Sponsored
Home
/
Technology

Perjalanan Path yang Dulunya Dicintai, Kini Siap ‘Mati’

Perjalanan Path yang Dulunya Dicintai, Kini Siap ‘Mati’
Preview
Hani Nur Fajrina18 September 2018
Bagikan :

Uzone.id — Usia Path tinggal menghitung hari. Media sosial berwarna merah ini siap dihentikan layanannya.

Berbicara tentang Path sungguh menarik. Pasalnya, media sosial satu ini dulunya begitu dicintai oleh anak-anak muda, khususnya di Indonesia. Sederhana, dulu sempat ada masa di mana bermain Facebook terasa membosankan karena mulai ramai diisi oleh orang-orang lebih tua.

Path didirikan di San Francisco, Amerika Serikat pada 2010. Salah satu pendirinya, Dave Morin menjabat sebagai CEO. Uniknya, Path besar di luar Amerika.

Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah pengguna Path terbanyak di dunia. Mengutip berbagai sumber, di akhir 2014 saja ada 4 juta user Path di Indonesia.

Dulu dicintai karena lebih intim

Morin pernah berkunjung ke Indonesia dua kali. Ketika dia menyambangi Tanah Air pada Desember 2014, kebetulan gue berkesempatan bertemu dengannya.

Gue masih ingat, kala itu Morin cerita, mengembangkan produk bernama Path nggak semulus yang dibayangkan. Setahun berdiri, pengguna Path baru mencapai 10 ribu user.

Lagipula, saat itu Path baru bisa menampung 50 teman dan hanya mempublikasikan foto saja.

Pengagum Steve Jobs itu namun yakin, Path tetap harus fokus berbasis pada perangkat mobile. Seiring berjalannya waktu, akhirnya Path memperluas jaringan pertemanan menjadi 150 orang dan bisa menjadi tempat untuk mengunggah video, status, aktivitas lain seperti nonton, musik, dan stiker.

Baca juga: Tanggal Kematian Path


“Dulu Path itu seru karena gampang diakses, tinggal download aplikasinya pakai smartphone. Lalu, nggak keramaian, isinya orang-orang terdekat aja. Jadi lebih intim dan eksklusif,” kata Dita yang dulunya pengguna aktif Path.

Kemunculan dan eksistensi Path di Indonesia bisa dibilang tepat waktu, karena saat itu anak-anak muda sedang gencarnya beralih dari ponsel fitur atau BlackBerry menuju ponsel pintar yang lebih mumpuni, sebut saya ponsel-ponsel Android dan iPhone.

“Jelas lah, dulu Path lebih seru ketimbang Facebook yang isinya mulai random. Path dulu seperti diary hidup gue ha-ha-ha,” kata (mantan) pengguna Path lainnya, Febrina.

Gimana nggak mirip diary. Bangun tidur, yang dicek Path. Dengerin lagu baru 5 detik, yang dibuka Path untuk update “Listening To”.

Baru masuk bioskop, langsung ribet buka Path untuk pamer lagi nonton apa. Belum lagi kalau mau jalan-jalan, pasti nggak lupa aktifin Neighborhood supaya nanti kelihatan kalau sudah sampai tempat tujuan akan ada tulisan “Arrived at Abu Dhabi”.

Keren bingit!

Bosan dengan sendirinya

Gue pun dulunya pengguna aktif Path. Tapi, lambat laun media sosial satu ini seperti kehilangan daya magisnya sebagai wadah digital yang menampung riwayat kegiatan sehari-hari.

via GIPHY


Awalnya, gue pikir memang kebiasaan netizen Indonesia yang terlalu sering berpindah-pindah ‘haluan’ dalam menggunakan media soaial. Nggak tahunya, Path lama-lama terasa stagnan. Nggak ada experience baru.

Kenapa bisa bilang begitu? Tentu saja karena kehadiran media sosial lain dengan cara kerja yang berbeda — dan kebetulan dianggap lebih seru.

Apalagi kalau bukan Snapchat dan Instagram.

Sebetulnya, popularitas Path dan Instagram itu hampir berbarengan masanya. Sekitar tahun 2012-2013 adalah masa-masa dua media sosial ini sedang hyped di Indonesia. Semua anak-anak muda pasti punya dua aplikasi ini di dalam smartphone.

Dari yang gue alami dan amati, keduanya sempat berjalan secara beriringan dan terasa seimbang pemakaiannya pada 2014-2015. All was fine.

Kalau mau posting foto-foto hangout biasa, milenial terbiasa pakai Path. Tapi kalau mau pamer foto dengan tingkat estetika yang lebih apik, maka Instagram lah yang dibuka.

Baca: 5 Hal yang Dikangenin dari Path


Di luar itu, Snapchat tiba-tiba ‘merasuki’ anak-anak muda dengan model layanan yang unik — unggah video sesuka hati dan akan hilang dalam hitunga 24 jam. Ternyata, hal ini diminati. Nggak cuma netizen Indonesia, tapi juga oleh selebriti Hollywood dan media asing untuk perluasan konten.

Lalu secara mengejutkan pada pertengahan 2016, Instagram menjiplak layanan Snapchat. Fitur video 24 jam itu dinamakan Stories. Netizen berbondong-bondong mencoba dan lambat laun pun hijrah ke satu aplikasi saja, yakni Instagram sendiri.

via GIPHY



Path, yang isinya sebatas unggah foto, video, check-in tempat, update lagu pun lama-lama terasa membosankan. Layaknya tutup mata dengan perkembangan tren medsos, Path dianggap basi.

Telat untuk merayu kembali para pengguna

Mungkin tim Path merasakan peribahasa “Habis manis sepah dibuang”, ya. Sadar kalau layanannya mulai ditinggalkan, mereka buru-buru membuat fitur serupa Instagram Story dan Snapchat.

Apa hasilnya? Tentu tetap sepi.

Para pengguna sudah terlanjur nempel dengan Instagram (dan Snapchat). Sulit untuk mengubah persepsi kalau Path juga bisa menjadi platform berisi video-video instan seperti Story.

Belum lagi kebiasaan netizen Indonesia yang gemar ikut-ikutan.

“Iya benar, salah satu alasan meninggalkan Path karena teman yang lain sudah cabut lebih dulu dan aktifnya lebih sering di Instagram. Males kalau main medsos sepi,” kata seorang teman bernama Rhesa.

via GIPHY



Jadi, selain dianggap kurang inovatif, kehadiran audiens juga penting. Sayangnya, hal ini menimpa Path yang harus kehilangan minat para penggunanya.

Path akhirnya mengumumkan siap mematikan layanannya pada 18 Oktober 2018.

Paling nggak, masih ada waktu 30 hari lagi bagi pengguna-pengguna lama untuk berkunjung ke Path. Sekadar menengok kenangan lama, lalu berterima kasih sejenak karena mau bagaimana pun, Path telah menjadi bagian dari diary digital netizen yang merekam banyak hal selama satu windu ke belakang.

Adios, Path!

populerRelated Article