Sihir ‘Harry Potter’ di Tengah Cancel Culture Sang Kreator
Tulisan ini sepenuhnya opini penulis.
Uzone.id – Gara-gara J.K. Rowling, saya merasa hidup ini hampir pasti hambar tanpa sentuhan magic. Magic, atau sihir di sini tentu saja konteksnya sebagai imajinasi dan kekuatan tersendiri yang menyalakan semangat hidup di masa yang akan mendatang tanpa melupakan sisi ‘anak-anak’ di dalam diri saya. Wow, mendadak ‘dalem’.Yup, Joanne Kathleen Rowling, yang dikenal dengan nama J.K. Rowling demi kepentingan marketing, bisa dibilang bertanggung jawab cukup banyak dalam memantik imajinasi saya sejak kecil. Berkat buku ‘Harry Potter’ yang kemudian disulap ke format sinematik di layar perak, saya merasa sebuah imajinasi yang selama ini saya bikin sendiri di dalam kepala saat membaca novelnya memiliki alternatif visualisasi melalui film.
Bagaimana bisa sebuah peron batu bata di dalam stasiun kereta api tua King’s Cross di London menjadi portal magis yang menuntun para bocah menuju dunia sihir dan mengemban pendidikan di Hogwarts?
Apalagi di awal tahun 2000an, saya begitu terkesima melihat visualisasi gambar di dalam koran yang bisa bergerak, lukisan klasik yang bisa berinteraksi dengan manusia, hingga jam lonceng yang bisa memberitahu lokasi tiap anggota keluarga secara real-time milik The Weasleys? Meski ini ‘hanya’ berasal dari novel fantasi Rowling, banyak konsep dari detail canggih nan fiktif ini kejadian di kehidupan nyata.
Gambar bisa bergerak seperti di koran, poster, dan buku? Hari gini kita bisa melihatnya melalui format GIF. Lukisan atau pamflet dua dimensi bisa berbicara atau berinteraksi dengan kita? Konsep hologram sudah sering kita jumpai di mana-mana. Lokasi kita bisa diketahui sekeluarga? Hellooo… GPS dan share-loc udah jadi lifestyle sehari-hari.
Terlepas dari sok-sok-ngaitin-sihir-Harry-Potter-dengan-kehidupan-nyata, semesta ‘Harry Potter’ memang fenomenal. Saya termasuk penggemar kelas kakap yang tumbuh bersama kisah ini.
Saya memang baru mengenal bukunya ketika filmnya heboh sedunia di tahun 2001. Saya baru masuk SD kala itu – sama halnya dengan tiga karakter sentris di dalamnya, Harry Potter, Ron Weasley, dan Hermione Granger masuk Hogwarts untuk angkatan pertama.
Paham ‘kan, kenapa saya bilang saya tumbuh bersama mereka?
Selain penantian karya filmnya yang tak melulu dirilis setiap tahun, menunggu novel barunya pun selalu menjadi momen ‘gila’ tersendiri. Kita semua tahu kalau Rowling hanya akan menulis sampai buku ke-tujuh, jadi tak heran jika momen menunggu novelnya rilis, orang-orang sampai harus menunggu di depan toko buku semalaman (paling heboh sih di luar negeri) sampai menunggu kabar via waiting list.
Saya termasuk ke dalam orang-orang yang heboh menunggu bukunya. Kalau nggak percaya, tanya aja ayah dan ibu saya. Dulu pernah ada momen saya mengajak orang tua ke beberapa toko buku di Jakarta untuk mendaftarkan diri sebagai pembeli tercepat supaya mendapatkan merchandise keren seperti sapu terbang, tongkat sihir, hingga mug.
Suatu waktu, saya kalah cepat dan gagal mendapatkan sapu terbang. Namanya juga bocah, saya tetap meminta ayah saya untuk mendaftarkan saya dan membayar uang DP pemesanan buku. Serius, karya Rowling satu ini bikin anak-anak mengenal istilah down payment (DP) sedini itu gara-gara nggak mau kehabisan novel di hari-hari awal peluncuran.
