Bagaimana Pengaruh Facebook Terhadap Kesehatan Mental Anak?
Ilustrasi (Foto: Caleb Woods / Unsplash)
Uzone.id - Seorang whistleblower (saksi pelapor) Facebook bernama Frances Haugen, mantan manajer produk berusia 37 tahun, telah menyerahkan dokumen terkait internal Facebook kepada The Wall Street Journal (WSJ).Berbekal dengan dokumen tersebut, WSJ melaporkan bahwa penelitian yang dilakukan Instagram menunjukkan bahwa Facebook bisa membahayakan kesehatan mental anak perempuan.
Kemudian, pada Selasa (12/10), Frances Haugen bersaksi di depan Dewan Pengawas Facebook bahwa "Kepemimpinan perusahaan itu tahu bagaimana membuat Facebook dan Instagram lebih aman, tetapi tidak akan membuat perubahan yang diperlukan karena mereka telah menempatkan keuntungan astronomis mereka di atas orang-orang."
BACA JUGA: Beredar Bocoran Tanggal Rilis Galaxy S21 FE
Frances Haugen juga mengkritik Mark Zuckerberg karena punya kendali luas, dengan mengatakan bahwa "tidak ada orang yang saat ini meminta pertanggungjawaban Mark selain dirinya sendiri."
Internet memang bisa memberikan informasi kepada anak-anak sehingga terbiasa berselancar melalui situs yang canggih sedari kecil.
Banyak pertanyaan-pertanyaan yang terjawab dengan mencari informasi di internet dengan mudah, termasuk lewat Facebook. Sehingga anak-anak pun bisa berbagi informasi dengan teman-temannya meskipun jaraknya sangat jauh.
Namun, apakah Facebook aman untuk anak-anak?
Menurut laman Facebook soal keamanan, jawabannya adalah tidak. Itu sebabnya Facebook punya batasan usia siapa yang bisa membuat akun. Orang dengan usia di bawah 13 tahun tidak bisa membuat akun Facebook.
Bahkan, halaman keamanan Facebook menyatakan bahwa orang di bawah usia 13 tahun "tidak diizinkan mengakses" sama sekali.
Jika melihat sejarah Facebook, kamu akan melihat bahwa Facebook tidak dirancang untuk anak-anak. Mark Zuckerberg meluncurkan situs yang kemudian dinamai Facebook pada tahun 2004 sebagai situs jejaring untuk mahasiswa dan fakultas di Harvard.
Situs meraih sukses dalam semalam dan Zuckerberg segera memperluasnya ke perguruan tinggi lain. Selama dua tahun pertama keberdaan Facebook, cuma mahasiswa dan dosen yang bisa membuat akun Facebook.
Pada tahun 2006, Facebook menjadi platform jejaring sosial terbuka bagi siapa saja yang memiliki alamat email terdaftar selama mereka juga berusia minimal 13 tahun.
Ruby Alamsyah, Founder dan CEO Digital Forensic Indonesia (DFI) dan Penggagas Indonesia Cyber Crime Combat Center (IC4) mengatakan bahwa dunia digital sekarang ini seperti dua mata pisau, satu sisi pisau bisa digunakan untuk hal positif, seperti untuk memasak dan lain-lain. Pisau bisa digunakan untuk negatif seperti untuk kejahatan dan lain-lain.
"Begitu juga dengan internet, di satu sisi apalagi di pandemi ini internet itu sangat membantu semua pihak untuk misalnya PJJ (Pelajaran Jarak Jauh), meeting-meeting korporasi bisa jalan, dan lain-lain," kata Ruby Alamsyah saat berbicara di webinar Potensi IoT untuk Melawan Perundungan Digital pada Anak, Sabtu (16/10/2021).
Namun, kata Ruby, di satu sisi pula, internet itu bisa dijadikan tempat ataupun interaksi atau kegiatan kriminal atau kegiatan negatif seperti cyberbullying
"Cyberbullying ini apalagi terhadap anak-anak ataupun dewasa itu masih cukup tinggi di indonesia karena kita masih walaupun secara statistik dari asosiasi penyelenggara internet Indonesia, pengguna internet di Indonesia itu masih sangat besar, tetapi maturity nya ataupun mereka masih lebih sebagai pengguna saja, belum memahami etika-etika, behaviour (cek) dan ciri-ciri untuk mengindentifikasi," kata Ruby.
