Menjaga Bisnis Tetap Cuan Berkat Customer Centric, Meski Ditempa Pandemi
-
Uzone.id - Menjaga bisnis perusahaan harus dimulai dengan mengimplementasikan budaya customer centric atau menjadikan pelanggan sebagai fokus layanan. Menciptakan sebuah bisnis yang menjadi pilihan masyarakat tidak mudah. Namun dengan berorientasi kepada pelanggan maka dengan sendirinya akan mendatangkan profit yang berimbas pada keberlangsungan bisnis perusahaan.
Hal ini diungkap oleh Wani Sabu, Executive Vice President Center of Digital, BCA, dalam acara CX Talks bertema "Maintain Business Sustainability with Customer-centric Culture" yang diadakan secara virtual pada Kamis, 30 Oktober 2021. Menurut Wani visi BCA sejak awal berdiri adalah menjadi bank pilihan masyarakat dan pilar perekonomian Indonesia."Menjadi bank pilihan masyarakat tidak gampang, harus dipilih, bukan memilih. Sehingga kita harus menjadi yang terbaik agar kita dipilih oleh nasabah," ujar wanita yang digadang sebagai tokoh di balik kesuksesan Halo BCA dengan sekitar 1.146 penghargaan di bidang contact center dan customer experience, baik nasional maupun internasional.
Baca juga: Intip Rahasia di Balik Bangun Bisnis Laris Manis
Menurut Wani, BCA selama 64 tahun telah melalui berbagai zaman dan melewati berbagai krisis. Tata nilai dan budaya perusahaan yang kuatlah yang membuat BCA mampu bertahan dan sekarang menjadi salah satu bank terbesar di Indonesia bahkan memiliki cabang di beberapa negara. Customer focus menjadi tata nilai dan budaya utama di BCA yang menggerakkan semua elemen perusahaan mewujudkan visinya.
BCA berdiri pada tahun 1957, dan kemudian mengalami perkembangan pesat ketika pemerintah melakukan deregulasi perbankan melalui Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 atau Pakto 88. Sejak saat itu, mulailah BCA memiliki cakupan yang luas karena Pakto memungkinkan perbankan memiliki banyak cabang.
"Tahun 1990 kami mulai adopsi ATM namun hanya orang kaya yang bisa masuk ke ruang ATM. Lalu berkenalanlah kami dengan Telkom, yang akhirnya membuat kami lebih maju. 1998 kami sempat mengalami resesi, namun itu merupakan titik balik BCA. Pada tahun 2000 kami sudah punya internet banking, dari situ kami mulai tumbuh eksponensial. Digital BCA pun berkembang, termasuk dari sisi customer service. Makanya kami bersyukur, di masa pandemi ini kami sudah digital lebih dulu, mampu melayani transaksi dari rumah nasabah, termasuk mempelajari perilaku konsumen di masa pandemi ini," ujar Wani mengisahkan.
VP Marketing Management Consumer Service Telkom Indonesia, Edie Kurniawan sepakat dengan apa yang dikatakan Wani terkait dampak pandemi. Dia mengakui, pandemi mampu memaksa perusahaannya untuk mengimplementasi inovasi yang seharusnya diadopsi dua tahun lagi. Pasalnya, ada banyak tantangan yang muncul akibat pandemi. Mulai dari berubahnya perilaku konsumen, ledakan demografi yang luar biasa dan harus diantisipasi, perubahan di semua lini industri yang akan membuat kita tertinggal jika tidak bisa mengikuti.
Baca juga: 7 Karyawan TelkomGroup Raih Satyalancana
"Pandemi membuat kita mempercepat perluasan coverage. Beruntung, sebelum pandemi kami sudah punya 14 juta port fiber optic. Jadi ketika pandemi muncul, kita sudah siap melayani masyarakat yang perilakunya berubah ke arah digital. Kalau 2015 kita tetap main di copper (kabel tembaga), tidak terbayang, sulit bagi kami untuk mendukung perubahan masyarakat," papar Edie.
Kini, lanjut Edie, Telkom semakin bertransformasi mengikuti perubahan perilaku konsumen. Salah satunya adalah membuat produk berbasis customer behaviour, permintaan pelanggan, termasuk memenuhi kebutuhan milenial dan Gen Z. Bahkan Telkom kini menerapkan apa yang dinamakan sebagai Satgas CX yang memastikan perilaku customer centric telah diterapkan di lini frontliner. Pasalnya, jika BCA peduli dengan keamanan data konsumen, di Telkom justru lebih ke Broadband Consumer Profile (BCP) mulai dari latensi (naik turun koneksi), package loss (gangguan jaringan), sampai jitter (variasi delay).
"Bayangkan, pelanggan IndiHome ada 8,6 juta dan perangkat yang tersambung ke internet IndiHome ada 96 juta. Jika komunikasinya tidak benar, itu akan bahaya. Makanya digital tools kita perbaiki, membuat aplikasi yang bisa interaksi dengan konsumen sehingga mereka bisa loyal. Termasuk mengukur Net Promoter Score atau tingkat kepuasan pelanggan, yang masuk dalam budaya customer centric di perusahaan," kata Edie.
Senada dengan Telkom, kata Wani, BCA sampai saat ini tidak lepas dari empat tata nilai yang sangat customer centric. Pertama, saat pengembangan produk, BCA selalu mengutamakan konsumen, baik dari sisi kenyamanan maupun keamanan. Selain itu BCA menjunjung tinggi integritas yang sangat penting bagi perbankan untuk mendapatkan kepercayaan pelanggan. Solid Team Work juga harus diimplementasikan dalam budaya kerja sehari-hari agar semua pihak bisa mendukung produk perusahaan. Terakhir, tentunya adalah inovasi untuk membuat BCA menjadi yang terbaik.
"Profit penting, tapi kita harus mendahulukan kebutuhan konsumen. Kita punya Halo BCA yang mampu membaca kebutuhan pelanggan. Halo BCA juga jadi potret nyata perusahaan," katanya.
Wani mengungkapkan, meski baru mengadopsi teknologi digital di tahun 2000, saat ini transaksi digital di jaringan BCA telah mencapai 99,2 persen dari total transaksi. Ini artinya, hanya 0,8 persen transaksi yang masih menggunakan pola konvensional, atau mendatangi CS/teller di kantor cabang. Sebuah pencapaian yang cukup besar berkat adanya konsistensi perusahaan dalam mengimplementasikan budaya customer-centric.
Tonton Selengkapnya di Sini