Free Ongkir Bagai Buah Simalakama E-commerce?
Ilustrasi: Uzone.id/Vescha Permata Sari
Kolom oleh: Direktur Digital Business Telkom Indonesia, M. Fajrin Rasyid.
Uzone.id -- Siapa yang tak kepincut dengan embel-embel "gratis"? Promo gratis ongkos kirim alias free ongkir ini sudah melekat di gaya hidup kita sehari-hari yang terbiasa belanja online di e-commerce.'Privilese' free ongkir ini tentunya sebuah keuntungan bagi pengguna. Di sisi lain, fenomena free ongkir di e-commerce saat ini sedang jadi sorotan Asosiasi Perusahaan jasa Pengiriman Ekspress, Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo).
Tampaknya ada wacana kalau istilah free ongkir pelan-pelan dieliminasi dan mereka ingin mengevaluasi terminologi "free ongkir" serta berbagai skema penerapannya.
Hal ini muncul dari keresahan Asperindo terhadap beban perusahaan logistik — mereka juga membutuhkan yang besar untuk biaya operasional, termasuk menggaji karyawan.
Sementara promo free ongkir ini menjadi salah satu senjata pamungkas e-commerce untuk menggaet minat pengguna agar rajin belanja, khususnya mengakuisisi user baru meski artinya perusahaan harus berdarah-darah secara finansial dan bakar duit demi promo ini.
Baca juga: Perlukah Was-was Hadapi Tech Winter?
Apa benar free ongkir ini bagai buah simalakama bagi e-commerce pada akhirnya?
Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas, mari kita lihat data tanpa free ongkir terlebih dahulu. Rata-rata ongkos kirim adalah Rp10.000 per kilogram ke kota yang sama dan Rp20.000 per kilogram ke kota yang berbeda namun masih di pulau Jawa.
Apabila kita asumsikan rata-rata nilai transaksi di e-commerce adalah Rp200.000, maka ongkos kirim ini setara dengan 5-10 persen dari nilai transaksi. Nah, pada saat ini, pendapatan e-commerce di Indonesia rata-rata masih di bawah 5 persen per transaksi.
Artinya, free ongkir merupakan beban yang besar bahkan lebih besar daripada pendapatan perusahaan itu sendiri. Tidak heran apabila hal ini dianggap sebagai salah satu cara subsidi atau 'bakar uang' yang dilakukan oleh perusahaan e-commerce.
Dalam pelaksanaannya, kadang perusahaan e-commerce meminta kepada perusahaan logistik yang bekerjasama dengan perusahaan tersebut untuk berpartisipasi. Dengan demikian, tidak semua biaya terkait free ongkir ini ditanggung perusahaan e-commerce tetapi juga oleh si perusahaan logistik.
Apa timbal balik bagi si perusahaan logistik? Sudah tentu dipromosikan oleh si perusahaan e-commerce. Kadang, e-commerce membuat kegiatan "free ongkir dengan menggunakan kurir xxx" – tidak untuk semua perusahaan logistik.
Baca juga: Begini Reaksi Pengguna E-commerce Soal Free Ongkir Mau Dihapus
Hal ini barangkali yang mendasari aspirasi dari Asperindo di atas karena situasi ini menyulitkan para perusahaan logistik khususnya yang tidak ingin berpartisipasi.
Dari sisi pelanggan itu sendiri, memang free ongkir menghadirkan efek psikologis yang luar biasa. Barang murah tetapi tidak dilengkapi dengan free ongkir bisa jadi kalah populer dengan barang serupa yang lebih mahal namun dilengkapi dengan free ongkir.
Seiring dengan winter yang melanda dunia startup, sepertinya pelan-pelan pelanggan perlu diedukasi bahwa free ongkir merupakan bentuk promosi, bukan sesuatu yang by default terjadi. Mungkin saja sesekali diadakan kegiatan tersebut, tetapi tidak setiap waktu.
Dengan demikian, baik industri logistik maupun e-commerce, serta industri startup teknologi secara umum dapat tumbuh dengan lebih sehat lagi dan menghadirkan inovasi-inovasi yang lebih baik lagi bagi pelanggan ke depannya. Semoga.