Perlukah Was-was Hadapi 'Tech Winter'?

pada 2 tahun lalu - by
Advertising
Advertising

Kolom oleh: Direktur Digital Business Telkom Indonesia, Muhammad Fajrin Rasyid.

Uzone.id— Ungkapan “winter is coming” yang asalnya dari serial TV populer keluaran HBO itu kini jadi sering dipinjam untuk menggambarkan antisipasi kondisi buruk yang akan terjadi. Dari sini, muncullah istilah “tech winter” di industri teknologi.

Belakangan,tech winterini disebut sebagai gambaran kondisi dari dampak ekonomi global bagi sektor startup — yang kemudian turut dirasakan oleh startup lokal di Indonesia.

PHK di mana-mana, hinggahiring freezeterpaksa dilakukan demi mengamankan finansial perusahaan yang kian terpuruk.

Lagi-lagi hal ini sering dikaitkan dengan situasi pandemi yang awalnya memberi banyak kesempatan startup digital untuk tumbuh, namun seiring berjalannya waktu, makroekonomi malah kian memburuk. Belum lagi aspek minat investor, hingga soal inovasi produk yang stagnan.

Baca juga: Startup Lingkungan di Indonesia, Hype Sesaat atau Peluang Terselubung?

Kalau merinci lagi, tech winterini disebabkan salah satunya oleh keinginan investor untuk berinvestasi di bidang yang memiliki risiko kecil seperti halnya deposito bank dalam situasi ekonomi seperti sekarang ini.

Akibatnya, beberapa saham perusahaan teknologi besar dunia mengalami penurunan yang signifikan.Nah, startup yang belumgo publicyang menggunakan perusahaan terbuka tersebut sebagaibenchmark pun juga terkena imbas.

Bagaimana dengan di Indonesia? Situasinya kurang lebih sama. Namun demikian, ekonomi digital Indonesia memiliki pertumbuhan yang sangat cepat - bahkan merupakan salah satu yang tercepat di seluruh dunia.

Menurut riset Google dan Temasek, ekonomi digital Indonesia berkisar USD70 miliar di tahun 2021 dan diprediksi akan tumbuh menjadi sekitar USD140 miliar pada tahun 2025 - dua kali lipatnya!

Artinya, secara umum startup di Indonesia masih akan tumbuh cepat ke depan. Lantas, apa yang perlu diperhatikan dan atau dilakukan oleh para pelaku startup?

Pertama, lihat kembali apakah produk kita memang memecahkan masalah pelanggan secara ekonomis atau tidak. Dalam bahasa teknis, apakah prorduk kita memiliki uniteconomicsyang baik?

Salah satunya kita dapat membandingkan antara Customer Acquisition Cost atau CAC dengan Lifetime Value (LTV). Produk yang baik memiliki CAC < LTV.

Baca juga: Startup Bubble Burst Bikin Ngeri Anak Muda?

Kedua, pastikan kita memilikipath to profitabilityyang jelas. Startup kita tidak harus langsung menghasilkan laba, tetapi setidaknya ada gambaran kapan laba tersebut akan mulai terealisasi.

Ketiga, pastikan startup memilikirunwaysetidaknya untuk satu setengah tahun ke depan. Ini bisa dibilang terkait dengan poin kedua di atas, yakni apabila kita belum bisa mencapai laba, kita mesti memiliki kas yang cukup untuk mempertahankan startup kita karena besar kemungkinan untuk memperoleh pendanaan dalam setahun ke depan akan lebih menantang.

Apabila startup kita sudah memenuhi ketiga poin di atas, maka tidak perlu khawatir berlebihan.

Terus berfokus akan bagaimana produk startup tersebut dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.Let's embrace the winter!