Work-Life Balancedi Startup Bukan Mitos, Kok!
Singapura, Uzone.id— Istilah ‘work-life balance’ semakin sering disuarakan oleh para karyawan muda yang tengah menjalani hiruk-pikuknya pekerjaan. Mungkin kalau bisa dideklarasikan secara formal,work-life balanceadalah hak segala bangsa. Ini slogan yang nyata, atau mitos belaka, sih?
Yang jelas, keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan sosial atau pribadi masih terus menjadi aspek penting di mata karyawan.
Chief Growth Officer, Career & Connect Platform SEEK, Chook Yu Yng mengatakan bahwa kesehatan mental menjadi tantangan selama dua tahun belakangan — dengan kata lain ketika pandemi telah melanda.
“Tantanganwork-life balancedirasakan oleh tiap jenis perusahaan, baik yang besar maupun startup - apalagi startup yang baru merintis. Berbicara soal ini, penting bagi perusahaan dan para karyawan untuk mengenali prioritas,” tutur Yu Yng saat berbincang denganUzone.iddi sela acara Tech In Asia Conference 2022 di Singapura.
Baca juga: Perlukah Pekerja Manusia Cemas Jika 'Dijajah' AI dan Robot?
Menurutnya, semua orang harus mampu memprioritaskan jenis pekerjaan yang sekiranya harus dikerjakan dengan cekatan demi meningkatkan efisiensi dan efektivitas jam kerja.
Tak hanya itu, menurut Yu Yng dalam sebuah tim juga perlu melakukan pemantauan proses sebuah pekerjaan agar semuanya dapat terukur.
“Dibiasakan untuk menerapkanprogress monitoring, karena ketika kita memahami proses sebuah pekerjaan di dalam tim, kita dapat mengukur target dan seberapa banyakchecklistyang telah ditempuh. Ini yang nantinya dapat menentukan prioritas karyawan dalam bekerja. Jika semuanya berjalan dengan baik, pasti pekerjaan dan kehidupan sosial bakal terasa seimbang,” ucapnya.
Lantas bagaimana dengan dunia startup yang dikenal begitu dinamis, menuntut kecepatan pekerjaan, hingga tekanan-tekanan tertentu yang berpotensi membuat karyawan kewalahan.
“Ini semua dapat diterapkan di skala perusahaan manapun termasuk startup sekalipun,” tegas Yu Yng.
Quiet quittingbukan opsi!
Banyak yang menganggap ketika karyawan merasa hak work-life balance-nya terganggu, maka terbitlah sikapquiet quitting.
Trenquiet quittingini memiliki arti dimana karyawan hanya mau bekerja sesuai jam kerja (misalnya, dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore), dan menolak mengerjakan tugas lain di luar pekerjaan inti mereka.
Perilaku ini dinilai Yu Yng sebagai momen refleksi diri, sebab yang salah bukanlah pekerjaannya.
“Karyawan yang melakukanquiet quittingseperti tidak punya gairah. Mungkin itu bukan pekerjaan yang tepat untukmu dan sudah saatnya mencari pekerjaan baru. Saya percaya, jika kalian mencintai apa yang kalian kerjakan, kalian tidak akan mengecek jam terus untuk menunggu kapan pulang,” tuturnya.
Yu Yng menyarankan bagi generasi muda yang mudah terdorong melakukan quiet quitting, gunakan waktu untuk mengenali apa tujuan kalian. Dari situ, biarkan gairah itu muncul dengan sendirinya dan gali kesempatan yang ada —dalam hal ini pekerjaan— agar gairah tersebut bisa tersalurkan dengan baik.
Baca juga: TrenQuiet Quitting: Salahkah Bekerja Sesuai Argo?
“Banyak kejadian kita tidak mendapatkan pekerjaan yang tepat dan tidak ada gairah sama sekali saat mengerjakannya. Jadi coba kenali diri sendiri lagi, tujuan kalian apa dan temukan gairah itu. Bukan berarti kalian harus bekerja 24 jam juga, tapi ketika kalian memiliki tujuan yang pasti, bekerja pasti dari hati,” kata Yu Yng.
Bersama anak usahanya, yakni JobStreet, SEEK sendiri memang memiliki kampanye “SeekBetter” yang memiliki makna bahwa setiap orang pun berhak mencari berbagai aspek yang lebih baik lagi untuk diri sendiri — hal ini bisa berupa pekerjaan, jenjang karier, dan lain sebagainya.
Dalam kesempatan yang sama secara terpisah, Chief of Marketing Officer, Asia, SEEK Jane Cruz-Walker turut menekankan bahwa anak muda harus terdorong untuk terus mencari hal yang jauh lebih baik lagi.
“Peran platform seperti JobStreet pada dasarnya bukan hanya untuk memberi akses orang dalam mencari pekerjaan baru, tapi mengupas versi jauh lebih baik dari diri kalian. Bisa berupaself-development, cara agar mendapat promosi, dan lainnya. Selama masih muda, jangan maustuckdi kondisi yang bikin tidak sehat,” ujar Jane.
Ia pun memahami, pandemi membuatnya berpikir lebih dalam lagi mengenai pentingnya kesejahteraan diri sendiri, dalam hal ini, kesehatan mental.
“Dengan kita memilih untuk introspeksi diri, proses ini akan membebaskan kita dalam mencari makna dan tujuan hidup, kontribusi kita, dan peran kita, khususnya di pekerjaan,” tutupnya.