Ketika ChatGPT Diminta Bikin Naskah Buat Khotbah, Bagaimana Hasilnya?
Ilustrasi foto: Zac Wolff/Unsplash
Uzone.id – ChatGPT memang canggih dan bisa membuat teks apa saja yang penggunanya minta, bahkan di beberapa kasus mereka lebih baik dari manusia.
Salah satunya ketika mengerjakan tugas hingga esai, mereka juga saat ini bisa diminta untuk membuat artikel berita dan terakhir, menjawab pertanyaan medis dan hukum. Maka dari itu, ChatGPT ini disebut akan menghalau beberapa tugas dan pekerjaan.Salah satu yang ikut khawatir adalah penulis teks keagamaan seperti khotbah, pendeta khawatir akan kecerdasan dan kemampuan ChatGPT yang melesat tajam.
Dilansir dari New York Post, Rabu, (22/02), untuk saat ini, para pendeta sepakat menyebut kalau ChatGPT ini cukup kompeten, tapi tidak bisa meniru semangat khotbah yang sebenarnya.
Baca juga: Pengguna Lebih Suka Gratisan, ChatGPT Versi Bayar Gak Laku?
“ChatGPT tak memiliki jiwa, saya tak tahu bagaimana menjelaskannya,” kata Hershael York, seorang pendeta dan seorang profesor khotbah Kristen di The Southern Baptist Theological Seminary.
Menurut York, pendeta-pendeta yang malas mungkin akan menggunakan AI ini untuk tujuan mereka.
“Tapi tidak bagi gembala yang hebat, yang mencintai khotbah dan umatnya,” katanya.
Sementara itu, pendeta lain bernama Joshua Franklin baru-baru ini juga menyampaikan khotbah yang seluruhnya disusun oleh ChatGPT, dan jemaat pun menyukainya seperti biasa mereka mendengar khotbah.
Ia kemudian mengatakan kalau teks khotbah sepanjang 1000 kata ini ini disusun oleh ChatGPT.
“Dan sekarang kalian semua bertepuk tangan, saya sangat takut,” kata Franklin ketika beberapa jemaat bertepuk tangan kagum.
Ia melanjutkan kalau ChatGPT mungkin terdengar cerdas tapi tidak bisa berempati dan mengembangkan kasih sayang serta cinta. Mereka juga tak bisa membangun komunitas dan hubungan.
Baca juga: Elon Musk Buka Suara Soal ChatGPT dan AI, Ancaman Buat Peradaban
Selanjutnya, pendeta dari Living Table United Church of Christ di Minneapolis bernama Rachael Keefe juga melakukan eksperimen yang sama. Ia memposting esai singkat dalam catatan Pastorial online-nya namun terasa ada yang kurang.
Dan pada akhirnya, Keefe mengungkapkan kalau tulisan ini adalah hasil dari ChatGPT, bukan hasil dirinya.
“Disaat faktan ditulisan ini benar, ada sesuatu yang menghilang,” tulisnya.
“AI tak dapat memahami komunitas dan inklusivitas dan betapa pentingnya hal-hal ini dalam menciptakan gereja,” tulisnya.
Beberapa jemaat juga memberikan komentarnya soal ChatGPT ini dan menyebutkan hal serupa.
“Tidak buruk tapi saya setuju, agak umum dan sedikit menakutkan. Saya lebih suka apa yang Anda tulis, berasal dari makhluk yang benar-benar hidup dengan otak yang hebat dan hati yang penuh kasih,” komentarnya.
Dilihat dari berbagai testimoni dan komentar dari para tokoh agama ini, ChatGPT sepertinya tidak bisa ‘mengganti’ peran mereka dalam menyampaikan khotbah. Pasalnya, semua sepakat kalau AI yang satu ini tidak dapat secara meyakinkan untuk bersimpati dalam penderitaan manusia.