Bongkar ‘Dapur’ Ismail Fahmi: Jagoan Analisis Medsos di Drone Emprit
Uzone.id – “Silakan masuk, maaf jadi repot-repot harus kemari,” sambut Ismail Fahmi, lengkap dengan logat Jawanya. Berbusana sederhana serba hitam, sandal rumah, senyum semerbak di wajahnya. Kediamannya ternyata merangkap kantor Drone Emprit, platform analisis yang sering wara-wiri di linimasa Twitter.
Sama sekali bukan ruko. Bersemayam di area Jagakarsa, Jakarta Selatan, rumahnya begitu megah dan cozy. Kami pun masuk ke dalam mengikuti Ismail – masih mengenakan sepatu sembari celingak-celinguk melihat banyak pajangan trofi yang menghiasi ruang depan.Dari pintu masuk, tamu bisa langsung menyorot ruangan dengan pintu bertuliskan “Drone Emprit” dan “Media Kernels”. Hari itu sepi, tidak tampak karyawannya satupun. Ternyata timnya sedang WFH.
Kemudian kami menyusuri ruang tengah. Ada sofa panjang, TV set, grand piano, lalu menyambung ke meja makan, dan dapur bersih. Pemandangan di sisi kanan membuat mata sayu-sayu kami ini langsung segar berkat kolam renang berisi pantulan air berwarna biru. Tidak ada rencana berenang sama sekali tentunya, karena jadwal hari itu sudah diatur untuk shooting podcast Uzone Talks.
“Mau minum apa? Ngopi, nggak?” tanya Ismail.
“Saya air putih aja, mas,” jawab saya dan tim produksi.
“Yakin? Nggak mau kopi aja?” ia berusaha meyakinkan.
“Iya, mas. Perut saya bisa semaput nanti. Maklum, punya asam lambung,” jawab saya sembari tertawa.
“Ha ha ha… kok bisa ya kalian melewatkan kenikmatan dunia seperti kopi begini? Saya punya cukup lengkap lho kopi lokal dari berbagai daerah,” saut pria asal Bojonegero ini, membalas tawa saya.
Setelah set interview rampung, percakapan kami pun dimulai. Sejak awal, kami sudah berniat untuk mengulik ‘rahasia dapur’ Drone Emprit – uniknya, percakapan kami pun berlangsung di area dapur rumahnya.
Ismail bercerita, ia berangkat ke Belanda untuk melanjutkan kuliah S2 dan S3 di Groningen University. Ia memulai pendidikan Master Degree di tahun 2003, kemudian lanjut PhD di 2004.
Baca juga: Drone Emprit Soal Deepfake: Kengerian AI hingga Ancaman Tipuan di 2023
“Saya lulus Master PhD di tahun 2009. Saat itu ingin balik ke Indonesia, ingin bikin perusahaan. Tapi saya cuma punya ilmu natural language processing (NLP) dan AI. Bisnis saya nggak ngerti, model nggak punya. Jadi ya sudah, saat itu bikin yang saya bisa saja, karena saya ingin ilmu saya ini terpakai, ini ilmu keren,” ujarnya santai.
Kala itu, ia membuat portal digital berbasis text analysis – belum ada namanya sama sekali.
“Kita menggunakan text analysis, misalnya dari pemberitaan, nanti setelah dianalisis, bisa langsung tahu siapa bicara apa, dua orang berpendapat apa. Di situ kita eksplorasi teks, dulu medsos belum marak seperti sekarang,” lanjutnya.
Setelah mengembangkan portal analisisnya itu, Ismail kembali ke Indonesia pada 2014. Niatnya mau seriusin bikin perusahaan. Namanya masih sebatas Media Kernels dengan klien komersial.
Sembari mengembangkan teknologi analisisnya, ia menemukan fenomena menarik kala itu. Indonesia penuh gonjang-ganjing Pilpres dan lain-lain. Analisis Media Kernels pun tak lagi bergantung pada media online saja, tapi juga menambahkan variabel data dari media sosial.