BACA JUGA: Putri Bill Gates Resmi Menikah Secara Islam
Psikologi Anak Main Facebook
Di era perkembangan teknologi internet yang sangat pesat seperti sekaran gini, di mana manusia bisa memanfaatkan internet dalam mendukung kehidupan sehari-hari, tentu saja sangat mudah bagi anak-anak untuk mengakses media sosial.
Apalagi, di masa Pandemi Covid-19, di mana aktivitas banyak dilakukan di ruang maya sehingga anak-anak akan lebih mudah berkomunikasi atau berinteraksi dengan teman-temannya lewat media sosial, tak terkecuali Facebook.
Melansir dari Sciencedaily.com, orangtua yang secara diam-diam memantau aktivitas online anak-anak akan membuang-buang waktu, menurut Larry D. Rosen, PhD, profesor psikologi di Universitas Negeri California, Dominguez Hills saat presentasi di Konvens Tahunan ke-119 Asosiasi Psikologi Amerika.
"Sementara, tidak ada yang dapat menyangkal bahwa Facebook telah mengubah lanskap interaksi sosial, terutama di kalangan anak muda, kami baru saja mulai melihat penelitian psikologis yang solid yang menunjukkan positif dan negatifnya," kata Larry D. Rosen.
Dalam ceramah pleno soal Bagaimana Jejaring Sosial Dapat Membantu dan Membahayakan Anak-Anak, Rosen membahas potensi efek samping di antaranya:
1. Remaja yang menggunakan Facebook lebih sering menunjukkan kecenderungan lebih narsistik sementara orang dewasa muda yang memiliki kehadiran Facebook yang kuat menunjukkan lebih banyak tanda-tanda gangguan psikologis lainnya, termasuk perilaku antisosial, mania dan kecenderungan agresif.
2. Penggunaan media dan teknologi yang berlebihan setiap hari memiliki efek negatif pada kesehatan semua anak, praremaja dan remaja dengan membuat mereka lebih rentan terhadap kecemasan, depresi, dan gangguan psikologis lainnya, serta membuat mereka lebih rentan terhadap masalah kesehatan di masa depan.
3. Facebook dapat mengganggu dan dapat berdampak negatif pada pembelajaran. Studi menemukan bahwa siswa sekolah menengah, sekolah menengah dan perguruan tinggi yang memeriksa Facebook setidaknya sekali selama periode belajar 15 menit mencapai nilai yang lebih rendah.
Larry D. Rosen mengatakan, penelitian baru juga menemukan pengaruh positif terkait dengan jejaring sosial, seperti:
1. Orang dewasa muda yang menghabiskan lebih banyak waktu di Facebook lebih baik dalam menunjukkan "empati virtual" kepada teman online mereka.
2. Jejaring sosial online dapat membantu remaja introvert belajar bersosialisasi di balik keamanan berbagai layar, mulai dari smartphone dua inci hingga laptop 17 inci.
3. Jejaring sosial dapat menyediakan alat untuk mengajar dengan cara yang menarik yang melibatkan siswa muda.
BACA JUGA: Telkom Perkuat Kapasitas SDM IT Polri melalui Pelatihan Bersertifikasi
Larry D. Rosen juga berpesan kepada orangtua agar memberikan bimbingan kepada anak-anak dengan mulai berbicara tentang penggunaan teknologi tepat guna sejak dini dan sering membangun kepercayaan dengan anak.
"Sehingga ketika ada masalah, apakah itu diganggu atau melihat gambar yang mengganggu, anak Anda akan membicarakannya dengan Anda," kata Rosen.
"Komunikasi adalah inti dari mengasuh anak. Anda perlu berbicara dengan anak-anak Anda, atau lebih tepatnya, mendengarkan mereka," kata Rosen.
Menurutnya, rasio orangtua saat berbicara dengan anak setidaknya lima banding satu. Bicara satu menit dan mendengarkan lima menit.