Home
/
Digilife

Bayar Utang Pinjol, Bagaimana Hukumnya di Islam?

Bayar Utang Pinjol, Bagaimana Hukumnya di Islam?
Redaksi Kesan.id13 April 2022
Bagikan :

Pertanyaan (Radit, bukan nama sebenarnya):

Saya meminjam uang melalui pinjaman online, apakah saya harus membayar bunganya, padahal haram?

Jawaban (Kiai Muhammad Hamdi):

Ulama sepakat mengharamkan riba berdasarkan firman Allah:

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah [2]: 275).

Adapun utang dengan ketentuan orang yang berutang harus membayar melebihi kadar pokok utang (ra’s al-mal) termasuk salah satu jenis riba yang disebut dengan riba al-qardh.

Para ulama fikih mazhab Syafii seperti Syekh Musthafa Al-Khin, Syekh Musthafa Al-Bugha, dan Syekh Ali Asy-Syarbaji mendefinisikan riba al-qardh sebagai riba di mana seseorang berutang sejumlah harta kepada orang lain hingga tenggat masa (tempo) tertentu beserta tambahan yang ditentukan. Atau bila ia memberikan beberapa kali cicilan yang ditentukan seperti bunga dan laba hingga selesainya masa pengembalian harta tersebut.

Imam Ar-Ramli, ulama mazhab Syafii, berpendapat bahwa riba al-qardh termasuk ke dalam riba al-fadhl, yaitu jual beli sesuatu dengan barang yang sejenis disertai adanya kelebihan pada salah satunya. Misalnya, beras satu  kilogram dibayar menggunakan beras dua kilogram atau emas lima gram dibayar menggunakan emas enam gram.

Rasulullah menyamakan hukum untuk semua orang yang terlibat dalam transaksi riba. Beliau bersabda:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah ﷺ melaknat pemakan riba, pemberi makan riba (orang yang berutang dengan riba), juru tulisnya, dan saksi-saksinya. Dan beliau ﷺ berkata, "Mereka semua sama.” (HR. Muslim no. 1598).

Yang dimaksud dengan pemakan riba adalah orang yang memberi pinjaman riba. Dan pemberi makan riba dalam hadis di atas adalah nasabah, yakni orang yang berutang, baik kepada layanan pinjaman online, lembaga keuangan yang tidak berprinsip syariah, maupun kepada perseorangan.

Syekh Al-Mulla Ali Al-Qari, ulama fikih dan hadis mazhab Hanafi, mengungkapkan bahwa pihak yang memberikan utang dengan riba dan pihak yang berutang sama-sama berdosa karena mereka bekerja sama dalam melakukan keharaman, walaupun yang mendapatkan keuntungan hanya salah satu pihak saja. 

Ketentuan pembayaran utang dalam syariat Islam

Dalam syariat Islam, tidak boleh membayar utang dengan bunga melebihi kadar utangnya (ra’s al-mal). Maka tidak dibenarkan jika pemberi utang menagih utang dengan tambahan bunga kepada peminjam.

Misalnya, terjadi transaksi utang-piutang antara Pihak A dan Pihak B, di mana Pihak A berutang Rp5.000.000,- kepada Pihak B. Pihak B menetapkan bahwa Pihak A harus membayar Rp6.000.000,- baik secara tunai maupun angsuran.

Pihak A menyetujuinya, lalu membayar utangnya dengan cara diangsur. Ketika angsuran sudah mencapai Rp5.000.000,- (ra’s al-mal), maka Pihak B tidak boleh menuntut Pihak A agar menambah kekurangan sebesar Rp1.000.000,- sebagaimana yang mereka sepakati saat transaksi. 

Begitu pula Pihak A tidak boleh membayar kekurangan tersebut, karena itu adalah bunga yang termasuk riba. Sedangkan riba harus ditinggalkan sebagaimana perintah Allah dalam firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman (QS. Al-Baqarah [2]: 278).

Ulama tafsir, Imam Ath-Thabari, menafsirkan ayat ini bahwa orang-orang mukmin dilarang menuntut sisa pembayaran yang melebihi nilai pokok utang (ra’s al-mal).

Pinjaman online dalam hukum perdata

Penjelasan sebelumnya adalah tinjauan dari segi syariat. Namun, dalam praktiknya, layanan pinjaman online atau semacamnya yang tidak berprinsip syariat, tidak menjadikan dalil agama sebagai dasar hukum selama tidak ada regulasi dari negara yang mengaturnya.

Sehingga orang yang “terjebak” dalam pinjaman berbunga mau tidak mau harus melunasi pembayaran berikut bunganya, terlebih pinjaman melalui layanan online yang telah legal dan terdaftar di OJK (Otoritas Jasa Keuangan).

Jika tidak, maka ia akan berhadapan dengan hukum negara. Salah satunya Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan, “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.”

Berdasarkan pasal tersebut, barang yang bergerak dan tak bergerak milik peminjam/debitur akan menjadi jaminan pembayaran utang, dan bisa saja disita apabila tidak dilakukan pembayaran sesuai dengan kesepakatan awal.

Untuk menghindari hal tersebut, maka kita harus menjauhi berutang lewat pinjaman online, khususnya yang ilegal dan tidak terdaftar di OJK. Karena hukum yang dipakai di Indonesia terkait utang-piutang adalah hukum perdata negara.

Untuk umat Islam di Indonesia, pinjaman yang aman dan sah adalah pinjaman melalui lembaga keuangan yang legal menurut MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan OJK. MUI mengatur transaksi sedemikian rupa agar sesuai prinsip syariah, sedangkan OJK mengaturnya sesuai hukum negara. Misalnya, meminjam melalui bank.

Kesimpulan

Sahabat KESAN yang budiman, ulama sepakat menghukumi riba haram, termasuk riba dalam utang-piutang. Maka menurut syariat Islam, peminjam tidak perlu dan tidak boleh membayar bunga utang. 

Namun, layanan pinjaman online yang tidak berprinsip syariat tidak menjadikan dalil agama sebagai dasar hukum. Jika kita terlanjur meminjam lewat pinjaman online dan meneken kesepakatan untuk membayar utang disertai bunga, kita dituntut untuk membayarnya sesuai kesepakatan.

Maka sebaiknya kita menghindari meminjam lewat pinjaman online, dan bagi yang pernah menggunakannya agar tidak mengulanginya lagi. 

Jika kita membutuhkan pinjaman, maka kita bisa menggunakan lembaga yang sudah mengikuti ketentuan DSN-MUI (Dewan Syariah-Majelis Ulama Indonesia) dan terdaftar di OJK. Lembaga pinjaman yang sudah sesuai dengan ketentuan DSN MUI sudah menerapkan prinsip-prinsip syariat, sehingga aman dari riba.

Wallahu a’lam bish ash-shawab.

Referensi: Mushtafa Al-Khin dkk; Al-Fiqh al-Manhaji, Ar-Ramli; Nihayah al-Muhtaj, Al-Mulla Ali Al-Qari; Mirqah al-Mafatih, Ath-Thabari; Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an.

###

*Jika artikel di aplikasi KESAN dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua.Aamiin. Download atau update aplikasi KESAN di Android dan di iOS. Gratis, lengkap, dan bebas iklan.

**Punya pertanyaan terkait Islam? Silakan kirim pertanyaanmu ke [email protected]

populerRelated Article