icon-category Digilife

Wahai Pemerintah, Apa Susahnya Akui Kalau Data (Kita) Bocor?

  • 13 Sep 2022 WIB
Bagikan :

Uzone.id - Sudah kurang lebih satu bulan kita dihadapkan dengan kasus kebocoran data, mulai dari data PLN hingga data pribadi masyarakat dan pejabat negara. 

Disaat Bjorka terus melancarkan aksinya dan kini berada di atas angin karena mendapat dukungan dari warganet Indonesia, entah kemana peran pemerintah dalam melindungi data-data warganya.

Kejadian peretasan ini bukan satu atau dua kali terjadi, bahkan sering. Paling heboh, 1,3 miliar data registrasi SIM card diduga bocor dan dijual bebas di forum hacker senilai USD50.000 atau setara Rp700 jutaan.

Hacker bahkan berani membobol Badan Intelijen Indonesia (BIN) dan dokumen rahasia yang dikirim ke orang nomor satu di Indonesia, Presiden Joko Widodo. Peretas juga diduga telah membobol 105 juta data WNI yang berasal dari sistem Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Terbaru, hacker bernama Bjorka sempat melakukan doxing atau menyebarluaskan informasi pribadi orang-orang penting RI, mulai dari Menkominfo Johnny G Plate, Dirjen APTIKA Semuel Abrijani Pangerapan, Ketua DPR RI Puan Maharani, Menteri BUMN Erick Thohir, hingga pegiat media sosial Denny Siregar.

Pemerintah harus mengakui adanya kebocoran data

Seakan tak belajar dari kesalahan, sistem keamanan siber Indonesia masih dengan mudahnya diretas hacker yang entah kenapa ‘caper’ ke masyarakat Indonesia. Ditambah, kebiasaan instansi pemerintahan yang selalu menyangkal, padahal jelas sekali kalau sistem mereka telah dibobol oleh peretas.

“Sebenarnya, ini sudah terjadi cukup lama dan kebocorannya serius. Namun instansi pemerintah memiliki kebiasaan menyangkal, padahal faktanya jelas-jelas datanya bocor,” terang Alfons Tanujaya, pakar keamanan siber Vaksincom kepada Uzone.id, Senin, (12/09).

Jika mengakui adanya kebocoran data saja tidak bisa, lalu bagaimana bisa (kondisi) ini diharapkan berubah?

Baca juga: Fakta Bjorka, Hacker yang Umbar Data dan 'Caper' ke Netizen +62

Menurut Alfons, langkah nyata yang harusnya dilakukan oleh pemerintah adalah mengakui adanya kebocoran data dalam sistem data pemerintah. Setelah itu, baru dilakukan tahap investigasi apa penyebabnya, dan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah kejadian ini.

“Dan mitigasi apa yang harus dilakukan oleh masyarakat pemilik data supaya tidak menjadi korban eksploitasi data yang bocor,” tambahnya.

Sedangkan, dilihat dari kasus kebocoran 1,3 miliar data kartu SIM yang juga diretas Bjorka, sampai sekarang tidak ada yang mengakui dari mana asal data-data ini. Kemenkominfo dengan tegas menyangkal, operator seluler juga angkat tangan, Dukcapil pun menyebut tak ada kebocoran. 

Pemerintah juga harusnya tidak terus menerus menyerukan ancaman tanpa tindakan nyata.

Menurut Heru Sutadi, Pengamat Teknologi Informasi (IT) ICT, “Soal kebocoran data, jangan saling menyalahkan. Introspeksi. Sebab keamanan siber perlu kerja bersama, dan setiap pihak memiliki tanggung jawab masing-masing.”

Pemerintah seharusnya melakukan tindakan hukum kepada peretas maupun wali data. Sebab ini akan memberikan preseden bagaimana penanganan kebocoran data ke depannya. Karena akan makin besar dan sering. Termasuk nanti menguji kesaktian UU PDP, tambahnya.

Heru juga menjelaskan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab besar sebagai pengatur, pengawas dan pengendali tata kelola data.

“Masyarakat tidak mau tahu itu kerja Kominfo atau lembaga lain, yang jelas Negara harus hadir. Rakyat mau datanya aman karena kan didorong untuk transformasi digital oleh pemerintah,” tegasnya saat dihubungi Uzone.id secara terpisah, Senin, (12/09).

Jika tindakan hacker sudah sejauh mengambil data Pertamina, BIN, data Istana, Heru menganggap ini bukan lagi sebuah ‘Wake Up Call’ lagi melainkan sudah berbahaya.

Baca juga: Siapkah Pelaku Industri Patuhi RUU PDP?

“Dan seperti saat menegur Kapolri dalam kasus Sambo, kebocoran data ini juga merupakan momentum yang pas agar Pak Presiden Joko Widodo menegur para pembantunya untuk bekerja very extra ordinary,” ujar Heru.

Presiden diminta untuk mengingatkan kembali para pejabatnya untuk bekerja sama dan jangan sampai lempar tanggung jawab.

“Sebab, masyarakat hanya ingin datanya aman, entah itu dikerjakan oleh Kementerian atau Lembaga mana,” tambahnya.

Semua sepakat kalau tindakan Bjorka ini adalah sebuah pelanggaran ilegal, namun ternyata ada ‘hikmah’ dibalik huru-hara peretasan ini.

“Apa yang dilakukan oleh Bjorka dalam menyebarkan data kependudukan itu melanggar hukum, namun itu setidaknya menunjukkan kepada pejabat apa yang terjadi dengan data kependudukan penduduk Indonesia dan apa yang bisa dilakukan oleh pemilik data yang bocor tersebut,” ungkap Alfons Tanujaya, pengamat siber sekaligus peneliti keamanan siber Vaksincom, Senin, (13/09).

Ditanya secara terpisah, Pratama Persadha selaku pakar siber CISSRec mengatakan hal serupa, ia menyebut kalau tindakan Bjorka ini tetap ilegal dan melanggar hukum.

Ia pun tidak serta merta menyebut kalau Bjorka ini adalah seorang pahlawan seperti yang disebut oleh warganet.

“Ya tentu tidak (Bjorka dianggap pahlawan), tindakan Bjorka tetap ilegal dari kacamata hukum, melanggar UU ITE dan UU Kependudukan,” tegasnya.

“Namun kita ambil hikmahnya, bahwa negara harus perhatian betul pada pengamanan siber, perlu evaluasi serius. Apakah dana besar yang dikeluarkan selama ini untuk infrastruktur siber sudah efektif atau tidak. Evaluasi serius harus dilakukan terhadap pejabat dan program yang telah dilaksanakan, ini bentuk tanggung jawab pada masyarakat juga,” tambah Pratama.

Biar gak ketinggalan informasi menarik lainnya, ikuti kami di channel Google News dan Whatsapp berikut ini.

Bantu kami agar dapat mengenal kalian lebih baik dengan mengisi survei di sini