Home
/
Startup

Mengejar Profitabilitas dalam Menjaga Keberlanjutan Bisnis Startup

Mengejar Profitabilitas dalam Menjaga Keberlanjutan Bisnis Startup

Sumber foto: Shane/Unsplash

Riza A. N. Rukmana23 February 2023
Bagikan :

Kolom oleh: VP Digital Business Strategy & Governance Telkom Indonesia, Riza A. N. Rukmana.

Uzone.id — Lima tahun lalu, berita mengenai perusahaan rintisan teknologi (tech startup) yang berhasil meraih pendanaan datang silih berganti. Funding yang mereka dapatkan pun terbilang besar, mulai jutaan, ratusan juta, hingga miliaran dolar Amerika Serikat. 

Pendanaan itu berasal dari modal ventura atau venture capital (VC) asal Indonesia, Asia, Amerika, dan benua lainnya. Para VC itu masuk melalui pendanaan seri A, B, C, D, dan seterusnya.

Namun, kondisi itu seakan berbalik arah. Media nasional dan internasional kini berlomba-lomba mengabarkan berita pahit seputar tech startup, mulai dari pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga berakhirnya napas mereka alias tutup.

Dari global misalnya, sejumlah pemain digital tidak bisa terhindar dari fenomena penurunan kinerja.

Pada November 2022, New York Times mengabarkan bahwa Meta (induk usaha dari Facebook, WhatsApp, Instagram) mem-PHK 13 persen karyawan atau setara 13.000 orang. Perusahan yang didirikan oleh Mark Zuckerberg itu juga akan menghentikan rekrutmen setidaknya hingga kuartal pertama 2023.

Begitu pula perusahaan digital lainnya, seperti Alphabet (induk Google) yang mem-PHK 12.000 karyawannya, Spotify yang menghentikan 6 persen karyawannya atau setara 600 orang, Amazon yang memecat 16.000 karyawan, hingga Alibaba yang sudah melakukan layoff 10.000 orang pada pertengahan 2022.

Baca juga: 4 Kesalahan yang ‘Harus’ Dialami Founder Startup

Bahkan perusahan yang sebelumnya terbilang kuat, seperti Microsoft atau IBM pun tidak bisa terhindar dari PHK (10.000 dan 3.900 orang).  

Dari dalam negeri, berita soal PHK juga tidak berhenti berdatangan.

Tempo.co menyebutkan sejumlah nama, seperti GoTo yang mem-PHK 1.300 karyawannya, Sayurbox dan TokoCrypto (masing-masing 5 dan 20 persen), dan masih banyak lagi. Alasan yang kerap digunakan oleh para pemain tech startup adalah datangnya winter seasons.

Efisiensi memang harus dilakukan di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian. Walau menjadi sebuah keputusan pahit, mempertahankan sebuah bisnis—disertai dengan segala cara—harus menjadi pilihan walau itu menyakitkan. Ketimbang, kapal itu harus karam. Dan, sejumlah perusahaan digital harus terpaksa gulung tikar apabila telat melakukan “penyelamatan”. 

Sebut saja JD.ID atau Zomato yang akhirnya menyerah dan harus menghentikan layanannya. Hebatnya, keputusan melakukan PHK oleh sejumlah perusahaan digital justru direspons positif oleh para investor—bagi mereka yang sudah IPO. Harga sahamnya naik pada saat keputusan itu diterbitkan. GoTo dapat menjadi salah satu contoh.

Lantas, apa penyebab dari semua itu?

Preview

Jawabannya beragam. Mulai dari perlambatan ekonomi dunia—yang berujung pada turunnya permintaan layanan dan kinerja; inefisiensi dari biaya operasional—banyak perusahaan rintisan yang berebut talenta serta berani membayar dengan gaji yang luar biasa, tidak ragu memberikan jabatan yang mentereng, bahkan melebihi kemampuan yang dimiliki talenta itu sendiri.

Tidak heran jika bekerja di tech startup adalah impian banyak anak muda di Indonesia dan dunia. Alasannya karena mereka dapat memperoleh berbagai benefit luar biasa, yang bahkan mengalahkan fasilitas dari perusahaan yang sudah berusia puluhan tahun.

Fenomena lain yang juga memperburuk situasi adalah berakhirnya era bunga murah yang membuat likuiditas dana investasi menjadi berkurang.

Seperti yang kita ketahui bahwa suku bunga di Amerika Serikat selama ini sangat rendah—di kisaran 0-0,5 persen pada tahun 2020-awal 2022.

