UGM Lakukan Penelitian Soal Santet, Ini Hasilnya
Ilustrasi (Foto: Aziz Acharki - Unsplash)
Uzone.id- Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan penelitian mengenai santet, yang dikenal masyarakat Indonesia sebagai ilmu hitam.
Namun, Tim PKM-RSH UGM yang terdiri dari Izza (Arkeologi 2019), Derry (Bahasa dan Sastra Indonesia 2019), Ana (Arkeologi 2019), Syibly (Psikologi 2018), dan Fadli (Sastra Jawa 2018) telah meneliti santet dipahami di masyarakat dan bagaimana pemahaman tersebut berubah dari sesuatu yang memiliki nilai positif menuju hal yang sepenuhnya negatif.
Mereka melakukan penelitian dengan melibatkan berbagai pihak untuk diwawancara, analisis digital, serta analisis tekstual terhadap berbagai teks di bawah bimbingan Dr. Agung Wicaksono, MA (Dosen Antropologi Budaya UGM).
Penelitian yang dilakukan tim UGM ini berangkat dari fenomena beragamnya persepsi masyarakat mengenai santet.
BACA JUGA:Hasil Merger Indosat dan Tri Belum Bisa Mengalahkan Telkomsel
Izza mengatakan bahwa pemahaman masyarakat Indonesia secara umum terhadap santet bisa dibilang hanya sampai pada simpang siur tanpa adanya bukti valid.
"Minimnya pengetahuan berbukti valid itu bermuara pada terbentuknya beragam persepsi masyarakat. Mayoritas persepsi tersebut menilai santet sebagai suatu hal yang negatif dan sudah selayaknya ditinggalkan. Persepsi tanpa dasar semacam ini kerap melahirkan reaksi tanpa argumen dan hanya berdasar sentimen belaka,” kata Izza, dilansirUzone.iddari situs resmi UGM, Senin (20/9/2021).
Hasil penelitian yang dilakukan tim UGM menunjukkan bahwa keberadaan santet dengan segala ruang praktik dan nalar positif dalam masyarakat Jawa terekam dalam peninggalan-peninggalan tekstual seperti manuskrip dan aktivitas manusia pada waktu itu.
Secara tekstual kata santet tidak ditemukan dalam manuskrip. Kata yang memiliki hubungan erat dengan santet adalah kata sathet (dalam Serat Wedhasatmaka tahun 1905) yang berarti ‘jenis pesona dengan menggambar’.
Kemudian, meskipun secara tekstual kata santet tidak terdapat dalam beberapa manuskrip sebagai objek kajian data, hal ini dirasa wajar sebab dalam kasusastran Jawa santet merupakan akronim dari mesisan kanthet dan mesisan benthet. Hal itu berdasarkan dari wawancara tim UGM dengan Wisma Nugraha, C.R., M.Hum. (Dosen FIB UGM).
Hasil wawancara dengan Perdunu (Persatuan Dukun Nusantara), masyarakat Jawa khusunya Banyuwangi terungkap bahwa sifat dari santet adalah membuat sesuatu menjadi rekat sekalian (mesisan kanthet) ataukah justru sebaliknya yaitu membuat sesuatu menjadi retak atau pecah sekalian (mesisan benthet).
BACA JUGA:7 Aplikasi yang Bikin Urusan Invoice jadi Lebih Mudah
Santet dalam ruang nalar orang Jawa, dikatakan pada saat itu memuat dua paradigma nilai, yakni nilai positif atau kebaikan yang tergambarkan melalui piranti-piranti dan konsep yang membingkai santet menjadi positif serta paradigma nilai santet yang negatif akibat penyalahgunaan santet tersebut.
Nilai positif santet secara nyata dibuktikan dalam penggunaanya dalam aktivitas keseharian masyarakat Madura untuk menangkap ikan, memanggil hujan, menyembuhkan sakit, dan sebagainya.
Bentuk-bentuk praktik tersebut merupakan bentuk santet yang bermanfaat bagi pelaku dan lingkungan di sekitarnya tanpa merusak dan melukai siapapun. Nilai positif santet ini hidup karena adanya piranti santet yang positif (mantra, dukun dan perlengkapan sajian).
“Seperti tersebut di atas bahwa santet memiliki konsep nilai positif dan negatif. Akibat perlakuan yang tidak sebagaimana mestinya santet menjadi disalahgunakan,” kata Izza.
Penelitian yang dilakukan UGM ini mencoba mengangkat kembali konsep nilai positif santet yang sudah mengalami pergeseran dan marginalisasi di era modern sekarang ini.
Dikatakan juga bahwa rekontekstualisasi nilai-nilai santet perlu dilakukan dengan tujuan menyelaraskan konsep santet masa lalu dengan era sekarang serta membebaskan santet dalam ruang nalar yang salah akibat marginalisasi dan politisasi ideologi yang berkepentingan.
"Patut kiranya santet dipandang sebagai kekayaan intelektual bangsa yang perlu kita pahami dengan arif dan bijaksana sehingga tidak ada lagi marginalisasi antar budaya," katanya.