Kisah Pajero Sport Dipakai Keliling Dunia oleh Wanita Indonesia Suami Bule
Iyel Koudijs bersama suami, Eelco Koudijs (Foto: Tomi Tresnady / Uzone.id)
Uzone.id- Iyel Koudijs bersama suaminya berdarah Belanda, Eelco Koudijs dan kedua anak mereka; Raneeshya dan Bramantyo melakukan kegiatan ekstrem yang jarang dilakukan oleh orang-orang, yakni keliling dunia melewati 34 negara menggunakan Mitsubishi Pajero Sport Dakar 4x4 lansiran 2017. Pajero Sport tunggangan mereka diberi nama Cappucino.
Dalam sebuah kesempatan di Jakarta, Iyel menceritakan pengalaman yang mengesankannya itu kepadaUzone.id.
Menurut Iyel, paling utama untuk melakukan tur keliling dunia harus dengan rencana matang sampai ke detailnya.
“Karena kalau planingnya gak kuat itu nanti di perjalanan akan lebih banyak waktu yang habis untuk mengurus visa, mencari data ini, mencari data itu dan kalo sudah di luar negeri itu lebih repot dan lebih mahal dan lebih membuat kita lebih cepet drop kalo misalnya kita mentok dengan ada permasalahan, tapi kalau planing kita sudah rapi sejak awal, maka kita sudah bisa memprediksi perkiraan masalah-masalah sepanjang jalan,” tutur Iyel.
Memang, Iyel merasa paling sulit justru saat mengurus visa. Selain itu, persoalan ban juga sempat jadi masalah yang krusial ketika dalam perjalanan.
Waktu itu, ketika akan berangkat sempat mempertimbangkan ganti ban, namun melihat ban Cappucino belum gundul maka Iyel dan suami memutuskan ganti ban saat perjalanan nanti.
“Kami pikir kami akan gantinya di China atau di Kirgizstan. Kenyataannya ban dengan ukuran diameternya sesuai dengan velg itu susah cari yang 18 inci. Itu gak gampang jadi mesti dapetnya dari Kazakhstan. Ban itu dikirim ke Kirgizstan itu butuh waktu minimal seminggu dan kalo terjadi apa-apa itu kan bukan seminggu, tapi 7 hari kerja. Belum lagi kalau ada keterlambatan dan lain-lain, jadi kita akan membuang waktu,” terang Iyel.
BACA JUGA:Gesits Sespan Sudah Bisa Dibeli, Harga Rp50,5 Juta
Iyel tidak menyangka mencari ukuran ban jadi masalah di perjalanan. Iitu tidak terpikir oleh dia dan suami. “Yang namanya ban pasti ada di banyak negara, ternyata engga. Itu kan bagian dari planning yang kami salah.”
Soal mesin diesel Pajero Sport, Iyel mengaku tidak mengalami masalah selama di perjalanan. Cuma kampas rem harus diperhatikan betul.
“Cuman kalo kita liat dengan jarak yang jauh itu ya, emang masalah ya. Jadi kami waktu itu ganti kampas rem itu di Maroko,” tutur Iyel.
Saat itu, pihak teknisi di Maroko yang biasa menangani mobil untuk Paris Dakkar melihat kondisi rem tidak masalah. Namun, perlu diganti jika mobil akan berjalan hingga Afrika Selatan.
“Takutnya di tengah-tengah gak dapat gantinya, tapi karena mereka juga gak punya (suku cadang) dengan spek yang sama. Sama mereka diakalin jadi ada yang entah dibubut, diganti, mereka bilang masih bagus,” katanya.
Selain masalah rem, Iyel mengatakan jika Pajero Sports tidak bisa pakai bahan bakar dengan kualitas buruk. “Saya ngakalin karena sudah tahu dari awal kayak alat untuk untuk ngebersihin, berupa cairan dimasukin ke bahan bakarnya. Dia bisa membersihkan kotorannya dan memperbaiki oktannya.”
Menurutnya, cairan untuk penambah oktan itu lumayan membantu. Cappucino juga membawa bahan bakar cadangan yang disimpan di dirijen khusus dan juga diberi cairan khusus tersebut.
Pengalaman paling apes, menurut Iyel, ketika masuk wilayah konflik di Sinjian, China. Kawasan itu memang sensitif untuk masalah politik.
Masuk kawasan China butuh biaya mahal karena harus punya sim khusus China dan mesti punya lisence plate.
“Jadi kami bayar agent supaya gak mahal. Kami share (biaya dengan orang lain) gitu supaya biayanya bisa terbagi dua . Kami share dengan teman kami yang over lander juga, tapi dia naik motor terus motornya punya masalah dengan kampas remnya juga.
Kawasan Shinjiang ternyata banyak terdapat check point. Sampai ada puluhan. Untuk beli bahan bakar saja harus pakai ID Card karena Iyel dan keluarga merupakan orang asing.
“Mungkin pihak pemerintah (China) sengaja menahan supaya pergerakan itu ditahan dengan cara bahan bakarnya gak bisa beli sembarangan, sampe ada penjaganya segala pokonya dibikin sulit lah,” kenang dia.
Bahkan, setiap beli bahan bakar kadang mesti berantem dulu dengan petugas sambil menjelaskan maksud dan tujuan Iyel sekeluarga berada di China.
