Dikejar Profit, Haruskah Semua Bikin ‘Startup Kuliner’?
Kolom oleh: Direktur Digital Business Telkom Indonesia, Fajrin Rasyid.
Uzone.id – Banyak yang bilang, kalau mau bikin usaha yang cepat laris, maka jualanlah makanan (dan minuman). Tak heran jika sekarang ada kategori startup kuliner (food & beverages / F&B) dan bisnisnya pun dianggap menggiurkan.Sebut saja beberapa pemain besar seperti Ismaya, Hangry, hingga startup enabler UMKM kuliner Wahyoo. Sepanjang 2022, startup kuliner ini diam-diam berhasil dilirik para investor dengan suntikan dana mencapai ratusan miliar rupiah.
Tak lupa startup yang menyediakan platform teknologinya untuk menyuguhkan solusi food waste seperti Surplus Indonesia dan Garda Pangan. Banyak juga yang mengambil ceruk kebutuhan diet dengan menawarkan layanan katering.
Sektor makanan secara keseluruhan merupakan sektor yang menarik karena sebagai kebutuhan primer, sektor ini akan terus tumbuh. Namun demikian, persaingan di sektor ini sangat ketat. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, soal potensi cuan. Memang biasanya secara margin, industri kuliner memiliki margin yang besar. Hal penting yang perlu diketahui, pelaku industri kuliner mesti berhati-hati dengan bahan baku yang rentan berubah harganya, seperti cabai. Jika tidak diatur, hal ini dapat sangat menggerus margin.
Kedua, soal quality control. Bisnis kuliner yang berlokasi di satu tempat biasanya secara kualitas akan terjaga dengan baik karena dioperasikan oleh sedikit orang yang biasanya merupakan koki atau orang yang berpengalaman.
Sebaliknya, startup kuliner yang mengejar skala besar otomatis mengandalkan penjualan di banyak cabang. Tantangan yang harus dipenuhi adalah memastikan setiap cabang memiliki kualitas yang sama baiknya.
Salah satu caranya adalah dengan membangun central kitchen yang kemudian mengirimkan hasil olahan makanan ke setiap cabang. Dengan demikian, cabang hanya melakukan sedikit pemrosesan makanan (menghangatkan atau semacamnya) sebelum kemudian disajikan kepada pelanggan.
Ketiga, soal keberlanjutan. Cukup banyak bisnis kuliner yang melejit karena hype namun kemudian turun atau hilang. Dalam hal ini, konsumen datang ke kuliner tersebut untuk mengikuti tren. Namun, setelah tren tersebut turun, konsumen tidak lagi datang ke sana.
Oleh karena itu, meskipun mengikuti tren itu baik, namun yang lebih penting adalah melahirkan alasan bagi konsumen untuk terus datang ke kuliner tersebut. Ujung-ujungnya, ini akan kembali kepada value yang ditawarkan. Apakah itu rasa yang baik, harga yang terjangkau, atau kombinasi keduanya.
Pada akhirnya, sama seperti bisnis lainnya, startup kuliner juga mesti memecahkan masalah yang dihadapi oleh pelanggan. Oleh karena itu, penting untuk terus melibatkan pelanggan dalam menjalankan usaha ini. Selamat membangung bisnis di bidang kuliner!