Pandemi dan Metaverse: Indonesia Butuh Perubahan Internet Berkualitas
Foto ilustrasi: stem.T4L/Unsplash
Kolom oleh: Heru Sutadi, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute
Uzone.id – Pandemi membuat perubahan mendasar tentang bagaimana kita menjalani kehidupan sehari-hari. Kita dipaksa bertransformasi ke layanan digital.Semua hal yang tadinya bersifat offline, harus ke kantor, belajar di sekolah dan kampus, mobilitas tinggi termasuk berjualan dan membeli produk, berubah menjadi bekerja dari rumah, school from home, maupun berbelanja dan berjualan secara online.
Meski pandemi Covid-19 sempat mereda setelah varian Delta, varian Omicron memaksa kita untuk kembali memanfaatkan layanan digital dalam menjalani beragaman kegiatan.
Sehingga, dengan kondisi pandemi yang tidak dapat diketahui secara persis kapan akan berakhir dan ada atau tidaknya varian baru setelah Omicron ini, layanan digital masih dan akan terus diperlukan.
Bahkan bukan hanya sekadar sebagai dampak pandemi, namun tren perkembangan kebutuhan dan pemanfaatan digital yang sudah jadi kebutuhan sehari-hari seperti e-commerce, video conference, video on-demand, video streaming, teledoctor dan lainnya, akan terus meningkat.
Belum lagi kini kita sudah dihadapkan dengan era metaverse, yang membuat semua hal menjadi virtual dengan memanfaatkan virtual reality (VR) dan augmented reality (AR).
Baca juga: Indonesia Masuk ke Metaverse, Seberapa Siap?
Menurut saya, jika berbicara soal layanan digital, semua tak ada artinya tanpa dukungan infrastruktur digital yaitu jaringan dan layanan internet yang memungkinkan semua aktivitas digital kita dapat dijalankan.
Di masa post-pandemi ini, internet menunjukkan jati dirinya sebagai pendorong transformasi digital dan lokomotif pertumbuhan ekonomi digital. Dan seiring dengan kebutuhan masyarakat yang kian meluas dan trend pemanfaatan internet yang ke arah metaverse, tentu kebutuhan akan internet yang dikatakan berkualitas, juga mengalami perkembangan dan perubahan.
Secara umum, kecepatan unduh (download) dan unggah (upload) yang ditawarkan penyedia layanan internet menjadi parameter yang akan jadi perhatian di awal ketika kita memilih penyedia layanan internet.
Apalagi akses berbagai layanan video, termasuk menggunakan aplikasi meeting, kecepatan upload dan download yang tidak memadai membuat film yang tonton maupun meeting yang kita ikuti menjadi tidak nyaman. Persoalan sering kali muncul karena ternyata apa yang ditawarkan provider internet tidak sama dengan pengalaman yang pengguna rasakan.
Perbedaan kecepatan penawaran untuk download internet yang ditawarkan provider dengan kenyataan yang didapat pengguna, saat ini menjadi salah satu faktor baru menentukan kualitas layanan internet yang ditawarkan penyedia.
Ini diistilahkan dengan throughput performance.
Lewat parameter ini dapat diketahui penyedia internet mana yang menawarkan layanan sesuai fakta dan mana yang sekadar alat berjualan saja atau gimmick ke pelanggan saja.
Laporan dari riset yang dilakukan Enciety Business Consult terkait Quality of Service (QoS) memaparkan kalau provider fixed broadband melalui Direct Observation di 8 kota di Indonesia yang ada di Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Balikpapan, dan Makassar menarik untuk dicermati.
Riset ini melakukan perbandingan realisasi performa download speed yang dirasakan pelanggan dengan kecepatan download yang dijanjikan provider (throughput performance).
Tercatat direct observation ini dilakukan pada sembilan provider, yaitu IndiHome, Biznet, CBN, First Media, Iconnet, MNC Play, MyRepublic, Oxygen, dan XL Home.
Hasilnya, ditemukan lima provider dengan rata-rata throughput performance paling baik, yaitu IndiHome (102 persen), diikuti MyRepublic (96 persen), CBN (84 persen), Oxygen (82 persen), dan Firstmedia (80 persen). Sementara Biznet rata-rata throughput performance 33 persen.
Khusus di Jakarta, berdasarkan direct observation yang dirilis Enciety awal Februari 2022 lalu, melihat dari segi kecepatan download paket 85 Mbps Biznet, pelanggan mendapatkan rata-rata kecepatan download sebesar 30,2 Mbps dengan throughput 36 persen.
Diikuti paket 50 Mbps MyRepublic pelanggan mendapatkan rata-rata kecepatan download 44,2 Mbps dengan throughput 88 persen.
Sedangkan untuk IndiHome, dominan pelanggan masih berlangganan paket 20 Mbps ke bawah, pelanggan mendapatkan rata-rata kecepatan download 20,6 Mbps dengan throughput 103 persen.
Di sisi lain, parameter lain yang perlu jadi perhatian demi mendukung tantangan kebutuhan dan tren maraknya layanan data berbasis video streaming, game, eSports, dan video conference, serta pemanfaatan internet ke arah metaverse, adalah latency.
Baca juga: Apa Sih yang Kita Khawatir Kalau Orang Tua Internetan?
Latency sendiri adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengirimkan suatu data sampai ke tujuan, yang diukur dalam satuan milisecond (ms).
Angka latency yang bagus tentunya mendekati angka nol, dimana berarti layanannya lebih baik.
Terkait latency ini, berdasarkan hasil pengamatan Enciety, tiga provider menempati peringkat latency yang sangat baik (2.0 ms) yakni IndiHome, MNC Play, dan MyRepublic.
Sementara itu, posisi berikutnya ditempati Biznet (3.0 ms), Oxygen (3.0 ms), Iconnet (4.0 ms), XL Home (4.0 ms), First Media (13.0 ms), dan CBN (15.0 ms).
Dari pengamatan saya, hasil yang dilaporkan Enciety tentu ke depan akan bersifat dinamis. Perubahan posisi dan angka pencapaian bisa saja terjadi, namun dengan kebutuhan pengguna dan tren layanan, jelas terlihat bahwa ada tantangan baru dan parameter baru terkait layanan internet berkualitas.
Pengguna akan memilih penyedia dengan layanan berkualitas berdasar parameter upload, download serta latency, sementara itu provider tentu ditantang untuk menyediakan layanan berkualitas tersebut secara maksimal.
Dan melalui throughput performance, ini juga seharusnya jadi perhatian provider internet untuk menawarkan layanannya secara jujur, bukan hanya gimmick atau memberikan janji surga.
Dengan posisi masyarakat sebagai pengguna yang saat ini sudah berdaya dan cerdas, pasti akan memberikan ‘hukuman’ bagi provider yang dirasakan tidak jujur akan layanannya.