Nafsu Paling Berbahaya Adalah Belanja Online
Uzone.id -- Hari gini, kalau ada orang belum pernah belanja online justru aneh sekali. Gaya hidup satu ini jelas mempermudah aktivitas harian kita, tapi sekaligus bumerang jika kalap.
Nyaris semua barang dan produk yang kita butuhkan —dan juga iAdam-idamkan— dengan gampangnya bisa kita dapatkan hanya dengan jari yang mengarahkan segalanya dari layar ponsel. Entah sehabis gajian, pakai dana yang disisihkan, sampai fitur paylater.Bagi generasi muda di luar sana, apakah sudah betul-betul paham bedanya belanja sesuai kebutuhan dan kemampuan, dengan belanja impulsif?
Fitur paylater hingga kartu kredit sering jadi momok sebagai sumber boros duniawi, tapi apa jangan-jangan nafsu atau hasrat kita yang lebih berbahaya demi memuaskan lifestyle?
Baca juga: Menakar Potensi Metaverse di Indonesia
Dari sisi industri, memang situs belanja online menggunakan berbagai teknologi baru agar kita semakin tertarik untuk berbelanja. Sebagai contoh, machine learning digunakan dalam menampilkan rekomendasi barang yang paling cocok bagi setiap pengguna.
Selain itu, situs belanja online juga membangun berbagai fitur dan sarana agar pembayaran semakin mudah dan instan, baik melalui paylater, e-money, dan kerjasama dengan berbagai lembaga keuangan.
Belum lagi ketika kita berbicara tentang live shopping, social commerce, dan berbagai sarana yang semakin memanjakan kita untuk berbelanja online.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam belanja online di antaranya sebagai berikut.
Yang pertama, kebutuhan vs. keinginan. Apakah barang yang ingin dibeli itu benar-benar butuh atau lebih karena keinginan saja yang baru terpikir setelah muncul di halaman rekomendasi?
Salah satu pola berpikir yang dapat digunakan adalah, tunda beberapa hari. Jika ternyata setelah beberapa hari, kita dapat hidup tanpa barang tersebut, maka besar kemungkinan itu keinginan belaka. Namun, apabila kita repot atau mengalami kesulitan, mungkin barang tersebut memang kita butuhkan.
Baca juga: 5 Risiko Punya Aset Kripto, Apa Saja?
Kedua, sesuaikan dengan kemampuan. Salah satu bentuk pengelolaan keuangan pribadi yang baik untuk diterapkan adalah sistem budget di tiap pos sehingga kita mengetahui berapa maksimal pembelanjaan yang dapat dilakukan di setiap bulannya.
Sebagai contoh, apabila kita ingin membeli smartphone terbaru seharga Rp12 juta dan dicicil selama 12 bulan, apakah kita mampu atau tidak? Jawabannya tentu tergantung dari berapa penghasilan dan kebutuhan kita setiap bulan. Salah satu rule yang biasa digunakan adalah, maksimal seluruh cicilan (termasuk cicilan rumah, mobil, dan sebagainya) adalah 30-40 persen dari penghasilan kita.
Terakhir, teknologi adalah alat, bukan sebaliknya, alias kita yang menjadi objek. Ya, sama seperti teknologi lainnya, belanja online semestinya memudahkan kita untuk berbelanja. Jangan sampai justru kita yang lepas kendali sehingga berbelanja melebihi kemampuan kita.
Jangan lupa, kita hidup tidak hanya untuk masa sekarang saja, tetapi juga untuk masa depan.