Gak Cuma Pasal Karet, Ini 5 Alasan Kominfo Ajukan Revisi UU ITE
Uzone.id– Komisi 1 DPR bersama Kementerian Kominfo dan Kementerian Hukum dan HAM sudah menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU Perubahan kedua UU ITE), Rabu, (22/11).
Rancangan ini hanya membutuhkan satu tahap lagi untuk disahkan dimana nantinya RUU ini akan dibawa ke rapat Paripurna.
Pengajuan revisi UU ITE ini bukan tanpa alasan, pemerintah melihat ada 5 masalah yang membuat mereka melakukan revisi terbatas. Hasilnya, Kominfo mengubah 14 pasal yang sudah ada dan menambah 4 pasal baru. Berikut lima masalah tersebut:
Pertama, Kominfo melihat adanya pasal-pasal karet yang menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Pasal-pasal UU ITE ini dianggap multitafsir, karet, memberangus kemerdekaan pers, hingga mengancam kebebasan berpendapat.
Kedua, UU ITE yang saat ini berlaku belum memberikan perlindungan yang optimal bagi pengguna internet di Indonesia, apalagi untuk anak-anak di bawah umur.
Pemerintah mengatakan kalau penggunaan produk/layanan digital dapat memberikan manfaat besar bagi anak-anak apabila digunakan secara tepat.
Dalam revisi kali ini, PSE diminta untuk mengambil tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak anak, sekaligus melindungi anak dari bahaya atau risiko fisik maupun psikis.
Ketiga, UU ITE saat ini belum mengoptimalkan peran pemerintah dalam membangun ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif.
Padahal, Indonesia sendiri memiliki potensi ekonomi digital yang besar dimana tahun 2022 kemarin, Indonesia berkontribusi pada 40 persen nilai ekonomi digital ASEAN.
“Melihat besarnya potensi ekonomi digital Indonesia saat ini dan di masa depan, Pemerintah perlu memperkuat regulasi Indonesia dalam memberikan perlindungan bagi pengguna layanan digital Indonesia, dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah,” kata Budi Arie, dalam rapat Revisi UU ITE, Rabu lalu, (22/11).
Keempat, UU ITE saat ini juga belum memaksimalkan layanan sertifikasi elektronik dimana Indonesia membutuhkan landasan hukum yang lebih komprehensif dalam membangun kebijakan identitas digital serta layanan sertifikasi elektronik lainnya.
Kelima, UU ITE yang ada saat ini masih memerlukan penguatan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam melakukan penyidikan tindak pidana siber.
PPNS di sektor ITE perlu kewenangan untuk meminta PSE dalam pemblokiran rekening bank, uang elektronik, dan/atau aset digital.
Pasalnya, para pelaku tindak pidana menggunakan rekening bank untuk menyimpan hasil kejahatan yang mereka lakukan.
“Para pelaku kejahatan juga membeli atau memperdagangkan aset digital dalam skema kejahatan mereka,” tambah Budi Arie.
Dengan perubahan UU ITE yang didasarkan pada alasan-alasan ini, pemerintah ingin memperkuat kebijakan nasional dalam rangka memenuhi dan melindungi kepentingan masyarakat luas, khususnya di ruang digital.