Metaverse, Ancaman AI dan Racikan Empati di Customer Experience Digital
Uzone.id – Sejak Facebook mengumumkan nama baru perusahaannya menjadi Meta, mata dunia langsung tertuju pada ‘alam’ lain bernama Metaverse. Dunia serba virtual yang diramalkan akan memberi pengaruh besar pada banyak sektor, seperti ekonomi dan bisnis yang tak lepas dari peran customer experience.
Sebelum interaksi dan aktivitas benar-benar migrasi ke Metaverse nantinya, konsep customer experience pun sudah bertransformasi yang tadinya kebanyakan secara offline, berorientasi pada produk, dan menganut paham “yang penting jualan dan laku”, menjadi serba digital.Customer experience secara digital ini pun bisa dibilang susah-susah gampang. Bukan sekadar memindahkan cara berjualan layanan atau produk ke platform digital seperti media sosial dan e-commerce, namun nyatanya ada racikan tersendiri yang membuat customer experience zaman sekarang lebih bermakna dan ‘kena’ di target konsumen.
“Bagi pelaku usaha, menghadapi era digital itu bukan berarti semua teknologi akan menjawab semua persoalan. Perlu dicatat, upaya yang berhasil adalah solusi digital yang memenuhi kebutuhan customer,” tutur Direktur Bisnis Digital Telkom Indonesia, Fajrin Rasyid dalam paparannya di acara CX Summit 2021, Kamis (9/12).
Menurutnya, masih banyak kebutuhan pelanggan yang belum disolusikan dan hal ini menjadi peluang bagi setiap pelaku usaha. Setidaknya, menurut Fajrin, setiap pelaku usaha dapat meningkatkan layanan digital untuk menggaet kebutuhan-kebutuhan tersebut melalui transformasi digital.
Baca juga: Siapa Bilang Perusahaan 'Tua' Bakal Mati Ditelan Kemajuan Teknologi?
“Empati jadi unsur penting dalam mengembangkan customer experience, apalagi di ruang digital. Kalau tidak empati, yang ada pelanggan hanya mendapatkan layanan atau respons pasif dan nonreaktif. Tidak sampai ke hati. Digital empathy paling umum adalah write a customer journey story. Ini yang akan mendekatkan pelaku usaha sebagai brand di hati konsumen,” jelas Fajrin.
Kisah customer journey yang dimaksud Fajrin bisa berupa cerita sekitar dua paragraf mengenai apa yang mendorong empati digital ke dalam produk atau layanan yang ingin disuguhkan pelaku usaha kepada konsumen.
Tak hanya itu, Fajrin bahkan menyarankan mengikuti jejak Google dan Facebook untuk membuat pop-up empathy lab demi membangun emotional bond dengan pelanggan.
“Mereka terbiasa membuat mekanisme temporer untuk menguji coba produk bikinan mereka dengan empati digital. Jadi secara tidak langsung, dan langsung juga, calon konsumen dapat menjajal terlebih dahulu, atau sebelum benar-benar dijual, mereka bisa melihat semacam pratinjau dan memberikan feedback. Dari sini kita bisa berempati terhadap apa yang mereka pikirkan dan butuhkan,” tukasnya.
Kehadiran Metaverse dan ‘Ancaman’ AI
Apa yang diutarakan Fajrin pada dasarnya seputar tantangan dalam memberikan customer experience terbaik di ranah digital yang selama ini dekat dengan keseharian kita. Namun, tidak dapat dihindari juga, perkembangan AI juga telah menghampiri realita. Pun begitu dengan Metaverse yang sedang menjadi buah bibir.
Menarik rasanya membayangkan customer experience yang sebenarnya sudah bertransformasi di ranah digital kemudian dibawa lagi ke ‘alam’ Metaverse yang segala-galanya berkonsep virtual.
Regional Design Director Accenture, Jussi Edlund memiliki pandangan tersendiri dalam meneropong customer experience di dunia Metaverse di masa depan.
Sebagai seorang desainer, Jussi mengaku ikut penasaran seperti masyarakat umumnya.
“Saya sejujurnya penasaran sekali dengan Metaverse ini. Mau bagaimana pun, dunia ini seperti ingin melebur lingkungan fisik yang kita sudah familiar seperti biasanya lalu disulap ke dunia virtual,” tutur Jussi, dalam acara yang sama.
Ia menyambung, “prinsipnya mungkin satu ya, yaitu rancangan interaksi. Dari sisi desain atau rancangan, menurut saya bisa saja customer experience yang disajikan masih meniru konsep real world [dunia nyata].”
Baca juga: CX Summit 2021, Cara Telkom Bantu Pelanggan Bangkit di Era New Normal
Jussi kemudian memberi contoh inovasi yang dilakukan Apple. Perusahaan yang didirikan Steve Jobs itu memperkenalkan inovasi layar sentuh pada perangkatnya tanpa membuat pelanggan atau konsumen merasa kebingungan.
“Layar sentuh, tapi rancangannya seakan-akan tetap ada tombol yang biasanya jadi hal yang ditekan pengguna. Tapi sebenarnya tombol itu bentuknya digital. Inovasi desain seperti ini menurut saya yang layak dinantikan, karena menarik dan mungkin akan mentransisi pengalaman fisik, digital, dan virtual,” imbuh Jussi.
Terlepas Jussi yang membagikan rasa antusiasnya terhadap Metaverse, di sisi lain peran empati nyatanya tetap sejalan dengan teknologi mumpuni seperti AI. Sedikit berbeda dari Metaverse, AI selalu erat kaitannya dengan anggapan bahwa ia akan mengancam pekerja manusia.
Menurut Lucky Gani selaku Chief of Operations & Director of Marketing Microsoft Indonesia, pada dasarnya customer experience akan selalu selaras dengan perkembangan manusia dan teknologi.
Sebagai kecerdasan buatan, teknologi AI memang mempermudah manusia berkat otomasi dalam menciptakan analytics secara real-time hingga menghadirkan insight kompleks dalam waktu cepat.
“Mesin pintar seperti AI bisa membantu kita, tapi manusia memiliki empati, daya kreativitas, dan interkonektivitas dengan sesama manusia. Artinya, empati terhadap customer hingga program dan keselarasan masih terus dibutuhkan, sehingga menurut saya, manusia tidak akan tergantikan oleh tools dan mesin,” ungkap Lucky.
Hingga sekarang, Lucky masih meyakini kalau teknologi otomasi dan AI bisa membantu manusia dalam mengambil keputusan lebih akurat dan tepat. Kelebihan mesin-mesin pintar ini, diakuinya, dapat mendefinisikan blind spot dan hal kompleks lain.
“Tapi komunikasi, greeting, kehangatan terhadap pelanggan itu masih menjadi tugas dan peran manusia,” tutupnya.