Ancaman Resesi 2023, Gimana Nasib Pendanaan ke Startup?
Ilustrasi: Unsplash
Uzone.id – Bayang-bayang resesi global 2023 tampaknya masih menjadi momok bagi warga dunia, termasuk Indonesia. Siapa sangka, di tengah gempuran transformasi digitalisasi, masyarakat harus menelan kenyataan pahit bahwa perekonomian global terancam memburuk di tahun depan.
Meski wacana resesi belum bisa dipastikan 100 persen resmi akan terjadi, tampaknya ekosistem startup Indonesia sudah mulai ‘kelimpungan’ menyusun berbagai strategi agar bisa tetap hidup, salah satunya dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ke beberapa karyawannya.Dari sini mulai muncul fenomena baru seperti startup bubble burst hingga tech winter.
Resesi global bukan menjadi suatu alasan untuk bisa disepelekan. PHK jadi salah satu dampaknya. Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda mengatakan bahwa dampak yang paling pasti dirasakan oleh startup digital adalah pendanaan yang akan sangat terbatas.
“Karena kenaikan suku bunga acuan akan direspons dengan penurunan investasi di berbagai bidang dan industri, termasuk di startup digital. Penurunan harga saham startup digital yang mengakibatkan cash flow pun juga akan sangat terbatas. Akibatnya ya terjadi PHK seperti sekarang,” ujar Huda saat dihubungi tim Uzone.id, Selasa (18/10).
Baca juga: Resesi Mengintai 2023, Apa yang Harus Disiapkan Startup?
Huda menambahkan bahwa dengan adanya resesi global ini, raksasa digital setara Meta pun juga tidak mampu dan berujung melakukan hal yang sama, yakni PHK.
Secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira turut menyampaikan gagasannya bahwa faktor yang paling dirasakan startup jika nantinya memang ada resesi, yaitu pendanaan yang mengalami penurunan.
“Investor banyak yang lebih berhati-hati untuk melakukan injeksi modal kepada startup,” kata Bhima kepada Uzone.id.
Tidak menutup kemungkinan resesi ekonomi juga bisa membuat daya beli konsumen, omset penjualan produk serta layanan startup mengalami hal yang sama.
“Akibatnya startup melakukan efisiensi tenaga kerja, banyak yang di PHK, atau melakukan penghentian recruitment sementara,” tuturnya.
Jika badai resesi benar menghantam Indonesia, pemilik startup harus mengambil langkah antisipasi dengan strategi tepat sasaran. Alih-alih mengembangkan layanan baru, pemilik startup disarankan berfokus pada satu layanannya saja.
“Pemilik startup saat ini harus bisa melakukan switching strategy, dimana strategi saat ini adalah bertahan dengan menggunakan cash flow yang terbatas. Layanan lainnya jika mau dikembangkan, harus ada sistem konsolidasi dengan pihak lain. Makanya, strategi Traveloka untuk mengurangi layanan Eats dan Groceries nya sudah tepat,” jelas Huda.
Dirinya mengaku bahwa banyak startup yang kemudian tumbang di tengah jalan akibat mengambil langkah strategi yang tidak tepat.
“Mereka gak cukup yakin dengan pengembangan layanannya, konsumennya juga berubah. Makanya banyak yang tumbang,” tambahnya.
Baca juga: GoTo Financial dan OJK Bersatu Hadapi Teror Resesi
Mendorong profitabilitas dibanding mengejar valuasi besar juga menjadi salah satu langkah antisipasi yang bisa diambil founder startup.
“Kalau sinyal resesi ekonominya semakin kuat, founder bisa kemudian melakukan survei pasar untuk melihat kembali prospek dari strategi bisnis dan kondisi di tiap layanan,” tutur Bhima.
Baginya, dengan para founder melakukan pivot strategy atau merubah model bisnis bisa berdampak pada profitabilitas dan perubahan arus kas yang lebih positif.
Bhima juga menambahkan, beberapa sinyal resesi yang bisa diperhatikan lebih oleh para founder, yaitu:
- Pelemahan kurs rupiah yang terus berlanjut
- Keyakinan konsumen menurun
- Perlambatan investasi langsung dan sektor keuangan
- Penurunan surplus pada neraca dagang
- Tingkat suku bunga naik secara agresif