Heboh Silicon Valley Bank Bangkrut, Kok Indonesia yang Panik?

pada 2 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Uzone.id– Kabar menggemparkan belum lama ini mencuat dari Silicon Valley, California, Amerika Serikat. Silicon Valley Bank (SVB) dinyatakan bangkrut pada Jumat, 10 Maret kemarin dan membuat banyak pihak langsung gundah gulana karena dianggap dapat semakin memicu krisis keuangan lebih luas lagi.

Indonesia menjadi negara yang ikut-ikutan heboh dan bisa dibilang panik terhadap dampak dari SVB yang mendadak runtuh ini. Sebenarnya wajar, SVB dikenal sebagai bank yang mendanai banyak startup di Silicon Valley. SVB sendiri runtuh dalam kurun 48 jam saja.

Diklaim sebagai bank terbesar ke-16 di AS, SVB tak hanya memberikan pinjaman, namun juga menyimpan deposit para startup yang berbasis di Negeri Paman Sam dan juga beberapa negara lain.

Lantas, bagaimana pengaruh kolapsnya SVB ini terhadap lanskap startup di Indonesia?

Pengamat startup Rama Mamuaya mengatakan sebenarnya masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir berlebihan mengenai runtuhnya SVB ini.

 

 

“Tidak akan terlalu berpengaruh banyak. Mungkin paniknya di Indonesia ini datang dari India, karena lebih terasa di sana kolapsnya. Banyak startup-startup asal India memiliki dual headquarter. Misalnya, satu di Bangalore satunya lagi di San Francisco, makanya mereka terdampak secara langsung,” tutur Rama di acara GDP Power Lunch pada Rabu siang (15/3).

Sedangkan menurut Rama, startup-startup Indonesia tidak terlalu banyak menyimpan fund atau dana di SVB, sehingga eksposurnya terbatas.

“Dijamin semuanya akan baik-baik,” lanjut Rama.

SVB kolaps, semakin picutech winter?

Selain kekhawatiran mengenai dampaknya bagi lanskap startup di Indonesia, runtuhnya SVB ini juga digembar-gemborkan akan semakin memperparah fenomena tech winter bagi industri startup global.

Investment Partner GDP Venture, Antony Liem, mengatakan bahwa permasalahan yang menimpa SVB ini adalah masalah normal perbankan.

“SVB ini bank lama, dan ini adalah problem normal dari bank. Kalau ditanya SVB bakal menimbulkan winter bagi startup, fenomena tech winter ‘kan sudah terjadi, bukan gara-gara SVB,” jelasnya pada kesempatan sama.

Ia melanjutkan, “winter startup terjadi karena masalah ekonomi makro. Ada inflation double side, yakni harga barang naik dan juga perang Ukraina dan Rusia yang menyebabkan supply chain shock dan akhirnya funding menurun.”

 

 

Mengenal Silicon Valley Bank

SVB didirikan pada 1983 dan beroperasi sebagai bank komersial yang memberikan layanan perbankan ke hampir setengah dari seluruh perusahaan teknologi AS.

Meski terkenal di Silicon Valley, California, SVB juga beroperasi di sejumlah negara lain seperti China, Kanada, Denmark, Jerman, Inggris, Irlandia, Israel, dan Swedia.

Sejak perusahaan rintisan teknologi tumbuh drastis, SVB dilaporkan mendapatkan manfaat besar yang didorong dari biaya pinjaman rendah, serta permintaan layanan digital ketika pandemi melanda.

Tercatat aset SVB termasuk pinjaman melonjak lebih dari tiga kali lipat dari USD71 miliar (sekitar Rp1.098.252.850.000.000) pada akhir 2019 menjadi USD220 miliar (setara Rp3.403.961.000.000.000) per Maret 2022.

Dalam periode sama tersebut, ribuan startup teknologi menyimpan dana mereka sebagai pemberi pinjaman. Nilainya pun melambung dari USD62 miliar (Rp959.037.700 triliun) menjadi USD198 miliar (Rp3.064.139.100.000.000).

Bahkan jumlah karyawan SVB juga meningkat dua kali lipat skala global.

Penyebab keruntuhan

Keruntuhan SVB terasa begitu cepat dan mendadak. Para nasabah menarik simpanan secara bersamaan dalam kurun waktu 48 jam, lebih tepatnya dimulai pada Rabu lalu (8/3).

Hal ini dipicu ketika pemberi pinjaman mengumumkan mereka telah menjual banyak sekuritas harga rendah dan bersiap mengeluarkan USD2,25 miliar saham baru untuk menutup kerugian. Dari sini kepanikan muncul, nasabah mulai menarik uang dalam jumlah besar.

Kemudian saham SVB terjun bebas 60 persen pada Kamis (7/3) yang mengakibatkan saham bank-bank lain ikutan anjlok secara bersamaan karena para investor dikabarkan takut krisis keuangan global 1,5 dekade lalu terulang kembali.

 

 

Jika mengutip berbagai sumber, akar keruntuhan SVB ini sudah terjadi sejak beberapa tahun belakang. SVB pernah menginvestasikan miliaran ke obligasi AS selama era suku bunga mendekati nol.

Semua kemudian berbalik arah ketika Federal Reserve menaikkan suku bunga secara agresif untuk mengontrol inflasi.

Nah, ketika suku bunga naik, maka harga obligasi turun sehingga lonjakan suku bunga tersebut menggerus nilai portofolio SVB.

Sayangnya di saat bersamaan, suku bunga kredit menjadi lebih tinggi juga. Tandanya, startup teknologi harus menggelontorkan uang lebih banyak untuk membayar utang.