Soal penginapan, Iyel dan keluarga memang suka kemping. Sehingga mereka suka menginap di jalan dengan memilik lokasi yang bagus.
“Si guide-nya ini ngasih lah lokasi yang bagus. Katanya itu kan kayak Grand Canyon-nya China. Memang bagus banget. Cuma ternyata itu dekat dengan pangkalan militer gitu. Kita pas lagi jalan malam tahu-tahu itu mobilnya stuck karena kan kita nyari tempat gak dapat-dapat. Akhirnya sudah agak malam kena gerimis, kita stuck di tengah tempat yang berlumpur parah. Mau balik gak bisa terus panik gitu. Ada orang militer yang lewat pakai mobil militer. ‘Aduh ya ampun ini kan daerah yang gak boleh kita masukin. Tapi untungnya kita dibantu sama dia,” kata dia.
Untuk pengalaman hampir kecelakaan, menurut Iyel tidak ada karena mereka bukan tipe yang suka ngebut saat membawa mobil, namun santai sambil menikmati perjalanan.
Iyel dan suami bergantian membawa mobil. Biasanya gantian nyetir per 300 km. Kalau jalannya jelek bisa 50-75 km karena memakan waktu dua jam.
Untuk makanan yang wajib ada di dalam mobil selama perjalanan, di antaranya buah-buahan, snack dan vitamin.
Biasanya selama perjalanan sulit ditebak. Kadang menemukan tempat makan yang enak. Tapi kalau tidak menemukan tempat makan yang layak, setidaknya ada buah-buakan seperti pisang yang lumayan untuk mengisi perut.
Lalu, negara-negara mana saja yang bikin decak kagum akan keindahannya?
Iyel menjawab Kirgistan terdapat pegunungan seperti di Swiss. Selain alamnya bagus, biaya hidup di sini juga murah. Bahkan lebih murah dari Indonesia. Selain itu masyarakat Swiss-nya Asia itu pun ramah.
“Sebenernya China lebih bagus karena variasi (alamnya)-nya lebih banyak. Tapi kan politiknya menurut saya kita gak bisa tebak, kita mesti ngikutin aturan mereka jadi susah,” tuturnya.
Untuk mengatur biaya selama perjalanan keliling dunia, Iyel dan keluarga berusaha untuk tidak menginap di hotel.
“Kami kan bukan orang yang kaya. Boleh buang-buang uang. Jadi planing yang penting di area yang mahal untuk penginapan, kami nginepnya di tenda. Untuk makan sedapatnya kami masak. Pertama, kualitas makanannya lebih terjaga, terus kedua akan menghemat biaya,” kata dia.
Untuk sumber energi, di atas Cappucino terdapat panel surya yang bisa untuk masak. Jadi, penghematan sudah harus diatur sajak awal.
Untuk negara dengan biaya hidup paling mahal, menurut Iyel, adalah Swiss. Iyel dan sekeluarga tidak bisa masuk wilayah India karena masalah visa.
Untuk rute perjalanan dari Indonesia masuk Malaysia, kemudian Thailand - Laos - China – Kirgizstan - Tazikistan - Uzbekistan - Turkmenistan – Iran – Turki , sebagai pintu masuk Eropa Timur salah satunya Albania.
Kemudian menempuh rute di kawasan Eropa Barat seperti Italia - Prancis - Belanda – Jerman. Namun Iyel sulit masuk Inggris karena masalah visa.
Dari Eropa kemudian menyeberang ke benua Afrika melalui Maroko kemudian ke Tanzania. Namun, lagi-lagi di Afrika mentok karena masalah visa. Paling sulit mendapatkan visa Senegal.
“Jadi mesti ngurus waktu di Indonesia pokonya. Kami kan gak mungkin ngurus semua di Indonesia. Kami kan perjalanan setahun, nanti sudah expire karena kami gak bisa masuk ke Senegal jadi balik lagi naik masuk ke Portugal, ke Eropa Barat lagi. Baru turun ke bawah, ke Turki lagi, Iran terus Pakistan,” cerita Iyel.
Dia juga tidak bisa mendapatkan visa Mesir karena harus diurus di Indonesia.Padahal, Iyel sudah mengusahakannya di tiga kedutaan Republik Indonesia, termasuk Yunani. Namun harus menunggu tiga minggu sampai visa itu jadi.
“Tiga minggu, walaupun tiga minggu belum tentu bisa dapet. Ngapain saya tiga minggu di situ. Anak-anak saya sekolah
Beruntung, kata Iyel, anak-anak tidak mengalami sakit parah. Pernah kedua anaknya terkena cacar air di Maroko dan membutuhkan pengobatan selama satu minggu.
“Langsung beli obat buat ngeringin cacarnya, terus makanannya lebih di-boost lagi. Kita punya asuransi tapi kalau ke rumah sakit harus 2 - 3 kali datang, berarti waktu kami terbuang. Jadi bisa sih sembuh dalm waktu 6-7 hari,” kata Iyel
Iyel bersama keluarga memutuskan keliling dunia karena sejak awal pernikahan di tahun 1997, selalu mencadangkan waktu 1 - 2 bulan tiap tahunnya untuk traveling.
“Tapi dengan adanya anak-anak. Kami gak bisa seenaknya jalan. Jadi tunggu sampai mereka siap baru kami bisa jalan,” tutup Iyel.