleh Daan Rooseegaarde. Dalam klaimnya, ‘air purifier’ raksasa ini mampu membersihkan hingga 30 ribu meter kubik polutan per jamnya.
Cara kerjanya, teknologi ini akan menyaring udara kotor dari bagian atas menara lalu mengeluarkan udara bersih lewat ventilasi yang ada di sisi bangunan ini.
Pada Mei 2017 lalu, Smog Free Tower ini terbukti mampu mengurangi partikel berbahaya seperti PM10 sebesar 70 persen dan PM25 hingga 50 persen. Smog Free Tower hingga saat ini sudah diimplementasikan di 2 negara, yaitu Polandia dan China.
EvoGreen
Kalau teknologi sebelumnya berasal dari luar negeri, konsep teknologi ramah udara yang satu ini berasal dari Indonesia, tepatnya buatan mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
Dirancang pada tahun 2021 lalu, EvoGreen ini merupakan alat pengubah karbon dioksida (CO2) menjadi oksigen (O2) dengan menggunakan tumbuhan alga.
Cara kerjanya, alat ini dirancang agar bisa menangkap CO2 untuk udara yang lebih bersih. Selain itu, alat ini juga dibuat untuk membuat habitat buatan untuk alga hidup.
Alga dipilih sebab telah terbukti dapat menangkap CO2 lebih baik daripada tumbuhan biasa.
Dilansir dari web resmi ITS, Selasa, (29/08), EvoGreen ini dapat menyerap CO2 10 kali lebih efisien daripada pohon dan dapat dipasang di rumah, sehingga semua orang dapat berkontribusi dalam mengurangi jejak karbon.
EvoGreen juga terhubung dengan perangkat rumah AVEVA yang nantinya akan memberikan catatan secara real time mengenai penggunaan EvoGreen ini.
Pohon Buatan ‘BioUrban’
Startup asal Meksiko bernama BiomiTech mengembangkan alat buatan yang disebut sebagai BioUrban pada tahun 2019 lalu.
Teknologi ‘pohon buatan’ setinggi 4,2 meter ini diklaim mampu menyaring polusi dari udara sebanyak 368 pohon asli. BioUrban ini menggunakan mikroalga yang disimpan di keranjangnya untuk kemudian melakukan proses alami dari fotosintesis seperti pohon alami.
BioUrban ini mampu menangkap hingga 99,7 persen partikel berbahaya PM25 dan 10 partikel udara dan diklaim bisa membersihkan udara untuk 2.890 orang setiap harinya.
Teknologi ini dibanderol dengan harga USD50 ribu atau sekitar Rp763 juta dan sudah mulai digunakan di beberapa negara, termasuk negara Meksiko, Kolombia dan Panama.
Teknologi Modifikasi Cuaca
Teknologi yang paling familiar dengan polusi udara adalah Teknologi Modifikasi Cuaca atau TMC, yang salah satu bentuknya adalah hujan buatan.
Dikutip dari situs BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), Kepala BBTMC BPPT, Tri Handoko Seto, hujan buatan atau teknologi modifikasi cuaca adalah proses untuk melakukan penyemaian awan atau cloud seeding menggunakan bahan-bahan yang bersifat higroskopik (menyerap air).
Nah, dengan penyemaian ini, proses pertumbuhan butir-butir hujan dalam awan akan meningkat dan akan mempercepat terjadinya hujan.
Bahan untuk menyemai awan ini adalah garam halus yang nantinya akan ditaburkan di dalam awan. Proses hujan buatan ini tidak bisa dilakukan dalam semua kondisi. Pasalnya, hujan buatan ini juga tetap tergantung pada ketersediaan awan di langit.
Apabila awan di langit banyak, maka proses inkubasi akan lebih banyak dan otomatis akan menghasilkan curah hujan yang lebih banyak juga, begitupun sebaliknya.
Nah, dari keempat teknologi ini, kira-kira teknologi mana ya yang cocok diterapkan di Indonesia saat ini?