Kenapa Indonesia Gak Punya Satelit LEO Seperti Starlink?

pada 1 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Uzone.id– Satelit telekomunikasi dengan ketinggian orbit bumi rendah ataulow earth orbit(LEO) menjadi solusi dalam pemerataan internet di Indonesia, terlebih ke desa-desa dan wilayah 3T yang belum terjamah oleh konektivitas internet jalur fiber optik.

Salah satu contoh dari satelit LEO ini adalah satelitStarlinkmilikElon Muskyang digadang-gadang akan hadir ke Indonesia dalam waktu dekat.

Meskipun bentuknya kecil, namun karena jarak yang lebih dekat dengan bumi, satelit jenis LEO ini bisa memiliki kecepatan transfer internet hingga 40 Gbps dan latensi di bawah 20 milidetik. 

Indonesia sendiri memiliki kurang lebih 6 satelit, termasuk yang terbaru adalah satelit Satria-1 yang sukses meluncur pada bulan Juni lalu. Sayangnya, dari keseluruhan satelit ini, Indonesia belum memiliki satelit LEO yang khusus diperuntukkan untuk telekomunikasi.

Menurut Agung Harsoyo, Pengamat Telekomunikasi dari ITB, Indonesia sudah mumpuni untuk membuat satelit LEO (Low Earth Orbit) yang mirip-mirip dengan Starlink.

“Secara teknologi kita sudah kuasai,” ujarnya dalam acaraSelular Business Forumpada 28 November kemarin.

 

 

Namun, perkembangan teknologi satelit LEO ini tidak bisa cepat dilakukan karena tidak masuk dalam prioritas, seperti dalam program strategis nasional.

“Di antara kita harus ada yang menekuni satelit LEO, dan ini sudah dilakukan oleh LAPAN. Hanya memang belum sampai pada satelit LEO untuk telekomunikasi.Persoalannya satu, ini tidak masuk ke dalam program strategis nasional," ungkap Agung.

Pengembangan satelit LEO untuk telekomunikasi juga berkaitan dengan kebijakan sehingga perlu program nasional serta dana besar untuk mengembangkan satelit yang mirip denganStarlink Elon Musk.

“Mirip dengan kereta cepat, kan pasti bukan urusan ekonomi, itu bisa terjadi karena program strategis nasional. Kalau kita punya program ini, kita bisa bikin satelit LEO,” ujarnya.

Agung pun percaya jika sudah ada program tersebut, hanya butuh 2 tahun bagi Indonesia untuk memiliki satelit LEO yang memiliki fungsi seperti Starlink milik Elon Musk.

“Kalau LAPAN diamanahi untuk mengubah yang tadinya satelit LEO ini untukremote sensingmenjadi telekomunikasi, maka dalam waktu 2 tahun bisa lah,” ujarnya.

 

 

Selain karena kebutuhan pemerataan internet, Indonesia juga harus segera mengembangkan teknologi komunikasi satelit LEO agar bisa bersaing dengan negara-negara maju.

“Kedepannya, kalau kita ingin bersaing dengan negara-negara maju ini, maka kita harus masuk ke teknologi satelit LEO ini,” imbuh Agung.

Sebagai informasi tambahan, satelit LEO ini merupakan satelit dengan jarak berkisar 160 km hingga 2.000 km di atas permukaan bumi. Berbeda dengan satelit GEO (Geostationary Orbit), satelit yang satu ini tidak berukuran besar sehingga bisa memiliki jumlah yang banyak.

Usia orbit satelit ini juga cenderung lebih pendek dibanding satelit GEO, yaitu di bawah 10 tahun namun bisa menjadi solusi untuk memeratakan jaringan internet di Indonesia, khususnya di 3T.