Zaman dulu (ceileh, berasa lagi di zaman Jurassic) belum ada smartphone seperti sekarang, jadi apa-apa harus manual. Daftar dan bayar DP pun langsung di toko bukunya. Setelah itu, pihak mereka akan menghubungi kita via SMS mengenai tanggal pengambilan buku dan pelunasan pembayaran.
Jujur, ini kalau saya menulis di blog sendiri mungkin bisa sampai 150 halaman sendiri untuk membahas kegilaan Rowling dan sihir ‘Harry Potter’ yang begitu mewarnai masa kecil dan remaja saya. Tapi mari kita langsung fast forward ke zaman kekinian yang sudah disesaki oleh teknologi digital dan peran media sosial.
Rowling dan cancel culture medsos
Bertahun-tahun sudah saya menjadi Potterhead –sebutan untuk orang yang nge-fans banget sama dunia ‘Harry Potter’– dan masih ingat betul terakhir nonton filmnya di bioskop, ‘Deathly Hallows: Part 2’ di tahun 2011 saya baru memasuki tahun pertama bangku kuliah.
Kala itu, Warner Bros. merilis saga terakhir ini di musim panas dan saya pun sedang libur kuliah. Hari itu, saya naik travel dari Bandung (info penting, saya kuliah di Bandung) dan langsung meluncur ke sebuah mal di BSD untuk menghampiri keluarga saya yang sudah beli tiket bioskop.
Menjelang adegan akhir, perasaan saya campur aduk. Pertempuran antara the good and the evil akhirnya selesai dan geng Harry akhirnya sudah bisa tidur dengan tenang. Belum lagi adegan final, di mana mereka semua diperlihatkan telah dewasa dan memiliki keturunan yang juga akan bersekolah di Hogwarts, lalu diiringi music score khas alunan John Williams, ambyar mata ini…
Every journey has to come to an end. Saya merasa ada di titik bahwa saya juga seperti mereka: sudah tumbuh dewasa.
Setelah nonton kisah akhir itu, saya ingat betul, langsung menulis twit di Twitter dan status di Facebook, memberi ucapan terima kasih kepada J.K. Rowling yang telah menjadi bagian besar dalam masa kecil saya.
Dulu mana ada kepikiran bakal ada cancel culture yang tak pandang bulu seperti sekarang.
Sosok sebesar Rowling, se-berpengaruh dirinya dan secerdas dirinya, bisa-bisanya kena cancel oleh netizen dunia – dan orang-orang di kehidupan nyata pada akhirnya.
Rowling mendadak diboikot oleh banyak orang karena komentarnya yang dianggap menyinggung kaum LGBTQ pada 2019. Singkat cerita, Rowling yang aktif di jagat Twitter ini mencuitkan pendapatnya tentang transgender. Rowling yang dikenal sebagai seorang feminis itu kemudian dianggap transfobia karena salah satu cuitannya kurang lebih begini: “orang yang menstruasi adalah wanita sebenarnya.”
Rowling yang begitu outspoken dan tidak takut mengeluarkan opininya pun menjadi sering berbicara dan mengklarifikasi banyak hal terkait pemikirannya tentang gender dan isu sensitif lainnya terkait LGBTQ.
Sayangnya, komunitas LGBTQ dan beberapa selebriti lain menilai dirinya telah menyakiti hati banyak orang dan melalui kekuatan media sosial, netizen pun kompak memboikot, alias meng-cancel Rowling.
Reuni ‘Harry Potter’ di HBO Go tanpa sang kreator
Menjelang akhir tahun, layanan streaming HBO Max mengumumkan kejutan penting bagi Potterhead di seluruh dunia. Mereka akan menayangkan reuni spesial bertajuk ‘Harry Potter 20th Anniversary: Returns to Hogwarts’ tepat di tahun baru, 1 Januari 2022.
Untungnya, layanan HBO Go yang tersedia di kawasan Asia seperti Indonesia juga kebagian tayangan ini. Tanpa pikir panjang, saya sudah pasti menonton, lengkap dengan persiapan mental jika sewaktu-waktu dibikin mellow dan banjir air mata.