Galau “salah jurusan” yang tak mengenal bulu
Banyak di antara kita pasti pernah merasakan kebimbangan saat awal kuliah. Mendadak merasa salah jurusan karena shock dengan mata kuliah yang diajarkan tidak sesuai minat atau kebisaan kita. Hal ini ternyata menimpa seorang Ismail Fahmi juga.
Lulusan ITB jurusan teknik elektro ini mengaku lebih tertarik mengulik internet dan hal-hal berbau komputer dan programming.
“Dari jurusan awal saya di ITB, harusnya saya belajar tentang telekomunikasi. Tapi menurut saya internet dan programming itu banyak hal menarik yang bisa diolah. Ternyata ketika tiba di Belanda untuk lanjut Master dan PhD, saya malah merasa salah jurusan,” kisah penerima 'Best Person of The Year' Uzone Choice Award 2022 ini.
Alih-alih masuk ke Computer Science seperti universitas lain, jurusan Information Science yang dia ambil berada di fakultas Faculty of Arts.
“Di sana saya harus belajar sastra. Padahal di pikiran saya itu sudah langsung belajar NLP – ilmu tentang bagaimana kita mengajari komputer supaya mengerti bahasa manusia. 6 bulan di PhD saya merasa gak jelas, saya harus belajar bahasa sampai detail seperti SPOK segala,” ungkapnya.
Baca juga: Pemilu 2 Tahun Lagi, Kominfo Siapkan Ruang Digital Bebas Hoaks
Setelah sempat putus asa dan merasa ingin kembali ke Indonesia seperti anak-anak galau pada umumnya, ia kemudian menemukan fakta yang membuatnya kembali semangat dan back on track.
Ternyata, ilmu bahasa tersebut menjadi ilmu dasar yang dipakai oleh Google dan perusahaan mesin peramban lain untuk membuat search engine yang cerdas.
“Setelah tahu bahwa ilmu bahasa seperti itu menjadi dasar search engine cerdas seperti Google dan lain-lain, saya langsung semangat belajar. Jadi sebenarnya kalau ditanya kenapa saya terlihat suka dengan hal-hal berbau high tech, ya nggak datang ujug-ujug juga. Bisa dibilang malah kecelakaan ya, karena saya nggak langsung suka,” tutur Ismail sembari tertawa.
Bisa disimpulkan, bekal Ismail untuk kemudian membesarkan platform Drone Emprit adalah berasal dari teknologi AI, NLP, dan tak lupa teknologi bahasa.
Asal usul nama Drone Emprit: banyak yang keliru
Usai Ismail menyatukan sumber pemberitaan dari media online dan percakapan di media sosial sejak 2014, kondisi tren media sosial pun semakin ramai.
Ia becerita pada 2016 banyak terjadi demo di Monas Jakarta dan kondisi politik dan sosial di masyarakat semakin memanas menjelang 2017.
Kala itu, ia melihat dari dasbornya, banyak hoaks dan bermunculan kubu-kubu yang berusaha memprovokasi topik-topik tertentu sesuai keyakinan masing-masing.
“Ada kelompok A bicara tentang sesuatu, kelompok B bilang beda karena kontra, lalu pembahasan kacau ini menjadi trending. Publik lihatnya timeline saja. Pun begitu di Facebook, kalau percaya tentang A ya maunya berteman dengan teman A dan kelompok A saja,” tuturnya.
Dari situ ia semakin tergerak untuk mengungkap peta penyebaran pembahasan viral yang membuat masyarakat jadi terpecah-belah.
“Masyarakat itu tidak punya gambaran umum, cuma lihat timeline saja. Sementara di dasbor saya kelihatan semua – siapa yang memainkan isu viral tersebut, isunya apa, pertempurannya seperti apa. Dari situ, saya pikir masyarakat harus tahu bahwa ada yang sedang memanipulasi opini ataupun menyebarkan satu gagasan – tentu saja gagasan yang tidak benar karena itu berbahaya sekali,” jelas Ismail.
Kisah yang tak kalah menarik di tengah panasnya kondisi politik dan sosial masyarakat di penghujung tahun 2016 ternyata berkaitan dengan nama di balik “Drone Emprit”.
