Facebook ‘Panen’ Skandal, Mungkinkah Kita Minta Pertanggungjawaban?

pada 3 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Foto: Unsplash

Uzone.id-- Facebook sebagai aplikasi digital yang perusahaannya bermarkas di Menlo Park, California, Amerika Serikat memiliki miliaran pengguna skala global, dan Indonesia menempati posisi ke-tiga dunia sebagai pengguna terbanyak per Juni 2021. Jika Facebook Inc. mengalami skandal serius yang berdampak pada penggunanya, lantas apakah kita bisa menuntutnya?

Sejak tiga tahun terakhir, Facebook kerap diterpa masalah dan skandal besar yang tidak bisa diremehkan begitu saja. Skandal terbesar pada awal 2018 adalah ketika perusahaan pimpinan Mark Zuckerberg ini terungkap membagikan data 87 juta penggunanya ke lembaga riset Cambridge Analytica untuk kebutuhan pemenangan kampanye Donald Trump pada 2016.

Sejak itu, Facebook semakin sering dilanda masalah privasi, kebocoran data sana-sini, dituding jadi perusak kesehatan mental para pengguna di kalangan remaja, hingga yang belakangan ini ramai diperbincangkan adalah munculnyawhistleblowerbernama Frances Haugen.

Haugen dulunya karyawan dan memegang peran data scientist, ia bersaksi di depan Kongres AS untuk mengungkap aib perusahaan yang ia klaim selama ini memperkuat penyebaran konten misinformasi, hoaks, dan hate speech melalui algoritmanya. Hal ini, menurut Haugen, menyebabkan konflik politik dan perpecahan masyarakat.

Kalau sudah begini, apakah pengguna memiliki wewenang untuk meminta pertanggungjawaban Facebook?

Baca juga:Aib Facebook: Data Bocor hingga Sarang Hoaks, User Indonesia Seberapa Peduli?

“Sama Facebook tegas saja. Jika ada pelanggaran UU, proses saja secara hukum, tidak usah takut,” ungkap Executive Director Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi kepadaUzone.id.

Menurutnya, jika hal ini berdampak nyata bagi masyarakat atau pengguna di Indonesia, dalam aturan UU ITE itu tidak hanya mengatur dan memberikan sanksi bagi yang membuat, tapi juga yang menyebarkan.

“Dan platform bisa dikenakan sanksi serta hukuman karena turut serta menyebarkan konten hoaks atau hate speech, ini ‘kan di masyarakat ada kesan pemerintah takut sama Facebook, baik Menkominfo sebelum Johnny [G. Plate] maupun presiden karena pernah ke kantor Facebook,” tuturnya lagi.

Ia melanjutkan, “kesan ini harus diluruskan Menkominfo saat ini dan juga presiden agar hukum tegak bagi siapapun yang melanggar hukum.”

Dengan kata lain, apa yang dijelaskan Heru memang masih mengandalkan UU ITE dari aspek sanksi terkait penyebaran hoaks atau hate speech itu sendiri.

Ilustrasi pengguna Facebook/Unsplash

SaatUzonemenghubungi perwakilan Facebook Indonesia terkait tuduhan algoritma yang justru memperkuat konten misinformasi, hoaks, dan hate speech, mereka hanya bisa menunjukan pernyataan resmi dari Vice President of Global Affairs Facebook, Nick Clegg.

Menurut Clegg, kabar soal moderasi konten, misinformasi seperti vaksin, hingga distribusi algoritma, hingga kesehatan mental remaja memang masalah yang serius.

Baca juga:3 Konflik Menyeramkan di Dunia Melibatkan Facebook

“Sangat sah bagi kami untuk dimintai pertanggungjawaban atas cara kami menanganinya. Tetapi hal-hal yang diberitakan, apalagi dari Wall Street Journal, soal ini mengandung kesalahan karakterisasi yang disengaja tentang apa yang kami coba lakukan, dan memberikan motif yang sangat salah kepada kepemimpinan dan karyawan Facebook,” tulis Clegg.

Clegg kemudian membagikan pembelaannya untuk menepis masalah dan skandal yang ramai dibicarakan ini.

“Yang benar-benar mengkhawatirkan adalah jika Facebook tidak melakukan penelitian semacam ini sejak awal. Alasan kami melakukannya adalah sebagai cerminan diri kami sendiri dan mengajukan pertanyaan sulit tentang bagaimana orang berinteraksi dalam skala besar dengan media sosial. Ini seringkali merupakan masalah yang kompleks di mana tidak ada jawaban yang mudah. Kami tidak terima adanya kesalahan karakterisasi pekerjaan kami dan meragukan motif perusahaan,” tutup Clegg.