Kepala LAPAN: Motif Dwi Hartanto Berbohong karena Ingin Cepat Terkenal
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin memiliki analisis sendiri terkait motif kebohongan yang dilakukan oleh ilmuwan Indonesia yang sedang menempuh pendidikan S3 di Belanda, Dwi Hartanto.
"Tampaknya motifnya hanya motif ingin terkenal secara cepat," kata Thomas saat ditemui oleh kumparan di kantornya, Rabu (11/10/2017).Dengan motif tersebut, lanjut Thomas, Dwi kemudian membuat klaim-klaim bohong di media sosialnya yang lalu tertangkap oleh sejumlah media, dan kemudian media-media itu memuat klaim-klaimnya. Di media sosialnya, Dwi sempat mengklaim memiliki sejumlah prestasi di bidang teknologi roket dan satelit.
"Menurut saya, ini bersumber pada kesalahan Dwi yang ingin cepat terkenal dan ada kesalahan juga dari media-media yang memuat klaim-klaim Dwi tanpa mengecek ke para koleganya dam institusi-institusi terkait," papar Thomas.
Lulusan Astronomi Institut Teknologi Bandung dan Kyoto University itu menyatakan, perbuatan Dwi merupakan pembohongan publik dan termasuk pelanggaran kode etik peneliti.
Kebohongan yang dibuat Dwi ini bisa berbuntut pada reputasi dia ke depan di kalangan ilmuwan lainnya. Ia mengatakan, ketika seseorang sudah melakukan pelanggaran terkait etika peneliti, komunitas ilmiah sudah menganggapnya negatif dan hal itu akan terbawa seterusnya. Apalagi ini sudah tersebar di media.
"Sekali lancung di ujian, selamanya tidak akan dipercaya," tegas Thomas.
Sebagaimana yang telah menjadi jargon dalam dunia akademik, ilmuwan boleh salah, tapi tidak boleh berbohong.
Thomas mengatakan, kasus Dwi ini menjadi peringatan bahwa siapa pun yang melakukan pelanggaran, cepat atau lambat akan diketahui.
Psikolog dari Universitas Padjajaran (Unpad), Aulia Iskandarsyah, juga mengatakan hal yang sama seperti Thomas. "Kalau saya melihat sih sebetulnya dia (Dwi) pengen tenar," kata Aulia saat dihubungi oleh kumparan, Selasa (10/10/2017).
Aulia menyebut kebohongan Dwi mengarah pada kebohongan patologis setelah menilai diksi atau pilihan kata yang dipakai oleh Dwi dalam surat klarifikasi dan permohonan maafnya terkesan ringan. “Tidak ada sense bersalahnya atau malunya itu tidak ada,” kata Aulia.
Kebohongan patologis merupakan suatu kebohongan yang dapat melebar dan menjadi sangat rumit untuk waktu yang sangat lama bahkan bisa sepanjang hidup si pembohong.
Atas kebohongannya, Dwi membuat surat klarifikasi dan permintaan maaf. Dalam bagian akhir suratnya Dwi Hartanto menuliskan sejumlah janji:
1. Tidak akan mengulangi kesalahan/perbuatan tidak terpuji ini lagi,
2. Akan tetap berkarya dan berkiprah dalam bidang kompetensi saya yang sesungguhnya dalam sistem komputasi dengan integritas tinggi,
3. Akan menolak untuk memenuhi pemberitaan dan undangan berbicara resmi yang di luar kompetensi saya sendiri, utamanya apabila saya dianggap seorang ahli satellite technology and rocket development, dan otak di balik pesawat tempur generasi keenam.
Klarifikasi ini saya sampaikan dan tanda tangani atas kesadaran sepenuhnya dari diri saya tanpa paksaan maupun tekanan dari pihak manapun. Saya juga ucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat alumni dan mahasiswa TU Delft yang telah mengutamakan pendekatan persuasif dalam menyelesaikan permasalahan ini, dan telah berperan aktif membantu memfasilitasi saya dalam melakukan klarifikasi.
Perbuatan tidak terpuji/kekhilafan saya seperti yang tertulis di dokumen ini adalah murni perbuatan saya secara individu yang tidak menggambarkan perilaku pelajar maupun alumni Indonesia di TU Delft secara umum.
Kebohongan-kebohongan yang telah Dwi perbuat ini tidak serta merta menamatkan masa depannya. "Janganlah kita kemudian menghakimi, tetapi kita arahkan dan berikan kesempatan. Jalan karier Dwi masih panjang, mari kita tegur dan kita bant ke arah yang baik," kata Dirjen SDM Iptik Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Senin (9/10).