Jika TikTok Shop dkk Harus Berdiri Sendiri, Siapa Paling Dirugikan?
Foto ilustrasi: Solen Feyissa/Unsplash
Uzone.id – Bisnis media sosial yang menggabungkan layanan e-commerce di dalamnya sedang menjadi sorotan publik, karena pemerintah secara terbuka menolaknya. Dengan kata lain, aplikasi seperti TikTok yang kini tak cuma hadir sebagai medsos, namun juga e-commerce melalui TikTok Shopnya, terancam harus memisahkan unit bisnis. Lantas, siapa yang paling dirugikan jika hal ini terjadi?
Bisa dibilang, hadirnya TikTok Shop di Indonesia menciptakan ekosistem baru dalam proses berjualan, promosi, hingga transaksi pembelian. Layanan TikTok Shop tak hanya sekadar jual-beli antara si penjual dan pembeli, namun juga melahirkan TikTok Affiliate.Program Affiliate memang sudah semakin menjamur di layanan e-commerce besar, seperti Shopee, Lazada, hingga kini TikTok Shop sendiri. Uniknya, TikTok Affiliate ini seringkali bukan hanya sebagai perantara si penjual dengan pembeli, namun juga dapat menjelma menjadi content creator.
Mereka ‘dituntut’ untuk lebih kreatif dalam mempromosikan produk yang akan dijual melalui sajian konten yang menarik – bahkan seringkali sifatnya soft selling, bukan hard selling.
Salah satu seller TikTok Shop, Andre Oktavianus yang memiliki toko Kiminori Kids, mengatakan bahwa jika ada wacana TikTok harus memisahkan unit bisnis media sosial dengan e-commercenya – alias TikTok Shop berdiri sendiri – hal ini akan berdampak pada para afiliatornya.
“Kalau ditanya dampaknya apa buat saya, kasarnya sih, saya mungkin masih bisa makan, ya. Tapi, saya bisa pastikan dampak ini akan sangat terasa bagi para afiliator. Mereka itu jumlahnya banyak sekali dan dapat meningkatkan kontribusi penjualan, serta menambah uang saku mereka juga,” jelas Andre saat ditemui Uzone.id usai acara 'Dampak Social Commerce Pada UMKM di Indonesia' yang digelar FORWAT di Jakarta, Jumat (15/9).
Andre yang sudah memiliki lebih dari 1.000 afiliator terdaftar dengan kisaran 200-300 afiliator aktif ini mengaku dengan dipisahnya TikTok Shop dari layanan media sosialnya, maka aktivitas penjualan dan promosi produk juga akan terganggu.
“Pasti akan berbeda ekosistemnya nanti jika dipisah. Lagipula, afiliator ini memiliki strategi sendiri dalam memasarkan produk yang ingin mereka jual, dan ini tidak mudah. Bagi afiliator yang sudah berhasil mendapatkan audiens dan pembeli setia, TikTok Affiliate ini menambah pendapatan mereka berkat komisi yang diterima, ada yang sebulan bisa dapat Rp5 juta sampai Rp10 juta. Jadi mereka akan sangat dirugikan,” terang Andre.
Jangan asal revisi aturan untuk pisahkan medsos dan e-commerce
Dalam kesempatan sama, Pengamat Ekonomi Digital Ignatius Untung Surapati turut mengomentari soal revisi yang dilakukan pemerintah terhadap Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Di dalam revisi Permendag tersebut, salah satunya turut mengatur soal pemisahan bisnis layanan media sosial dengan e-commerce. Selama ini, konsep social commerce muncul ke permukaan karena TikTok Shop itu sendiri, namun kehadirannya justru dianggap membingungkan – apakah TikTok dianggap sebagai perusahaan media sosial, atau e-commerce.
“Salah satu yang dibahas dalam revisi aturan ini, pelarangan media sosial dan e-commerce digabung, ini tidak ada dasarnya. Kenapa harus dipisah? Masalah data? Sudah terjadi sekarang pertukaran data cross platform untuk digital marketing. Merugikan UMKM? Harusnya sih nggak, ya,” tuturnya di kesempatan yang sama.
Dari penjelasan Untung, justru ada banyak UMKM lokal yang usaha jualannya jadi berkembang berkat Tiktok Shop, seperti bikin pabrik sendiri hingga memiliki konveksi mandiri.
“Saya merasa pemisahan ini tidak ada urgensinya dan dasar hukumnya. Kenapa tidak uji publik atau FGD [Focus Group Discussion] dengan stakeholder termasuk pelaku UMKM, dilakukan secara terbuka biar fair. Jadi sebelum bikin aturan baru, harus ada studinya dulu,” katanya lagi.
Kemudian Untung bercerita, bahwa pihak Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM), dan Kementerian Perdagangan bertemu untuk menggelar rapat bersama perwakilan TikTok Indonesia dan idEA.
Pihak KADIN dari pernyataan Untung, menyarankan bahwa hasil revisi Permendag tersebut jangan terburu-buru dikeluarkan.
“KADIN bilang kasih waktu satu bulan melihat plus minusnya, namun Kemendag bilang tidak apa-apa dikeluarkan dulu, nanti kalau tidak sesuai, bisa direvisi lagi. Yang harus ditekankan, ini adalah bisnis orang ya, mau itu berbisnis di TikTok atau Facebook, tapi pemisahan unit bisnis ini butuh effort yang tidak mudah dan biaya tinggi. Kalau ujung-ujungnya harus dibalikin lagi, jatuhnya jadi keluar biaya yang tidak perlu,” jelas Untung.
Ia menyambung, “UMKM yang keburu hilang saat bisnisnya dipisah, itu bagaimana? Omzetnya turun segala macam, itu harus dihitung dampaknya.”
Senada dengan Untung, Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC), Tesar Sandikapura secara singkat menilai langkah pemisahan ini sebagai bentuk melawan arah perkembangan teknologi.
“Kalau dilarang [medsos dan e-commerce bergabung], malah melawan arah karena ini adalah inovasi. Yang harus dilakukan mungkin meregulasi kinerjanya atau hal-hal yang fokus pada kinerja aktivitas penjualan sesuai porsinya,” tutup Tesar.
Pemerintah siapkan Satgas Transformasi Digital
Di tengah kehebohan pemisahan unit bisnis media sosial dan e-commerce seperti TikTok, Menkop UKM Teten Masduki mengklaim bahwa Presiden Joko Widodo akan menyiapkan Satuan Tugas Transformasi Digital untuk merespons kehadiran layanan Tiktok cs.
Satgas ini akan meramu kebijakan transformasi digital yang mampu melindungi ekonomi dometik, melindungi produk lokal, serta melindungi UMKM dari serbuan produk asing.
"Saat ini Satgas Transformasi Digital yang bertugas melindungi ekonomi domestik sedang disiapkan oleh Mensesneg. Dalam waktu dekat ini saya akan bertemu dengan Menteri Investasi/BPKM dan Mendag untuk membahas pengaturan ekonomi digital," kata Teten pada Kamis (14/9).
Menurut Teten, cara yang akan diambil adalah dengan mengadopsi cara China dan Singapura dalam menangani hal seperti ekonomi digital.
Katanya, di China 90 persen dikuasai ekonomi domestik dan sisanya hanya 10 persen oleh asing. Sementara pengaturan ekonomi digital di Indonesia menurutnya masih terbilang lemah - 56 persen pasar e-commerce dikuasai asing dan domestik hanya 44 persen.
Teten mengatakan, sudah banyak pelaku UMKM yang mengeluhkan kondisi yang semakin tidak menguntungkan untuk bisnisnya.