Di acara ini, banyak sekali wajah familiar hadir. Trio Daniel Radcliffe, Emma Watson, dan Rupert Grint; lalu ada Tom Felton, Matthew Lewis, Robbie Coltrane, Ralph Fiennes, Helena Bonham-Carter, Gary Oldman; para sineas di balik dunia magis ini seperti Chris Columbus, Alfonso Cuaron, Mike Newell, dan David Yates; bahkan sampai produser mereka pun hadir, David Heyman.
Tayangan berdurasi 1 jam 30 menitan ini membawa kita semua kembali ke masa kecil di mana karakter bernama Harry Potter pertama kali diperkenalkan, sihir mempesona di dunia sihir, karakter unik, patah hati karena beberapa kematian, hingga hubungan hangat di balik layar.
Saya pun beberapa kali meneteskan air mata karena bernostalgia, namun ada satu hal yang menjadi sorotan. J.K. Rowling tidak hadir di dalam reuni spesial ini.
Footage dirinya berbicara di depan kamera diambil dari arsip wawancaranya di tahun 2019, bukan dari produksi khusus reuni ini. Itupun tak sampai satu menit total screen time yang menampilkan Rowling.
Juru bicara HBO mengatakan kepada LA Times, Rowling diundang untuk melakukan wawancara, namun para produser merasa deretan footage dirinya berbicara pada beberapa tahun silam itu sudah cukup.
Mirisnya, HBO tidak menanggapi apakah Rowling yang menolak wawancara untuk reuni spesial ini, atau mereka sudah membuat konten segar berisi Rowling namun pihak produser yang meminta bagian Rowling dihapus.
Jika saya boleh suudzon –dan saya yakin di luar sana juga banyak yang berpikiran sama– keterlibatan Rowling di reuni spesial Harry Potter ini tetap ada kaitannya dengan cancel culture yang (masih) menimpa Rowling sampai sekarang.
Entah para produser mencari aman agar tayangannya tidak ikut-ikut terkena cancel atau diprotes para pendukung LGBTQ, atau memang Rowling berhalangan hadir, yang jelas absennya Rowling menjadi sorotan penting sebagai dampak dari tren cancel culture di negara Barat yang sangat serius.
Bayangkan saja, Rowling, sang kreator semesta ‘Harry Potter’, tidak benar-benar hadir di dalam acara reuni 20 tahunan karya sinematiknya.
Dari pantauan saya pun, akun Twitter Rowling yang masih aktif sampai sekarang, tidak ada sedikitpun mencuitkan tentang acara reuni ini atau turut mempromosikan ‘Harry Potter 20th Anniversary: Return to Hogwarts’.
Dan jika saya khusnudzon, mungkin Rowling diam-diam tetap tersenyum lebar ketika melihat linimasa Twitter dan ada tagar #HarryPotter20thAnniversary bertengger di jajaran Trending Topic sejak Sabtu, 1 Januari 2022 yang jumlahnya lebih dari 100 ribu twit.
Apabila Rowling masih akan terus di-cancel oleh banyak orang sampai waktu yang belum ditentukan, lagi-lagi hal ini sudah menjadi risiko seorang figur publik yang memiliki keberanian mencurahkan opininya secara terang-terangan seperti dirinya, apalagi yang menuai kontroversi.
Ada mitos yang berbunyi “separate the art from the artist” dan kita boleh setuju, boleh juga tidak karena sifatnya sangat subjektif.
Saya sendiri merasa semesta ‘Harry Potter’ sebagai sebuah art, atau karya ciptaan Rowling, tidak bisa begitu saja saya kubur hanya karena kreatornya diboikot banyak orang.
Bukan berarti saya tidak simpatik atau tidak suportif terhadap komunitas LGBTQ, tapi di sini saya berada di posisi netral terhadap apa yang sudah Rowling ciptakan melalui semesta ‘Harry Potter’ dan apa yang Rowling cuitkan yang menyinggung para transgender.
Saya masih follow Rowling di Twitter sampai sekarang, dan tampaknya akan tetap menyapa dirinya jika suatu saat saya tak sengaja melihatnya di sebuah kafe klasik di kota terpencil di Inggris Raya. Bahkan, saya tak akan sungkan meminta foto bareng sang kreator ‘Harry Potter’ ini jika ia berkenan.
Seperti yang saya sebut di paragraf pembuka, karya Rowling akan terus hidup bersama inner child saya berkat kekuatan sihirnya.