Penetrasi Kabel Fiber Optik Baru 30 Persen, Apa Saja Tantangannya?

pada 2 bulan lalu - by
Advertising
Advertising

Uzone.id —Ketua Umum APJATEL (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi) Indonesia, Jerry Mangasas Swandy mengungkapkan bahwa saat ini jaringan fiber optik yang tersebar di seluruh Indonesia sudah mencapai 800 ribu kilometer. 

Panjang tersebut sudah mencakup kurang lebih 150 kabupaten atau kota di Indonesia dengan penetrasi kurang lebih 30 persen, Sementara itu, dari 800 ribu kilometer fiber optik yang saat ini sudah digelar, Jessy menjelaskan bahwa utilitasnya sudah mencapai 90 persen.

“Summary-nya adalah kurang lebih panjang kabel-kabel fiber optik kita di Indonesia adalah 800 ribu kilometer. Itu terbentang dari Aceh sampai Papua, kurang lebih. Dan untuk penetrasinya, kurang lebih sudah 30 persen,” kata Jerry dalam acara Munas III APJATEL, di Bogor, Kamis, (24/10).

Terkait penetrasi yang baru mencapai 30 persen, Jessy menyebut bahwa angka ini belum mencakup seluruh penduduk di Indonesia karena masih ada sekitar 5 persen daerah blank spot karena beberapa alasan, termasuk wilayah kahar.

 

 

“Kalau black spot sesuai dengan pernyataan Pak Menteri, Pak Budi Arie sebelum diganti, kurang lebih nggak sampai 5 persen. Sementara (beberapa wilayah) sudah tersambung (internet) melalui power wireless, ada satelit juga. Apalagi kemarin sudah ada pergerakan, hadirnya Mas Elon ya dengan Starlink-nya,” ujarnya.

Penetrasi yang masih 30 persen ini masih menjadi PR bersama-sama, termasuk semua asosiasi. Hal ini terjadi karena laju yang masih terbilang lambat dari angka utilitas yang telah mencapai 90 persen. 

“Memang agak lama karena ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pertama, bentuk negara kita negara kepulauan. Itu yang pertama. Ada kerumitan di sana. Kedua, untuk connectivity ini terjadi tumpang tindih regulasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sendiri,” tambah Jessy.

Terkait regulasi tersebut, Jessy menjelaskan bahwa pihaknya telah berhasil mengubah salah satu regulasi dari Permendagri 19-2016 menjadi Permendagri nomor 7 tahun 2024. Efeknya, mereka kini bisa lebih fleksibel untuk menggelar jaringan di beberapa kota.

Selain itu, soal regulatory charging yang tinggi juga masih menjadi perhatian. Apalagi saat ini penyelenggara juga harus membayar berbagai pengeluaran untuk memelihara perizinan.

 

 

“Sekarangregulatory chargingkita,regulatory costkita kurang lebih 12 persen. Itu sangat berat. Mulai dari bayar BHP, biaya perizinan, dan seterusnya. Belum lagi ada kerusakan-kerusakan. Kadang ada vandalisme, ada pemotongan kabel sembarangan oleh oknum-oknum. Ini membuat cost-nya tidak terbendung,” ujarnya.

Tak hanya itu, kehadiran RT/RW Net ilegal juga turut menjadi tantangan asosiasi dalam hal penetrasi tersebut, yang mana hal ini dapat mempengaruhi pasar, termasuk dalam kecepatan konektivitas dan harga nilai jual yang semakin rendah di tengah regulatory cost yang tinggi.

Lebih lanjut, pihaknya bersama dengan semua anggota berharap nantinya penetrasi tersebut akan semakin meningkat dan bisa memberikan dampak pada ekosistem ekonomi nasional.

“Kita tak punya semacam target-target definitif statistik, tapi ini berproses dari tahun ke tahun, bahkan dari bulan ke bulan. Kita kolaborasi dengan semua pihak, termasuk regulator seperti Kominfo,” ujarnya.