Suatu hari Ismail sedang di rumah, memperhatikan dasbor platformnya seperti biasa sambil menganalisis. Saat itu sedang ada demo di Monas dan ia sudah bersiap merilis laporan analisisnya itu, namun tiba-tiba ia bingung.
“Rilis pakai nama apa, ya? Kalau pakai nama perusahaan, bisa repot karena ada pembahasan soal politik ‘kan, tidak enak dengan klien saya,” katanya.
Kemudian ia terbesit ide nama “drone” sebagai kiasan alat yang bisa terbang seperti pesawat untuk menyebarkan sesuatu – dalam hal ini informasi berupa data – berupa wujud atau ikon burung yang terinspirasi dari Twitter sebagai media sosial yang sering menjadi acuannya dalam pengumpulan data.
“Drone berwujud burung ini bisa dibilang terinspirasi dari Twitter, tapi ya kami gambarnya kecil dan setahu saya burung kecil ini namanya emprit. Banyak yang keliru dikira saya ini jual drone atau menggunakan drone apalah itu,” katanya.
Ia melanjutkan, “jadi Drone Emprit ini seperti nama pena dari Media Kernels.”
Cara kerja para jagoan analisis di Drone Emprit
Sebagai pendiri, Ismail mengaku saat ini ada 2 perusahaan yang ia bawahi. Media Kernels menjadi wadah untuk pengembangan teknologi media monitoring, analytics, big data, dan system intelligence. Isinya ada 7 orang, semuanya engineer.
Satu lagi perusahaannya diberi nama Astra Maya, ini adalah tim yang membantu analisis Drone Emprit. Tentunya karyawannya analis semua yang terdiri dari 30 orang dan memiliki latar belakang pendidikan sosial dan politik.
Secara umum, tim analis Drone Emprit dapat mengakses dasbor mereka untuk melihat trending topic dari Twitter. Semua data dapat diambil dari hari ini, kemarin, hingga 7 hari terakhir.
“Dari situ, kita pilih mana yang mau dianalisis. Harus selektif, karena seringkali trending topic isinya terlalu random. Setelah memilih trending topic, kita masukkan keyword tertentu, lalu dipelajari. Jika keyword yang dipilih banyak yang pakai, nanti data terkumpul. Biasanya kami ambil data 7 hari terakhir dan real time ke depan,” terang Ismail.
Data yang terkumpul pun diakuinya sudah lengkap terdiri dari social network analysis, bot, sentiment analysis dan lain-lain. Semuanya tinggal dicek di dasbor, lalu pilih mana saja yang mau diambil.
Jika analis mau melihat trennya seperti apa, dasbor Drone Emprit akan menyajikan grafik fluktuatif alias naik-turun, dari situ bisa diklik untuk mengetahui sumbernya. Setelah itu, mereka membuat analisis lengkapnya untuk dipublikasikan di situs agar masyarakat bisa baca, ataupun diberikan ke klien.
“Twitter memang menjadi medsos yang paling mudah untuk mendapatkan data. Semua percakapan dapat kita kumpulkan secara gratis maksimal 7 hari ke belakang. Platform ini juga menyediakan trending topic yang sering menjadi informasi penting, dan juga merepresentasikan apa yang sedang ramai secara nasional,” lanjut Ismail.
Sejauh ini, Ismail terus menekankan bahwa Drone Emprit adalah platform analisis, bukan perusahaan big data. Ia mengatakan bahwa big data hanya salah satu teknologi yang mereka gunakan untuk mengelola semua data yang masuk.
“Data yang terkumpul itu bagai air bah yang masuk ke plaform kami, jadi harus dikelola. Yang penting dari root Drone Emprit adalah analisisnya. Kami ingin mengelola data besar dari medsos dan media online melalui teknologi analisis yang membantu kita memahami isi percakapan dan pemberitaan. Kami hanya berpihak kepada data,” tukas Ismail.
Percakapan pun ditutup dengan pesan Ismail kepada para generasi muda untuk sering-sering melihat netiquette, atau etika dalam berinternet.
“Hoaks itu ada di mana-mana. Saya nggak akan memberikan tips banyak-banyak, yang penting kalian baca seksama tentang netiquette. Niscaya kalian akan menjadi pengguna internet yang baik dan bijak,” tutupnya.