Pakar: Zoom Banyak Cacat Keamanan, Tapi Lebih Irit Kuota
(Foto: dok. Zoom)
Uzone.id-- Aplikasi video call Zoom yang tengah populer di kalangan masyarakat sejak diberlakukannya Work From Home (WFH/kerja dari rumah) selama pandemi corona memang sudah ketahuan banyak cacat keamanan di dalamnya. Lantas apakah kita perlu berhenti menggunakan Zoom sebagai alat komunikasi untuk kepentingan pekerjaan?
Menurut Alfons Tanujaya selaku ahli keamanan siber dari Vaksincom, Zoom memang memiliki banyak cacat keamanan, namun perannya masih tergolong banyak manfaat serta lebih efisien dari sisi konsumsi kuota internet.
“Software itu ciptaan manusia yang pada dasarnya membawa sifat dasar manusia, tidak sempurna. Pada dasarnya, setiap software memiliki celah keamanan dan suatu software yang tidak diserang itu bukan berarti lebih aman dari software lain,” ungkap Alfons saat dihubungi Uzone.id, Rabu (8/4).
Baca juga:Taiwan Sudah Larang Penggunaan Zoom
Dari penjelasannya, bisa jadi karena software tersebut sama tidak amannya dengan software lain, tapi kurang populer maka tidak ada yang berminat menyerang.
“Untuk layanan digital populer lalu ditemui banyak celah keamanan, kami sarankan agar tidak langsung memvonisnya tidak aman. Faktanya Zoom adalah aplikasi video conference yang paling efisien dan mudah digunakan,” lanjut Alfons.
Alfons memberi gambaran, dari uji coba yang dilakukan salah satu perusahaan operator Tri Hutchison terhadap 4 aplikasi video conference populer, Zoom terlihat paling irit kuota.
Uji coba tersebut dilakukan selama 30 menit dengan 5 partisipan yang menggunakan Zoom, Skype, Hangouts, dan WebEx.
Baca juga:Kisah di Balik Pendiri Zoom, Terinsiprasi dari Hubungan LDR
“Terlihat kalau aplikasi Zoom membutuhkan bandwidth dan kuota paling rendah dibandingkan yang lain. Hal ini menunjukan keberhasilan Zoom melakukan kompresi dan sistem komunikasi konferensi yang lebih baik dari pesaing,” ungkap Alfons.
Dia menyambung, “efisiensi dari sisi pemanfaatan bandwidth dan konsumsi kuota internet menjadi sangat berharga di saat-saat seperti ini.”
Selain urusan irit kuota internet, Alfons tetap menyoroti manfaat dari Zoom yang ternyata dianggap lebih praktis dan lebih ‘awam’ digunakan oleh masyarakat secara luas.
“Popularitas Zoom yang meroket ini membuktikan bahwa layanan ini menonjol dari segi kemudahan penggunaan yang bisa diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, khususnya pengguna awam agar bisa melakukan video call tanpa terlalu direcoki pengetahuan teknis soal conference video,” tutur Alfons lagi.
Dia menyambung, “kalau untuk kepentingan belajar di rumah, rapat harian kantoran untuk koordinasi perusahaan Zoom ini masih lebih banyak manfaat dari mudaratnya.”
Pada intinya, Alfons memandang masalah pada Zoom ini adalah soal waktu. Fakta bahwa Zoom menyadari kekurangan dari layanannya khususnya dari aspek keamanan adalah hal penting, ditambah perusahaan asal San Jose, Amerika Serikat ini tampak mau berbenah.
“Berikan waktu yang cukup bagi pemilik aplikasi untuk menyesuaikan diri dan lihat seberapa besar responsnya tentang pentingnya keamanan,” tutup Alfons.