Hal itu mengakibatkan banyak dana dari investor yang beralih ke instrumen yang lebih menjanjikan imbal hasil menarik, mulai dari saham, obligasi di negara emerging market, kripto, hingga berinvestasi pada startup—-dengan harapan bisa exit ketika mereka IPO.

Baca juga: Dunia Tipu-tipu Startup: Sebelum Frank, Theranos Guncangkan Silicon Valley

Namun, tingginya angka inflasi memaksa Bank Sentral Amerika Serikat harus menaikkan suku bunga acuan menjadi 4,4-4,75 per Februari 2023. Investor pun harus membayar imbal hasil yang terbilang mahal ketika ingin meminjam.

Suku bunga AS yang tinggi itu pun terbilang menarik bagi para investor mengingat AS merupakan negara terbesar dan terkuat di dunia.

Dana yang semula lalu lalang mencari instrumen investasi terbaik pun kembali ke AS. Tak heran jika tingginya suku bunga AS membuat uang yang beredar di pasar menjadi berkurang, termasuk dana yang digunakan oleh para investor—venture capital—untuk mendanai startup.

Data CB Insight pada 2022 menunjukkan adanya penurunan investasi dari para VC. Jika pada kuartal empat nilai yang mereka investasikan pada tech startup mencapai USD178,2 miliar; angka itu menurun pada kuartal selanjutnya: kuartal 1-2022: USD142,1 miliar; kuartal 2-2022: USD112,6 miliar; kuartal 3-2022: USD74,5 miliar.

Seiring sulitnya mencari pendanaan, perusahaan rintisan pun dihadapkan pada pilihan sulit. Jika sebelumnya mereka mengejar valuasi dengan tidak segan “membakar uang”, dana subsidi itu saat ini sulit mereka dapatkan.

Para pemain dituntut untuk mengejar valuasi dan sekaligus sustainability. Jangan sampai transaksi yang terjadi justru merugikan dan tidak memberikan dampak terhadap kinerja mereka.

Jangan heran jika transaksi di platform digital saat ini tidak begitu menggiurkan seperti dua atau tiga tahun lalu.

Jika dulu bank digital ramai-ramai menawarkan biaya transfer lintas bank secara gratis, kini tidak lagi. E-commerce yang dulu berebut menawarkan ongkos kirim gratis, kini mulai berkurang jumlahnya.

Transaksi ketika kita berbelanja di loka pasar yang awalnya gratis, kini mereka tidak ragu mengenakan biaya tambahan, tak lupa diskon pada layanan jasa antar makanan juga mulai berkurang perlahan.

Pastinya akan banyak perubahan yang terjadi di masa mendatang.

Baca juga: Dari Unicorn Jadi Dragon: Kapan Startup Dikejar Profitabilitas?

Para perusahaan digital ini harus mengejar keuntungan atau laba—bukan hanya top-line tapi juga bottom-line yang sebenarnya menjadi fitrah dalam sebuah bisnis. Tujuannya agar perusahaan dapat bertahan secara berkesinambungan.

Dan sebuah hal yang menggembirakan, segala biaya transaksi itu direspons positif—setidaknya oleh saya, dan semoga termasuk Anda.

Walau terkena biaya tambahan dalam sebuah transaksi di kanal e-commerce misalnya, kita masih dapat mentolerirnya. Pasalnya, di balik biaya itu, kita masih mendapatkan beberapa nilai lebih (value) ketika ingin mencari sebuah barang, seperti perbandingan mana yang termurah, tidak perlu berpindah dari toko yang satu dan lainnya, efisiensi waktu, dapat membeli dari mana saja, dan manfaat lainnya. 

Biaya transaksi itu pun berpeluang membesar di kemudian hari. Pasalnya, dunia digital dan pemain yang ada di dalamnya sedang mencari ekuilibrium baru—titik keseimbangan baru.

Membalikkan kinerja mereka dari rugi menjadi untung. Dan, kita sebagai konsumen pastinya tidak dapat terhindar—dan dengan terpaksa—harus mengikuti keputusan mereka. Selama, mereka dapat memberikan nilai lebih bagi kita.

Jadi, jangan kaget ketika layanan di dunia digital yang awalnya ditawarkan secara cuma-cuma atau gratis; kini tidak lagi. 

Para pemain itu harus berusaha keras mengalihkan mindset dari yang semula mengejar pertumbuhan atau valuasi menjadi kinerja yang berujung pada sebuah keberlanjutan. Ketimbang, mereka harus gulung tikar atau mati.

Selamat datang di ekuilibrium baru dunia digital.

populerRelated Article