Makan dan Sekolah Dipajakin Dulu, Biar Bisa Beli Mobil Murah

pada 4 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Uzone.id- Sektor otomotif, khususnya dalam tataran industri memang berkontribusi cukup signifikan bagi akselarasi perekonomian negara ini. Wajar, ketika pandemi menimpa, daya beli kendaraan baru menurun, ekonomi langsung mengkhawatirkan.

Maka sejak Maret 2021, pemerintah menerapkan program insentif pajak PPnBM 0 persen untuk mobil baru dengan syarat tertentu. Tujuannya tentu saja memancing semakin banyak masyarakat lebih berani beli mobil baru, demi perekonomian bangsa.

Hasilnya juga lumayan, pada Maret ketika diskon PPnBM 100 persen diberlakukan terjadi kenaikan hingga 28,85 persen.

Lalu pada April 2021, lonjakan penjualan mencapai 227 persen dibanding periode yang sama tahun 2020 lalu.

Baca juga:PPnBM 0 Persen Diperpanjang, Harga Mobil Baru Berantakan?

Dianggap berhasil, di Juni ini Pemerintah bersiap untuk memperpanjang pemberian insentif PPnBM 0 persen tersebut sampai Agustus 2021, dan memundurkan penerapan insentif PPnBM tahap 2 (50 persen).

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, melansir website resmi Kemenperin, mengatakan, Kementerian Keuangan sudah senada dengan Kementerian Perindustrian, bahwa PPnBM DTP dapat diperpanjang.

Hal ini sesuai arahan Presiden Joko Widodo, diperlukan terobosan untuk tetap menciptakan iklim usaha yang kondusif di tengah kondisi pandemi.

"Ini bertujuan membangkitkan kembali gairah usaha di tanah air, khususnya sektor industri, yang selama ini konsisten berkontribusi signifikan bagi perekonomian nasional," kata Agus Gumiwang.

Kementerian Perindustrian membeberkan potensi sektor otomotif didukung 21 perusahaan, total kapasitas mencapai 2,35 juta unit per tahun dan serapan tenaga kerja langsungnya sebanyak 38 ribu orang.

Selain itu, lebih dari 1,5 juta orang turut bekerja di sepanjang rantai nilai industri tersebut.

Namun seperti halnya penerapan tahap pertama Maret 2021 lalu, kali ini pun muncul pro dan kontra. Apalagi kebijakan itu disorot karena berbenturan dengan wacana pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) di sektor pendidikan dan sembako.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, mengutip detik.com, kebijakan tersebut akan menyakiti perasaan masyarakat.

"Karena di tengah situasi begini bukannya sama-sama prihatin, sama-sama masyarakat lagi kurang, ternyata diperpanjang. Toh kebijakannya juga tidak terlalu efektif," kata Tauhid.

Baca juga:Daftar 23 Mobil Baru yang Dapat Diskon PPnBM 0 Persen Sampai Agustus 2021

Kalau melihat data Gaikindo, memang kebijakan ini terasa efektif di bulan pertama, alias Maret 2021. Saat itu penjualan mobil melonjak jadi 84.915, namun kemudian turun menjadi 78.908 di di April dan 54.815 di Mei.

"Artinya apa, ya kebijakan pemerintah hanya bisa di bulan Maret aja naiknya setelah itu kembali. Naiknya naik sedikit, tidak terlalu mendorong," ujarnya.

Senada dengan Tauhid Ahmad, Ekonom Center of Reform of Economics (CORE), Yusuf Rendi Manilet juga menilai peningkatan yang terjadi di bulan Maret, April, Mei tersebut tidak terlepas dari momentum bulan Ramadan dan Lebaran, yang umumnya memang permintaan barang dan jasa sering kali meningkat pada momen-momen tersebu.

Di sisi lain, pemerintah berwacana untuk menerapkan PPN pada sembako dan jasa pendidikan, yang pastinya kalau benar di terapkan nantinya, bakal mengkoreksi biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk membeli sembako dan bersekolah.

Kebutuhan pokok semakin gak terjangkau ditambah akses ke sarana pendidikan yang semakin mahal, dalam jangka panjang bisa berpotensi membuat masyarakat kurang gizi dan pendidikan.

Seperti judul diatas, makan dan sekolah di pajakin dulu, supaya banyak masyarakat bisa beli mobil murah.

VIDEO Review Mitsubishi Xpander Black Edition Rockford Fosgate: