Hal-hal yang Bisa Dipelajari Startup Lokal dari Kisruh Elon Musk
Foto: dok. Mashable
Uzone.id – Perjalanan Twitter sejak diakuisisi Elon Musk memang tidak semulus yang diperkirakan. Sejak diakuisisi 28 Oktober lalu, Musk justru mengambil jalan terjal dengan membuat kebijakan baru di internal perusahaan. Dari kelakuannya ini, kira-kira apa sih pelajaran yang bisa dipetik?
Kisruh antara Elon Musk dan Twitter ini masih saja ramai diperbincangkan media. Ada yang membahas aksi kontroversinya, kebijakan barunya, masalah tenaga kerja, masa depan perusahaan, dan lain sebagainya.Rumitnya permasalahan yang dialami Twitter dan bos Tesla tersebut sebetulnya bisa dijadikan bahan pelajaran atau evaluasi bagi startup lokal di Indonesia.
Bukan tanpa alasan, sekelas Musk yang notabene sudah mengalami manis pahitnya dunia startup saja masih menemukan kesulitan, serta dianggap gegabah dan ‘ngasal’ dalam mengambil keputusan.
Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Direktur Digital Business Telkom Indonesia, Muhammad Fajrin Rasyid.
Melalui sesi Lesson Learned from World’s Best Tech Leaders, ia menyampaikan pandangannya soal fenomena Elon Musk vs. Twitter dari kacamata seorang pemerhati startup di Indonesia.
Baca juga: PHK Massal Twitter Berimbas ke Karyawan di Indonesia
Menurutnya, sebagai seorang CEO anyar, Elon Musk masih berada di tahap adaptasi dengan kondisi internal perusahaan. Dikatakan Fajrin, Musk tengah mempelajari soal Twitter dan menata akan seperti apa kondisi Twitter kedepannya.
“Terkait dengan Twitter sendiri, menurut saya beliau (Elon Musk) ini masih mempelajari. Dalam artian, karena dia sebagai outsider, mungkin dia gak tau kondisi perusahaan di dalamnya gimana,” ujar Fajrin.
Ia juga menyebut bahwa Musk belum terbiasa dengan kondisi dan realita yang dihadapinya di Twitter saat ini, sebab Musk sering plin-plan.
“Saya melihat kadang-kadang apa yang disampaikan dalam berapa hari itu masih bisa berubah. Saya jadi bertanya-tanya, ini soal visinya gimana? Feeling saya sih mungkin karena culture di divisi sebelumnya, dan kemudian ketemu dengan culture di realita sekarang,” tambahnya.
Relevansi terhadap situasi
Berbicara soal culture dan permasalahan dalam startup, menurut Fajrin startup lokal Indonesia sangat bisa belajar dari kasus Elon Musk dan Twitter.
Contohnya, ketika ada sebuah permasalahan atau isu baru dalam perusahaan, maka karyawan dan jajaran CEO harus bisa menyesuaikan dengan situasi tersebut. Hal ini dinamakan Fajrin sebagai konsep relevansi terhadap situasi.
“Dalam kasus perusahaan, menurut saya kuncinya ada di relevansi terhadap situasi. Ketika segala sesuatunya berubah mulai dari situasi, teknologi, dunia, hingga sisi ekonomi service yang dibutuhkan masyarakat berubah. Nah kemudian bagaimana kita menjadi perusahaan yang stay relevant. That’s the key menurut saya,” jelasnya.
Artinya, dari poin ini Musk masih belum bisa melakukan relevansi dengan situasi yang ada di Twitter. Sehingga mengakibatkan banyaknya permasalahan yang timbul entah dari internal maupun eksternal perusahaan.
Baca juga: Habis Koar Free Speech, Elon Musk Ngambek Diparodiin Netizen?
Building culture
Untuk bisa menjalankan startup yang ideal, harus ada building culture dari masing-masing karyawan. Fajrin menyebut, idealnya ketika ada suatu permasalahan, bos dari perusahaan tersebut harus bisa reach ke setiap individu dengan ngobrol dan meminta pendapat satu sama lain. Maka di situ akan terbangun culture dengan sendirinya.
Dari kasus Musk misal, ketika dia membuat kebijakan-kebijakan baru, seharusnya dibicarakan dulu kepada seluruh karyawan. Bukan langsung mengambil keputusan tanpa tau bagaimana pendapat dari orang lain dalam perusahaan.
“Building culture memang butuh waktu panjang. Tapi itu yang kemudian jadi patokan untuk berjalan, kalau misalnya ini gak sesuai dengan culture kita. Dan jika diimplementasikan di perusahaan, maka building culture akan terbangun dengan sendirinya,” tutur Fajrin.
Oleh karenanya, bagi startup lokal yang mungkin sedang berada di posisi yang sama, bisa menerapkan building culture tersebut agar perusahaannya bisa terus bertahan dan kembali seperti sedia kala.
Hindari bystander effect
Bystander effect merupakan kondisi ketika di situasi ramai, orang akan cenderung abai apabila ada orang lain yang jatuh atau mengalami kondisi lain yang membutuhkan pertolongan.
Dalam situasi startup, bystander effect ini ada ketika masalah-masalah besar perusahaan tidak dipecahkan karena setiap orang berpikir bahwa masalah tersebut sedang dipecahkan oleh orang lain. Akibatnya, berujung tidak pernah selesai dan akan terus ada masalahnya.
Dari drama Musk, kita bisa belajar mungkin ada satu, dua orang dalam Twitter yang punya kemampuan untuk memecahkan kisruh antara Musk dengan perusahaan, atau mungkin masalah internal lain.
Namun, bisa saja dirinya terpengaruh oleh bystander effect. Sehingga sampai saat ini masalah yang muncul tidak bisa terselesaikan dan akan terus ada sampai beberapa tahun ke depan.
Fajrin mengingatkan, untuk seluruh startup lokal dan juga karyawan, sebisa mungkin untuk menghindari bystander effect tersebut. Karena efeknya akan sangat besar nantinya.
“Reminder buat kita semua, ketika kita melihat sebuah masalah di suatu perusahaan, di suatu divisi, di suatu dunia ini, maka hadapilah dengan benar. Jangan terpengaruh oleh bystander effect tadi. Kalau merasa punya capability (kemampuan) untuk memecahkan, ya silakan coba untuk dipecahkan. Harus jadi problem solver, jangan nunggu orang lain dulu untuk mengatasi masalah tersebut,” pungkasnya.