Heboh TikTok Shop: Mari Belajar dari Kontroversi Ojol dan Taksi Online
Uzone.id – Fenomena social commerce di Indonesia sedang menjadi sorotan. Pemain besarnya, TikTok Shop yang berada di dalam platform TikTok, seakan menjadi sosok ‘antagonis’ bagi pemain lama nan konvensional seperti penjual-penjual di Pasar Tanah Abang. Kisruh yang cukup bikin berpikir ini adalah deja vu saat layanan ride-hailing muncul dan dianggap ‘mengancam’ transportasi konvensional.
Soal social commerce seperti TikTok Shop, pertanyaan paling menariknya tidak jauh dari persoalan penjualan dan omzet mereka turun drastis yang diklaim karena kehadiran TikTok Shop sebagai disrupsi.Tampaknya belum ada data konkret mengenai penurunan pendapatan dan omzet toko-toko offline yang disebabkan oleh tren live dan social commerce di TikTok Shop dan lain-lain. Kendati begitu, dari sudut pandang pengamat, bukan berarti TikTok Shop harus dihapus.
“Kita bisa mengakui bahwa Pasar Tanah Abang, sentra ponsel seperti ITC Roxy, ITC Ambassador dan lain sebagainya memang tidak seramai dulu. Pindah ke mana? Ke online-kah? Saya tidak membantah, kemungkinan besar memang pindahnya ke online,” ungkap pengamat ekonomi digital Ignatius Untung Surapati saat dihubungi Uzone.id.
Ia melanjutkan, “terus, permasalahannya di mana? Online harus tutup karena toko offline banyak yang tutup, apa bisa? Ini namanya melawan arus. Perkembangan zaman harus terjadi, kalau menentang, ya kita kalah.”
Menurut Untung, salah satu hal besar yang membuat toko offline sulit berkompetisi dengan pemain yang bergerak di platform online adalah soal harga.
Toko offline seperti di Pasar Tanah Abang dipercaya masih ada celah untuk menggelembungkan harga, sedangkan toko online tidak ada kesempatan tawar-menawar, namun harga yang dipasang adalah harga terbaik yang sudah diperhitungkan dari sisi keuntungan dan margin.
Belajar dari ‘drama’ Gojek vs. ojek pangkalan, BlueBird dkk
Satu hal yang disoroti Untung dari kehebohan social commerce seperti TikTok Shop yang dianggap mengancam keberlangsungan jual-beli toko offline seperti di Tanah Abang ini adalah, cukup mirip dengan kejadian saat perusahaan raksasa sekelas Bluebird hingga pelaku ojek pangkalan yang protes terhadap kehadiran layanan ride-hailing Gojek dan Grab.
Gojek dan Grab Indonesia yang sama-sama menghadirkan layanan ojek dan taksi online ini dianggap merusak kelancaran bisnis dari taksi konvensional dan rendahnya demand penumpang ojek pangkalan.
Bagaimana tidak, Gojek dan Grab menyediakan aplikasi yang menghubungkan pengguna yang ingin bepergian dengan mitra armada ojek online atau driver online. Sehingga, pengguna tidak usah bersusah-payah keluar rumah.
“Kita bisa belajar dari Bluebird. Dulu, perusahaan raksasa ini bisa-bisanya goyah dan protes keras terhadap pelaku on-demand seperti Gojek dan Grab. Mulai dari model bisnis sampai soal tarif yang dulu dibilang terlalu murah sehingga tidak kompetitif. Tapi saat itu, kita tidak bisa begitu saja langsung memblokir yang online, karena inovasi akan terus ada dan behavior masyarakat juga turut berubah,” kata Untung.
Jalan panjang bisnis Gojek dan Grab yang awalnya ditentang, kini pun sudah bisa beroperasi dengan sehat, lengkap dengan aturan yang sudah disahkan pemerintah.
“Pemerintah memang harus mengkaji dan meriset sedalam mungkin. Jangan asal bikin aturan. Semua dirangkul, sama halnya ketika ingin merancang aturan untuk transportasi online. Sekarang akhirnya yang konvensional bisa berjalan bareng dengan yang online, bahkan Bluebird saja malah sinergi sama Gojek sekarang. Ini yang namanya adaptasi,” katanya.
Proteksi UMKM hingga level playing field
Tim Uzone pun sempat mengunjungi Pasar Tanah Abang untuk mengamati kondisi setempat. Benar saja, kondisi pasar di lantai-lantai tertentu memang ramai, tapi bukan oleh pembeli. Yang hiruk pikuk di sini cuma para pedagang. Jarang sekali terlihat transaksi.
Seorang pedagang baju bernama Dewi Sartika mengaku sudah sebulan belakangan Pasar Tanah Abang memang sepi. Ia mengklaim semua karena aktivitas penjualan di platform online.
“Kendalanya ada di penjualan di TikTok, Shopee. Ramaian di online daripada di pasar. Pendapatan sekarang menurun, biasanya dapat Rp10 juta sehari, sekarang bisa hanya Rp1-2 juta,” kata Dewi saat dikunjungi Uzone.id.
Sementara penjual lain bernama Hendry, ia menduga aktivitas live video yang dilakukan para artis atau pesohor juga lebih dilirik.
“Banyak artis juga live, mereka follower-nya banyak, jadi orang beralih ke situ. Semoga dari pemerintah ada jalan keluarnya, dan juga jalan baiknya dari TikTok Shop buat kita semua di sini, para penjual, karyawan, sampai kuli,” imbuh Hendry.
Menyoal aturan dari pemerintah sendiri soal bisnis social commerce –dalam hal ini TikTok sebagai media sosial yang juga menaungi TikTok Shop– Untung hanya bisa menyarankan agar dilakukan banyak studi dan riset.
Selain itu, ia juga menganggap pentingnya melakukan diskusi terbuka dengan para pemangku kepentingan.
“Kalau pemerintah mau jalankan kebijakan berupa proteksi, silakan saja. Kalau barang kita kompetitif, kita ‘kan gak perlu takut. Langkah berikutnya, apa yang harus dilakukan pemerintah dan juga swasta agar UMKM dapat kompetitif? Bisa berupa proteksi itu, inisiatif berupa workshop, dan lainnya. Ekspor pun harus didorong,” kata Untung.
Untung tak lupa menyinggung singkat soal persaingan toko offline maupun online dengan para pemain besar seperti artis terkenal yang sudah memiliki banyak audiens.
Menurutnya, level playing field memang perlu tercipta, namun pemerintah juga diharapkan tetap cerdas dalam membuat kebijakan – jangan sampai segalanya diatur sedemikian rupa tanpa riset cukup, dan hasilnya malah membuat masyarakat susah bergerak.
“Kehadiran artis atau akun-akun besar yang ikutan melakukan live commerce mungkin memang menimbulkan risiko. Apa perlu dibikin aturan? Dari saya sih, bisa beri anjuran kepada yang berkepentingan, seperti ajakan ‘ayo dong kasih kesempatan yang lain buat jualan, support yang kecil-kecil’. Jadi semua bisa sama-sama maju tanpa ada yang merasa dijegal,” tutup Untung.